Melawan lupa Episode 1 : Wawancara Presiden Soekarno

Melawan Lupa !
Orang Perancis punya pepatah L’Histoire se Répète, sejarah mengulang dirinya sendiri. Oleh karena itu dari sejarah kita belajar. Belajar melanjutkan yang baik, dan belajar untuk tidak mengulangi yang buruk.

Humas Universitas Jember (UNEJ) menerima sumbangan tulisan dari Bapak Imam Soebagio, mantan kepala Humas UNEJ sekaligus saksi hidup perjalanan UNEJ. Tulisan yang awalnya menyambut Dies Natalis ke 60 UNEJ, kemudian berkembang menjadi tulisan mengenai ingatannya akan hal-hal yang terkait dengan UNEJ dan seputar perkembangan almamater yang kita cintai bersama ini. Tujuannya, tentu melawan lupa, agar kita bisa belajar dari sejarah. Selamat menikmati.

Sejak kecil di Bondowoso saya memang pingin jadi wartawan. Pak Sumardi, guru SR Mardi Putra berceloteh. Dia bilang begini, koq koyo wartawan wae seneng moco. Saya sering pinjam buku apa saja dari pak guru tetangga rumah saya itu. Bapak saya sendiri berlangganan Panyebar Semangat. Sehari dua hari isinya sudah saya lahap baca. Kadang-kadang Bapak beli Terang Bulan, majalah dewasa yang juga saya baca.

Keinginan saya jadi wartawan diilhami Lik Di, adik Ibu saya yang namanya Imam Wahjudi. Dia belajar Bahasa Esperanto agar bisa jadi wartawan. Bahasa Esperanto tahun 50-an adalah bahasa Internasional. Ia kagum melihat  seorang wartawan asing wawancara dengan Presiden Soekarno dalam bahasa Esperanto. Lik Di ingin seperti itu.

Yu Tik, mbak saya, Ratih Retno Sayekti adalah kakak saya beda Bapak. Yu Tik belajar jadi wartawan dari kursus tertulis Anton Pers Yogyakarta. Sayang, keduanya nggak sempat jadi wartawan. Lik Di wafat dalam usia 20 tahun. Yu Tik keburu menikah dan punya anak tetapi kumpulan materi kursus yang ia ikuti diberikan kepada saya.

Cerita ini saya tulis berkaitan peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2025. Hampir sama dengan kelahiran saya yang ke-80 tanggal 12 Februari 2025. Rasanya sebagian besar hidup saya tak lepas dari dunia pers dan wartawan. Apalagi hampir 30 tahun saya jadi Humas yang erat dengan dunia kewartawanan.

Kelas 1 SMP saya sudah menulis untuk Penyebar Semangat walau untuk rubrik Opo Tumon. Semangat semakin menyala karena setiap tulisan dapat honorarium. Setiap wesel honorarium dialamatkan ke sekolah. Maka pedikat wartawan tersandang sejak itu. Dari rubik Opo Tumon berkembang ke rubik masak memasak dan wisata yang ilmunya saya dapat dari Ibu..

Saya bersekolah di SMP Nasional, sekolah swasta yang numpang di SR Jember Kidul. Sekolah siang ini terletak di Jalan Melati, sedang rumah saya di Patrang. Pulang balik sekolah jalan kaki sejauh hampir 7 kilometer. Pulang sekolah seringkali mampir melihat etalase toko buku Pustaka Sakim di Pasar Djohar. Dari situ saya kenal dengan pemiliknya, namanya Sakim. Ternyata Sakim yang kelihatan agak sepuh itu adalah wartawan LKBN Antara.

Dari perkenalan itu  saya tidak pernah beli buku tetapi saya diberi kesempatan membaca buku yang ada. Pak Sakim bersimpati kepada saya yang ingin jadi wartawan. Secara tidak langsung saya memperoleh banyak ilmu dari beliau. Bukan soal tulis menulis untuk media saja tetapi alamat banyak media. Kelak saya bisa mengirimkan tulisan.

Sampai akhir hayatnya Lik Di tidak sempat wawancara Presiden Soekarno. Beruntung saya punya kesempatan wawancara Presiden Soeharto. Hal itu terjadi karena kelak saya jadi wartawan. (bersambung).

Skip to content