[:id]Universitas Jember Tambah Tiga Guru Besar[:]

[:id]

Jember, 13 Desember 2017

Universitas Jember mengukuhkan tiga guru besarnya dalam rapat terbuka senat Universitas Jember dengan acara pengukuhan profesor di Gedung Soetardjo (13/12). Dalam kesempatan ini Rektor Universitas Jember selaku ketua senat mengukuhkan Prof. Dr. drg. FX. Ady Soesetijo, Sp.Pros., sebagai guru besar bidang prostodonsia, Prof. Dr. Syaiful Bukhori, ST., M.Kom., guru besar bidang kecerdasan buatan, dan Prof. Dr. Sukarno, M. Litt., sebagai guru besar bidang analisis wacana. Dengan tambahan tiga profesor baru, Kampus Tegalboto saat ini memiliki 51 profesor.

Dalam pidato pengukuhannya, Rektor Universitas Jember mengungkapkan rasa syukur atas bertambahnya jumlah profesor di Kampus Tegalboto. “Alhamdulillah, saya berharap dengan  bertambahnya tiga guru besar ini akan meningkatkan kinerja akademik kita. Semoga kesuksesan kolega kita ini bakal diikuti oleh para dosen lainnya untuk segera meraih jabatan guru besar,” ungkap Moh. Hasan, sembari mengingatkan bahwa gelar profesor bukan berarti akhir dari karier dosen, namun justru tantangan baru. “Kini masyarakat justru menunggu karya nyata para profesor,” imbuhnya. Dari data Bagian Kepegawaian Universitas Jember, saat ini ada tiga dosen yang tengah berproses untuk mendapatkan gelar akademik tertinggi di perguruan tinggi, profesor.

Guru besar pertama, Prof. Dr. drg. FX. Ady Soesetijo, Sp.Pros., menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Pertimbangan Klinis Gigi Tiruan Fleksibel Dengan Basis Nilon Termoplastis.” Menurut dosen di Fakultas Kedokteran Gigi ini, kebutuhan gigi palsu di Indonesia cukup besar, namun belum diimbangi dengan penyediaan bahan yang aman secara klinis. Untuk itu Prof. Ady menawarkan bahan nilon termoplastis sebagai bahan pembuat gigi palsu. “Penggunaan gigi tiruan  fleksibel dengan basis nilon termoplastis bisa menjadi pilihan. Karena berdasarkan penelitian yang saya lakukan penggunaan gigi tiruan ini tidak menyebabkan terjadinya alergi dan cenderung lebih kuat dari pada gigi tiruan yang berbasis akrilik dan logam,” jelas Prof. Ady.

Prof. Ady lantas menambahkan, karena sifatnya yang lentur, gigi tiruan yang berbasis nilon termoplastis lebih tahan dalam proses pengunyahan makanan. “Karena bahannya yang lentur, gigi tiruan jenis ini lebih mampu menyesuaikan dengan makanan yang sedang dikunyah,” imbuh Ady. Dari nilai estetika pun gigi tiruan ini lebih nyaman dipandang saat dipakai dari pada menggunakan gigi tiruan dengan bahan lainnya. “Gigi tiruan ini lebih bersifat translation atau tembus cahaya sehingga kesan kepalsuan pada gigi jenis ini hampir tidak terlihat. Tentu hal ini akan menambah kesan percaya diri bagi pemakainya karena mirip sekali dengan gigi yang asli, dan yang terpenting tidak menimbulkan alergi,” imbuh profesor asli Surabaya ini.

Sementara itu guru besar di bidang kecerdasan buatan, Prof. Dr. Syaiful Bukhori, ST., M.Kom., membuka pidato mengenai kecerdasan buatan dengan perumpamaan semut. Dalam mencari makan, koloni semut mengutus salah seorang semut (agent) terlebih dahulu untuk mencari makanan, jika gagal dia bakal kembali ke sarangnya, begitu seterusnya.  Sebaliknya jika berhasil maka sang semut akan mengeluarkan feromon yang akan menjadi pemandu semut lain untuk mengikutinya. “Begitu pula dengan penggunaan kecerdasan buatan untuk memprediksi apakah sebuah kebijakan akan berhasil atau tidak, caranya dengan memasukkan data-data dan mensimulasikannya,” jelas profesor yang membawakan pidato ilmiah berjudul ”Strategi Pengambilan Keputusan Berbasis Artificial Intelligence”.

Dalam praktiknya, bapak dua anak ini menawarkan aplikasi kecerdasan buatannya untuk membantu petani tembakau dan cabai. “Komoditas tembakau dan cabai dikenal memiliki fluktualitas yang tinggi, dengan memasukkan berbagai data dan mensimulasikan melalui kecerdasan buatan, maka kita bisa memprediksikan kapan petani harus menanam atau justru tidak menanam. Harapannya, dengan simulasi berbasis kecerdasan buatan bakal meminimalkan kerugian,” ujar Syaiful Bukhori. Tidak saja bisa diaplikasikan di bidang teknik dan ekonomi, kecerdasan buatan juga diaplikasikan oleh Prof. Syaiful Bukhori pada bidang kesehatan, khususnya bidang dermatologi.

Pidato pengukuhan guru besar ketiga, Prof. Dr. M. Sukarno, M.Litt, tidak kalah menarik. Guru besar dalam bidang analisis wacana ini menguraikan betapa posisi orang yang berhutang sangat lemah, bahkan dari sisi bahasa. “Jika surat perjanjian hutang piutang ditelisik lebih teliti lagi, maka tampak jelas bagaimana seorang debitur tidak berdaya di hadapan kreditur. Hal ini tampak dalam pemilihan kata dan frasa dalam Surat Perjanjian Pembiayaan Kendaraan, dan juga perjanjian hutang piutang lainnya, yang cenderung memposisikan kreditur sebagai pihak yang mendominasi,” tutur profesor yang menulis pidato pengukuhan berjudul “Membongkar Kuasa Di Balik Bahasa : Kekuasaan, Dominasi, Dan Ketidaksetaraan hubungan Antar Pelibat Wacana”.

“Pendekatan kajian kritis menempatkan wacana sebagai suatu kekuatan, sehingga wacana juga dipandang sebagai cermin suatu relasi kekuasaan dalam praktik sosial. Misalnya dalam surat perjanjian dimana pada sisi debitur muncul verba berkewajiban, membayar, menjaminkan, menyerahkan dan sejenisnya. Sementara untuk kreditur menggunakan verba berhak, menerima, menyetujui, mengijinkan, menyesuaikan, menentukan, menolak dan seterusnya, yang menunjukkan dominasinya,” jelas Prof. Sukarno. Dosen di Fakultas Ilmu Budaya ini lantas menyarankan agar debitur harus sabar dan jeli mencermati isi perjanjian sebelum menandatanganinya.  Sebaliknya bagi kreditur, seharusnya menempatkan debitur sebagai mitra dan bukan hanya obyek penderita belaka. (iim/mun)

[:]

Skip to content