Melawan Lupa !
Orang Perancis punya pepatah L’Histoire se Répète, sejarah mengulang dirinya sendiri. Oleh karena itu dari sejarah kita belajar. Belajar melanjutkan yang baik, dan belajar untuk tidak mengulangi yang buruk.
Humas Universitas Jember (UNEJ) menerima sumbangan tulisan dari Bapak Imam Soebagio, mantan kepala Humas UNEJ sekaligus saksi hidup perjalanan UNEJ. Tulisan yang awalnya menyambut Dies Natalis ke 60 UNEJ, kemudian berkembang menjadi tulisan mengenai ingatannya akan hal-hal yang terkait dengan UNEJ dan seputar perkembangan almamater yang kita cintai bersama ini. Tujuannya, tentu melawan lupa, agar kita bisa belajar dari sejarah. Selamat menikmati.
Menurut Lik Di, menulis itu gampang. Kamu pinter ngomong, suka bercerita, bisa ditulis. Maka jadilah tulisan itu. Semudah itu jadi penulis atau wartawan. Benar juga. Apa yang saya ceritakan saya tulis akhirnya jadi tulisan.
Saat masih di SMP saya menulis untuk Panyebar Semangat, Surabaya. Saat itu nulisnya pakai tulisan tangan karena belum punya mesin ketik. Harus rapi dan mudah dibaca. Dikirim lewat pos membutuhkan waktu sampai tiga hari ke Surabaya. Sampai di Redaksi di re write, ditulis kembali sebelum masuk setter. Beruntung di Redaksi orangnya baik-baik sehingga tulisan saya dibantu terjemahkan dalam bahasa Jawa. Proses yang tidak mudah dan membutuhkan waktu lama untuk bisa diterbitkan. Apalagi Panyebar Semangat terbit seminggu sekali.
Tak cukup dengan belajar dari pelajaran Anton Pers pemberian Yu Tik saya ikut Kursus Tertulis Usaha Modern Surabaya. Selama enam bulan saya berada dalam asuhan KM Amak Yunus, wartawan senior Surabaya. Sejak lulus 25 Maret 1964 saya sudah mulai menulis di Harian Suara Rakyat. Baru tahun 1966 saya efektif menulis di Harian Suara Indonesia Surabaya.
Ternyata jadi wartawan tidak mudah. Berbagai sumber yang saya hubungi, apalagi pejabat pasti menanyakan press card, kartu pers sebagai identitas. Untuk mendapatkan press card harus melalui proses panjang dan sangat selektif. Saya tidak kehilangan akal. Surat tugas yang diberikan Redaksi saya foto di Studio City di Jalan Raya Jember. Dicetak tidak seukuran kartupos tetapi diperkecil seperti KTP.
Berbekal selembar foto surat tugas itu jadilah saya wartawan. Status PNS saya tidak mengganggu aktivitas sebagai wartawan. Satu persatu saya mengenal dan bergabung dengan senior. Ada Sakim (LKBN Antara), MH Aka (RRI), Harinto (Mekarsari), Abdullah PS (Pewarta Surabaya), Kadir SAS (Berita Yudha), Umar BSA (Surabaya Pos), Sidik (Memorandum), Badjuri (RRI). Ada juga wartawan senior beraliran keras yaitu Hartojo (Trompet Masyarakat) dan HWK Misralani (Abadi) dari Bondowoso. Saya mulai mengikuti berbagai acara resmi.
Suatu ketika saya mengikuti sebuah acara. “Mana Kadir”, tanya Bupati Abdulhadi. Tidak seorangpun yang mengaku dalam acara peresmian bangunan di RS dr. Soebandi Patrang waktu itu. Bupati ingin ketemu Kadir SAS, wartawan Senior yang telah menyiarkan foto mayat digonceng sepeda di Balung dalam media. .
Saat itu Bupati langsung menyemprot Rumah Sakit Balung. Kenapa pasien yang meninggal di rumah sakit tidak dipulangkan pakai ambulance. Dijawab oleh petugas, bahwa fihaknya tidak punya kereta jenazah. Ambulance adalah alat angkut pasien, bukan jenazah. Bupati malah menyalahkan wartawan karena masalah begitu dibesar-besarkan sehingga nama baik Jember tercoreng.
Ternyata teori Lik Di ada kurangnya kalau menulis untuk media. Tidak semua tulisan dan foto yang memenuhi syarat berita begitu saja bisa diberitakan. Diperlukan kearifan dan kehati-hatian setiap wartawan.
Sekali peristiwa saya mengikuti sidang pembunuhan di Pengadilan Negeri Jember. Saat sidang berlangsung saya lihat dua orang berseragam napi warna biru memikul air lewat ruang sidang. Insting saya main, salah seorang diantaranya saya tanya. Katanya air dari penjara (Lembaga Pemasyarakatan) untuk kamar mandi rumah dinas Ketua Pengadilan. Beberapa hari kemudian foto napi berseragam yang memikul air masuk rumah dinas Kepala Pengadilan lewat ruang sidang masuk koran
. Dari seorang Panitera yang saya kenal dapat informasi bahwa foto yang masuk media itu berdampak besar. Pemuatan foto itu dianggap tidak etis, mencederai hubungan baik Pers dengan Ketua Pengadilan. Sekadar diketahui waktu itu Kantor Pengadilan Negeri dan rumah dinas Ketua bersebelahan dengan Lembaga Pemasyarakatan (bersambung).