Film Bisa Jadi Sarana Belajar Sejarah Bagi Kaum Milenial

Jember, 14 Agustus 2021
Film, khususnya film ber-genre sejarah dan film yang mengangkat kiprah kehidupan seorang tokoh atau film biopik berpotensi menjadi sarana belajar sejarah bagi kaum milenial. Pasalnya kecenderungan kaum milenial saat ini yang lebih suka menonton daripada membaca. Namun agar film yang dibuat berdasarkan fakta sejarah baik dari sumber artikel, buku atau novel layak diangkat ke layar perak, maka sineas perlu memperhatikan empat hal. Yakni riset sejarah, pemilihan tokoh, konten cerita dan segmentasi pasar.

Pendapat ini dilontarkan dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Bambang Aris Kartika saat menjadi pemateri dalam kegiatan webinar NGONTRAS#1 (Ngobrol Nasional Metasastra) bertema “Komodifikasi Sastra dan Film” yang digelar oleh Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Jember (14/8). Menurut doktor kajian film ini, film genre sejarah atau biopik wajib menjaga akurasi kebenaran sejarah serta menjaga faktualisasi sejarah biografi. Untuk pemilihan tokoh, perlu memunculkan tokoh yang memiliki arti bagi penonton, sambil tetap mempertimbangkan estetika film.

“Sebagai sebuah film, sineas perlu memunculkan puncak-puncak dramatisasi peristiwa sang tokoh sebagai produk hiburan di sisi konten cerita. Misalnya di film Sang Kiai yang menceritakan kiprah Kiai Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, sutradara memunculkan tokoh Harun yang berperan aktif melawan penjajah Jepang yang menangkap Kyai Hasyim Asy’ari, bahkan Harun terlibat dalam peristiwa tewasnya komandan Inggris, Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Padahal tokoh Harun ini fiktif. Tapi dimunculkan agar filmnya menjadi menarik. Terakhir film genre sejarah dan film biopik sebagai sebuah produk komersial harus mempertimbangkan segmentasi pasar supaya untung. Seperti film Sang Kiai yang ditujukan bagi nahdliyin, Sang Pencerah untuk kalangan Muhammadiyah atau Soegija untuk kalangan Katolik,” jelas Bambang Aris Kartika.


Dosen Program Studi Sastra Indonesia yang suka mengkaji film biopik ini juga menambahkan, jika film genre sejarah juga bisa menjadi sarana afirmasi politik. “Dalam penelitian saya untuk disertasi, film Sang Kiai yang bermula dari adaptasi novel Penakluk Badai menjadi bukti peran aktif Kiai Hasyim Asy’ari dalam revolusi Indonesia, juga kiai-kiai yang lain. Melalui film sang Kiai kini masyarakat tahu peran Kiai Hasyim Asy’ari beserta para kiai lainnya kala revolusi kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya peran beliau hanya diketahui kalangan nahdliyin saja, padahal jasanya sungguh besar bagi kemerdekaan Indonesia,” imbuh dosen yang juga sudah menelurkan novel dan buku ini.


Pendapat Bambang Aris Kartika didukung oleh Umilia Rokhani, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang juga menjadi pemateri dalam webinar #NGONTRAS1. Umilia Rokhani yang banyak meneliti film ber-genre budaya Tionghoa ini menemukan fakta, bahwa film-film budaya Tionghoa mulai merebak selepas masa reformasi tahun 1998. Awalnya berupa film indie yang kemudian oleh sineasnya diikutsertakan dalam berbagai festival. “Film-film ber-genre budaya Tionghoa tersebut mengenalkan sekaligus mengedukasi penonton akan adanya sisi yang beragam dari budaya Tionghoa. Setelah mendapatkan sambutan yang positif lantas melebarkan sayap ke produksi film komersial seperti film-film besutan Ernest Prakarsa. Kini dampaknya penonton Indonesia mulai tahu dan faham akan budaya Tionghoa dan kehidupannya,” tutur Umilia Rokhani.

Sebelumnya kala membuka kegiatan webinar, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Prof. Sukarno mendukung ide #NGOTRAS1. Pasalnya saat ini pemerintah mendorong berkembangnya dunia kreatif termasuk perkembangan dunia film Indonesia. “Semoga anak-anak milenial yang awalnya tidak membaca karya sastra atau buku sejarah tertarik setelah melihat filmnya,” ungkapnya. Sementara itu menurut Ketua HISKI Komisariat Jember Heru Saputra, kegiatan #NGONTRAS rencananya akan diadakan berkala. “Bisa berupa kegiatan webinar, bedah buku, bedah film atau kuliah pakar,” katanya. (iim)

Skip to content