Jember, 11 Oktober 2025
Hadi Paramu, S.E., MBA., Ph.D., Dosen Ahli Financial Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, memberikan tanggapan atas langkah kebijakan terobosan yang diambil Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa. 
“Saya mengamati bahwa yang dilakukan Bapak Menteri cukup penting dan punya terobosan luar biasa. Intinya beliau sangat memperhatikan idle capacity, khususnya idle cash. Secara bisnis hal ini menarik karena over-liquidity tidak baik, namun kekurangan likuiditas juga berbahaya, jadi yang diperlukan adalah keseimbangan,” ujarnya disela-sela kegiatan The 4th International Conference on Economics, Business, and Accounting Studies (ICEBAST) (11/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa fokus pada pemanfaatan sumber daya yang menganggur merupakan langkah strategis untuk menggerakkan ekonomi domestik. “Kalau ada resource yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan ekonomi dalam negeri, ya sebaiknya dimanfaatkan. Namun ide bagus saja tidak cukup; setelah dana digelontorkan, ada pihak lain yang punya tugas besar, yaitu perbankan yang dipercaya menyalurkan dana tersebut,” tambahnya.

Dalam wawancaranya dirinya juga menekankan adanya konsekuensi bagi lembaga penyalur. Menurutnya, fasilitas yang diberikan bukan semata blessing, ada PR besar bagi perbankan untuk menyalurkannya secara tepat sasaran. Ia mengingatkan pula bahwa dana tersebut tidak gratis. “Pak Menteri menyampaikan bahwa dana itu ada biayanya yang harus dibayarkan ke negara, kalau tidak salah sekitar 4 persen. Artinya jika dana tidak terserap atau disalahgunakan, ada cost yang harus ditanggung,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti mekanisme insentif dan sanksi yang disusun pemerintah. “Di satu sisi ada peluang besar untuk menggerakkan ekonomi, di sisi lain ada punishment. Ini dimaksudkan agar perbankan bekerja lebih proaktif dan bertanggung jawab dalam menyalurkan dana sehingga dampak ekonomi bisa optimal,” katanya.
Hadi Paramu, juga mengilustrasikan potensi dampak makro: “Bayangkan ada kucuran dana segar Rp200 triliun di satu wilayah, idealnya ekonomi akan bergerak. Namun kita harus memandangnya sebagai proses transformasi, satu tindakan akan menghasilkan serangkaian dampak yang perlu dipelajari. Dampaknya bukan selalu instan; cenderung bersifat jangka menengah hingga panjang dan menuntut kesabaran banyak pihak.” ulasnya.
Dosen ahli ini menekankan pentingnya kecermatan dari sisi pelaku usaha. Dari perspektif perusahaan, ekspansi bukan sekadar isu ketersediaan dana; harus ada prospek pasar yang jelas. “Ekspansi membutuhkan dana segar, baik melalui ekuitas maupun liabilitas. Kuncinya, perusahaan harus melihat peluang terlebih dahulu. Tidak cukup hanya memberi fasilitas baru lalu dana tersedot begitu saja tanpa kajian kelayakan yang matang,” katanya.
Ia mengingatkan adanya interaksi antara sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand). “Supply-nya ada, yakni kucuran dana; tetapi jika demand untuk proyek atau ekspansi belum yakin terhadap prospek pasar, maka dana murah sekalipun belum tentu terserap optimal. Oleh sebab itu diperlukan analisis yang mendalam sebelum implementasi,” ujarnya.
Sebagai penutup, dirinya menegaskan bahwa terobosan kebijakan fiskal wajib diapresiasi sebagai stimulus, tetapi efektivitasnya bergantung pada tata kelola, kapasitas penyalur, dan kesiapan pelaku usaha. “Langkah ini menarik dan berpotensi memicu pertumbuhan, namun harus diikuti monitoring ketat, evaluasi, dan kolaborasi antara pemerintah, perbankan, dan sektor swasta agar tujuan pemulihan dan transformasi ekonomi benar-benar tercapai,” pungkasnya.(is)


 
 
 
