Jember, 27 Agustus 2021
Pertengahan bulan Agustus 2021 ini, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah berhasil menangkap 55 terduga anggota kelompok teroris di 11 provinsi di Indonesia. Sebanyak 27 orang diantaranya ditangkap di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari hasil penangkapan tersebut terungkap adanya upaya penggalangan dana melalui bisnis atau lembaga legal dan penyebaran kotak amal. Dari tersangka yang ditangkap di Jawa Barat, ditemukan 1.540 kotak amal. Penggalangan dana melalui kotak amal dengan kedok agama untuk pendanaan kelompok teroris ini tentu meresahkan banyak pihak, baik pemerintah maupun warga yang sebenarnya sejak awal tulus berniat menyumbang.
Menurut guru besar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah, SH., M.Hum., keberhasilan Polri mengungkap modus penggalangan dana melalui kotak amal untuk kelompok teroris perlu ditindaklanjuti dengan sinergi semua pihak, terutama di wilayah preventif agar ruang gerak kelompok teroris di Indonesia makin sempit. Penangkapan terduga teroris adalah kegiatan di wilayah hilir, maka wajib diimbangi dengan usaha pencegahan di wilayah hulunya. Salah satunya dengan cara memotong aliran dana bagi kelompok teroris.
“Penggalangan dana bagi kegiatan kelompok teroris dengan modus kotak amal sebenarnya bak gunung es, artinya belum semua yang bisa diungkap oleh Polri. Oleh karena itu perlu sinergi semua pihak, mulai pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat dan praktisi hukum serta masyarakat agar kejadian seperti ini tidak terus berulang. Jika kelompok teroris tak lagi dapat dana maka otomatis mereka akan makin terpojok,” kata pria yang akrab dipanggil Prof. Arief saat ditemui di Gedung Pascasarjana Universitas Jember (27/8).
Untuk mencegah penyalahgunaan kotak amal sebagai sarana pendanaan kelompok teroris dan maksud pribadi lainnya, Prof. Arief mengusulkan agar ada aturan baru yang mengatur penggalangan dana dari masyarakat. Pasalnya undang-undang yang mengaturnya masih memakai Undang-Undang nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang. “Tentunya perlu pembaharuan aturan guna mengikuti perkembangan dan tantangan jaman, apalagi semangat pembentukan Undang-Undang nomor 9 Tahun 1961 kala itu sangat berbeda dengan kondisi saat ini,” jelasnya.
Kedua, perlu pengawasan dari pemerintah daerah terutama pemerintah kabupaten dan kota terkait kelompok atau lembaga yang melakukan aksi penggalangan dana. Sebab selama ini pengawasannya dirasa belum maksimal. “Masih sedikit lembaga atau kelompok seperti yayasan yang menggalang dana mengajukan ijin resmi dan kemudian melaporkan secara terbuka peruntukan dana yang sudah dikumpulkan. Pihak pemberi izin seperti misalnya Dinas Sosial di kabupaten dan kota sebenarnya bisa mewajibkan lembaga tersebut untuk mengumumkan informasi kepada khalayak mulai dari siapa saja pengurusnya dan digunakan untuk apa saja dana yang berhasil dihimpun,” urai Prof. Arief.
Pihak pemberi ijin harus selektif memberikan ijin, dan tak perlu ragu meminta lembaga seperti yayasan tersebut untuk membeberkan peruntukan dana yang dihimpun. Sebab sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 13 tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dalam Perpres nomor 13 tahun 2018 jelas dinyatakan dalam pasal 18 bahwa korporasi termasuk di dalamnya yayasan wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai pemilik manfaat kepada instansi yang berwenang, pemilik manfaat di sini artinya bisa pengurus yayasan.
“Jadi dinas terkait selaku pemberi ijin bisa meminta informasi dan data berupa catatan dana yang sudah terkumpul dan digunakan untuk apa saja? Bahkan jika menemukan hal-hal mencurigakan bisa menggandeng aparat hukum dan lembaga terkait seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Masyarakat pun bisa meminta informasi ini kepada lembaga misalnya yayasan tertentu melalui mekanisme yang sudah tetapkan seperti yang ada di pasal 29 pada Perpres tersebut,” imbuh guru besar kelahiran Kota Baru, Kalimantan Selatan ini.
Pencegahan tindak pidana terorisme berikutnya bisa dilaksanakan oleh para praktisi hukum, misalnya saja notaris, sebab pendirian lembaga seperti yayasan selalu melalui notaris. Notaris yang mengetahui sebuah yayasan, perusahaan atau korporasi melakukan kegiatan yang mencurigakan bisa melaporkan ke aparat hukum. “Sudah seharusnya sebagai seorang praktisi hukum yang taat hukum maka selayaknya selalu waspada jika mengetahui hal-hal yang melanggar hukum. Para praktisi hukum ini bertindak layaknya gate keeper alias penjaga gawang,” tutur Prof. Arief.
Lantas bagaimana dengan penggalangan dana yang dilakukan oleh lembaga, yayasan atau bahkan perorangan yang tidak terdaftar alias tidak resmi? Menurut Prof. Arief jawabannya ada pada penyadaran melalui sosialisasi yang masif kepada masyarakat akan bahaya penyalahgunaan penggalangan dana oleh pihak tertentu sebagai sumber dana operasional kelompok teroris melalui berbagai cara, contohnya seperti kotak amal. Menurutnya masyarakat harus kritis jika ingin menyumbangkan dananya, sebab umumnya warga Indonesia punya kebiasaan menyumbang.
“Umumnya kita terbiasa menyumbang, misalnya ada kembalian sehabis makan di warung maka dimasukkan ke kotak amal yang ada, tanpa memikirkan akan kemana pemanfaatannya oleh pengurusnya. Kemurahan hati warga Indonesia ini yang dimanfaatkan oleh orang tak bertangungjawab untuk tujuan tercela. Bukannya melarang orang berderma lho. Tapi mulai sekarang kita harus berpikir ulang jika ingin menyumbang, sebaiknya salurkan ke lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah dan rekam jejaknya juga jelas,” pesan Prof. Arief. (iim)