Jember, 30 November 2023
Setidaknya satu dasawarsa silam, julukan Jember adalah kota dengan seribu gumuk. Tentunya tagline ini cocok, mengingat jumlah gumuk di Jember masih banyak. Apalagi fungsi dari gumuk yang ada di Jember sangat vital. Menjadi reservoar air, habitat satwa, tumbuhan dan mikroba, pembersih polusi udara, serta jadi museum geologi alam adalah beberapa contoh positif keberadaan gumuk bagi lingkungan dan masyarakat.
Sayangnya saat ini, jumlah gumuk di Jember sudah menurun drastis. Banyak gumuk yang tinggal separuh bahkan hilang sudah rata dengan tanah, maka gumuk tadi sudah kehilangan fungsinya. Kebanyakan habis karena ditambang, baik diambil batu, pasir ataupun mineral lainnya. Termasuk ada laporan penambangan beberapa gumuk dilakukan secara ilegal.
Akibatnya masyarakat mulai merasakan dampak dari ketiadaan gumuk di sekitarnya, seperti berkurangnya debit air sumur, hilangnya mata air di sekitar gumuk, suhu sekitar yang makin panas dan berkurangnya satwa-satwa yang entah pergi kemana. Yang terbaru adalah adanya angin puting beliung yang semakin sering terjadi dengan daya intensitas makin besar terjadi di daerah Jember. Hal ini terjadi karena salah satu sebabnya gumuk sebagai tameng alami menghilang.
Menurut Sigit Prastowo, dosen di Fakultas Pertanian Universitas Jember, salah satu penyebab alih fungsi gumuk adalah motif ingin mencari keuntungan. Dari pengamatannya, kebanyakan pemilik gumuk di Jember tergiur dengan iming-iming rupiah yang diberikan oknum pengusaha tambang material gumuk. Godaan tersebut muncul karena memang gumuk dianggap dapat menghasilkan cuan untuk pemilik dan penggarap. Adanya iming-iming uang yang cukup besar menyebabkan pemilik gumuk dengan mudahnya mengiyakan gumuknya di jarah habis, rata dengan tanah tanpa memikirkan lagi efek negatif dari penambangan gumuk tersebut.
Bicara keuntungan secara ekonomi, gumuk sebenarnya sangat bisa ditambah valuasinya melalui kegiatan ekonomi hijau. Artinya gumuk tetap lestari sementara warga pun mendapatkan keuntungan. Salah satunya dengan memanfaatkan serangga tawon klanceng atau kelulut yang dalam Bahasa Inggris dinamakan stingless bee. Serangga ini hidup liar, menghasilkan madu yang harganya lebih mahal dari madu lebah biasa. Dan cocok jika diletakan di gumuk-gumuk di Jember karena pakan tawon klanceng berupa tanaman berbunga umumnya ada di sekitar gumuk.
Alternatif beternak tawon klanceng ini ditawarkan oleh Sigit Prastowo dan tiga koleganya kepada warga Desa Patempuran Kecamatan Kalisat Jember dalam Program Desa Binaan 2023 Universitas Jember melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M). Dari 13 gumuk yang semula ada di Desa Patempuran, kini hanya tersisa empat gumuk yang masih utuh, sementara dua gumuk kondisinya memprihatinkan karena menyisakan separuh bagian saja.
“Harapannya dengan beternak tawon klanceng yang menghasilkan madu, bisa menjadi tambahan cuan bagi pemilik gumuk dan warga sekitar. Dan muaranya adalah mengurangi keinginan pemilik gumuk untuk menjual bahan tambang dari gumuk yang dimilikinya,” ujar Sigit Prastowo yang menjadi ketua dalam program. Selain melibatkan tiga orang dosen, ada empat mahasiswa yang juga turut terlibat mendampingi warga Desa Patempuran.
Sebagai rintisan, hari Kamis (30/11) ini tim bersama warga Desa Patempuran memulai menempatkan tiga kotak koloni tawon klanceng di seputar gumuk yang masih utuh. Tim sengaja memilih penempatan di wilayah yang masih dekat pemukiman penduduk agar pengawasannya lebih terjamin, apalagi warga masih dalam proses belajar beternak tawon klanceng.
Salah satu anggota tim, Ali Wafa yang juga dosen di Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian menambahkan informasi. Targetnya hingga akhir tahun ini ada sepuluh kotak berisi koloni tawon klanceng yang sudah ditempatkan di empat gumuk yang kondisinya masih utuh. Program yang dimulai bulan April 2023 lalu ini juga melibatkan Agung Nugroho Puspito dari Program Studi S2 Magister Bioteknologi dan Desi Cahya Widianingrum dari Program Studi Peternakan Universitas Jember.
Pelibatan anggota tim dari beragam latar belakang keilmuan diharapkan dapat memberikan pendampingan menyeluruh bagi warga Desa Patempuran. Sementara bagi mahasiswa, program ini menjadi kegiatan life learn dan konversi kegiatan Kuliah Kerja Nyata mereka. Desa Patempuran sendiri semenjak tahun 2020 sudah menjadi mitra dan desa binaan Universitas Jember.
“Program ternak tawon klanceng di Desa Patempuran ini diharapkan menjadi pelopor dan contoh bagi desa lain yang juga memiliki gumuk. Harapannya warga akan mendapatkan keuntungan sehingga berdaya tanpa harus menambang gumuk. Agar julukan Jember sebagai Kota Seribu Gumuk tetap lestari,” tutur Ali Wafa.
Program usaha tawon klanceng disambut hangat oleh warga, seperti yang disampaikan perangkat Desa Patempuran, Ahmad Wafa. Menurutnya dengan pelatihan dan pendampingan serta bantuan ternak tawon klanceng maka warganya memiliki alternatif tambahan penghasilan. “Kami menyambut baik program ini, semoga program ternak tawon klanceng ini dapat mencegah warga menambang gumuk,” pungkas Ahmad Wafa. (tim/iim)