Jember, 3 Desember 2025
Dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-61, Universitas Jember (UNEJ) menggelar acara bedah buku monumental karya pemikir kebangsaan, Yudi Latif, Ph.D., yang berjudul “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?: Epos Sumbangsih Cerlang Nusantara Sebagai Pandu Masa Depan”.
Kegiatan yang diikuti oleh kurang lebih 500 undangan yang terdiri Pimpinan di Lingk. UNEJ, Pimpinan PTN-PTS di Wilayah Jember, Dosen dan Mahasiswa UNEJ ini menjadi forum intelektual tingkat tinggi yang menghadirkan penulis buku secara langsung, serta para pembahas lintas disiplin ilmu dari kalangan guru besar dan pakar Universitas Jember.

Rektor Universitas Jember, Dr. Ir. Iwan Taruna, M.Eng., IPM., ASEAN Eng., dalam sambutan pembukaannya mengapresiasi kehadiran buku ini sebagai ruang refleksi penting untuk memahami kembali jati diri kebangsaan di tengah krisis identitas global. Ia menyampaikan, “Bedah buku ini tidak hanya mengajak kita membaca, tetapi menguatkan kembali nalar kebangsaan di tengah krisis identitas global. Buku Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia? mengingatkan bahwa Indonesia memiliki peran menjembatani kehidupan dunia, dan kampus harus menjadi ruang untuk merawat gagasan masa depan bangsa.”
Dalam kesempatan tersebut, Rektor Universitas Jember secara simbolis menyerahkan
Surat Keputusan Rektor Universitas Jember kepada Yudi Latif sebagai Dosen Tidak Tetap di Universitas Jember pengampu Mata Kuliah Wajib Kurikulum di bawah pengelolaan langsung LPMPP Universitas Jember. Penyerahan ini menjadi simbol komitmen bersama untuk mengintegrasikan kepakaran Yudi Latif ke dalam proses pembelajaran dan pengembangan keilmuan di Universitas Jember.
Sementara itu, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pembelajaran (LPMPP) UNEJ, Prof. Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H., dalam prakatanya menekankan pentingnya dialektika akademik semacam ini.

“Sebagai bagian dari Dies Natalis ke-61 Universitas Jember, kegiatan ini diselenggarakan bukan sekadar untuk mengapresiasi karya luar biasa Yudi Latif, tetapi juga untuk membuka ruang refleksi bersama tentang besarnya peran peradaban Nusantara dalam panggung dunia. Melalui forum ilmiah ini, kami ingin mendorong sivitas akademika memperdalam literasi kebangsaan, memperkuat karakter intelektual, dan membaca kembali tantangan Indonesia masa kini dengan kearifan historis yang ditawarkan buku ini. Kami berharap diskusi ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga menginspirasi kontribusi nyata bagi masyarakat dan bangsa,” ungkap Prof. Ermanto.
Sebagai narasumber utama, Yudi Latif, Ph.D., menegaskan kembali pentingnya memahami jati diri bangsa dan potensi besar Indonesia dalam peradaban dunia.
“Indonesia lahir dari api dan samudra, simbol nalar dan etika, serta berada di titik tengah dunia yang menjadikan kita pusat perjumpaan manusia, budaya, dan kekayaan hayati. Sejak dulu nenek moyang kita telah menghasilkan inovasi besar dalam pelayaran, pertanian, hingga arsitektur, sebelum kolonialisme menjauhkan kita dari akar kejayaan itu. Melalui buku ini, saya mengajak kita kembali mengenali jati diri bangsa dan menghubungkan ilmu dengan realitas Indonesia agar tumbuh kecintaan pada ilmu dan tanah air,” ujar Yudi Latif.

Bedah buku ini semakin kaya dengan ulasan dari tiga pembahas dengan latar belakang keilmuan yang berbeda. Diskusi dipandu oleh moderator dari Fakultas Hukum UNEJ, Rosita Indrayanti, S.H., M.H. Dalam pengantarnya Rosita menegaskan relevansi akademik dari historis dari karya Yudi Latif.
“Buku Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia? karya Yudi Latif ini merupakan refleksi penting tentang jejak kontribusi Indonesia bagi peradaban dunia. Tidak hanya menyajikan sejarah, tetapi juga memperlihatkan kekayaan alam, kearifan lokal, tradisi spiritual, dan nilai kemanusiaan bangsa.,” ujar Rosita.
Dari kacamata antropologi, pemaparan Drs. Andang Subaharianto, M.Hum., menegaskan bahwa buku ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga cermin jati diri budaya bangsa.
“Sejarah dan identitas bangsa lahir dari perjalanan panjang manusia nusantara dalam membaca alam, merawat budaya, dan menata kehidupan. Karena itu, ajakan dalam buku ini untuk ‘membaca ulang’ peradaban Indonesia bukan sekadar nostalgia, tetapi bagian dari arus balik, upaya memahami kembali pengetahuan, spiritualitas, dan kreativitas hingga mampu melahirkan jejak-jejak agung seperti rempah yang menggerakkan dunia, Borobudur, hingga kearifan pewayangan. Perspektif ini meneguhkan bahwa kita memiliki modal budaya kuat untuk menatap masa depan dengan lebih percaya diri dan berkeadilan,” ulas Andang.
Selanjutnya Prof. Dra. Hari Sulistiyawati, M.Sc., Ph.D., menyampaikan refleksi atas buku karya Yudi Latif, menempatkan Indonesia dalam lanskap geologi dan ekologi global, serta menjelaskan bagaimana kekayaan alam, sejarah lempeng tektonik, dan peradaban Nusantara saling berkaitan membentuk karakter bangsa.”
“Tujuan Bapak Yudi Latif menulis buku ini adalah melakukan refleksi untuk mengajak kita lebih mencintai tanah air dan membangun kepekaan terhadap lingkungan sekitar, dengan melihat bagaimana kekayaan alam, lempeng tektonik, dan jejak peradaban manusia sejak zaman praaksara hingga kerajaan nusantara saling terkait. Semua ini membentuk karakter bangsa, mulai dari kesuburan tanah akibat aktivitas gunung berapi, keragaman hayati, posisi strategis kepulauan, hingga tradisi masyarakat lokal, sehingga tanpa Indonesia, paru-paru dunia dan pusat keanekaragaman hayati dunia tidak akan sama,” tegas Prof. Hari.

Terakhir, dalam perspektif hubungan internasional, Prof. Agus Trihartono, S.Sos., M.A., Ph.D., menegaskan bahwa buku karya Yudi Latif membuka cara pandang baru tentang posisi Indonesia di dunia internasional, terutama tentang bagaimana Indonesia dikenal, dihargai, dan memberi manfaat besar bagi perkembangan dunia.
“Buku ini mengajak kita melihat Indonesia dari sudut pandang baru di dunia internasional. Bukan hanya sebagai negara, tetapi sebagai sumber nilai, gagasan, dan keteladanan yang memberi manfaat bagi dunia. Ia menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan yang tidak berhenti pada seremonial, melainkan menjadi kesadaran baru bahwa pengalaman sejarah, keberagaman budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan kita adalah kekuatan soft power Indonesia. Dunia membutuhkan Indonesia, bukan semata karena sumber daya atau posisi geografisnya, tetapi karena peran kita dalam merawat perdamaian, menghargai perbedaan, dan menjadikan keberagaman sebagai kekuatan peradaban,” pungkas Prof. Agus.
Acara. UNEJ berharap semangat dari pemikiran Yudi Latif ini tidak berhenti pada kegiatan ini, tetapi menjadi inspirasi nyata bagi seluruh sivitas akademika untuk berkontribusi aktif, menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk memandu masa depan bangsa dan dunia. (qf)

