Jember, 6 Mei 2020
Semenjak diumumkan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) pada bulan Februari lalu sebagai pandemi, Covid-19 telah mengubah hidup jutaan warga dunia dimana pun negaranya berada. Pemerintah dan masyarakat di masing-masing negara berusaha menekan penyebaran Covid-19 dengan berbagai cara. Guna mengetahui pelaksanaan pencegahan Covid-19 di berbagai belahan dunia, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) bekerjasama dengan Keluarga Alumni Universitas Jember (Kauje) menggelar kegiatan seminar secara daring (webinar) yang melibatkan alumni Universitas Jember di benua Afrika, Amerika dan Australia sebagai pembicara. Webinar yang dilaksanakan hari Selasa malam (5/5) waktu Indonesia ini diikuti oleh dosen, mahasiswa dan Rektor Universitas Jember. Juga melibatkan peserta dari berbagai belahan dunia, termasuk para dosen Kampus Tegalboto yang tengah belajar di berbagai negara.
Menurut Sarmuji, Ketua Umum Kauje, webinar bertema Kronik Pandemi Covid-19 di Berbagai Benua ini digelar dalam rangka mengetahui pengalaman berbagai negara dalam menghadapi pandemi Covid-19, mengambil contoh yang baik guna diterapkan di Indonesia, dan merupakan sumbangan Universitas Jember dan alumninya bagi penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. “Pandemi Corona-19 ini menjadi momentum bagi kita untuk terus bersatu, bergotong royong dan saling membantu. Saya berharap webinar kali ini akan menjadi jejak digital yang berguna bagi penanganan pandemi Covid-19 sehingga bisa menjadi pelajaran bagi generasi mendatang, serta menjadi sumbangan pemikiran dari kampus dan alumnus Universitas Jember,” jelas pria yang juga anggota DPR RI ini. Rencananya, Kauje bersama Universitas Jember akan rutin melakukan webinar di masa work and study from home saat ini.
Pemateri pertama yang tampil adalah Prof. Achmad Subagio, Ketua LP2M yang kini tertahan di Nigeria dan belum dapat pulang ke tanah air gegara penerbangan internasional belum beroperasi. Menurutnya, jumlah penderita positif Covid-19 di Nigeria dan negara lain di benua Afrika mulai merangkak naik. Penambahan jumlah korban ini dikarenakan belum banyak masyarakat Nigeria yang paham akan bahaya Covid-19, dan bagaimana cara mencegahnya. “Masih banyak warga yang abai akan anjuran social dan physical distancing, atau keharusan memakai masker seperti yang disarankan oleh pemerintah. Apalagi masyoritas warga Nigeria masih rendah taraf pendidikannya, ditambah sanitasi adalah barang mewah di sini,” jelas Prof. Achmad Subagio yang sudah hampir tiga bulan di Nigeria. Pemerintah Nigeria bukan tanpa usaha, semenjak 21 April lalu pemerintah Nigeria melaksanakan lockdown total di beberapa kota besar, seperti Lagos dan Abudja. Jam malam pun diberlakukan secara ketat, dimana warga hanya bisa beraktivitas secara terbatas mulai jam 7 pagi hingga jam 2 siang saja. Warga yang melanggar aturan akan berurusan dengan polisi dan militer. Langkah ini cukup efektif menahan laju penambahan korban Covid-19. Tapi dampaknya terjadi masalah sosial dan ekonomi, banyak warga di kota besar yang tak bisa bekerja sehingga mengalami kekurangan pangan, begitu pun bahan makanan terutama makanan instan yang habis di pasaran mengingat pabrik berhenti beroperasi. Akibatnya beberapa kali terjadi kerusuhan yang menelan korban jiwa.
“Untungnya, kasus kekurangan pangan ini tidak terjadi di pedesaan, pasalnya bahan pangan masih tersedia, apalagi warga pedesaan terbiasa makan makanan yang tersedia di alam, tidak bergantung pada satu jenis bahan pokok saja. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita, bagaimana Indonesia harus mempersiapkan modal sosial dalam menghadapi bencana seperti Covid-19. Misalnya sosialisasi pencegahan Covid-19 yang masif agar warga tahu bagaimana menjaga diri, ketegasan pemerintah melakukan lockdown atau PSBB, termasuk diversifikasi pangan dimana kita tidak boleh bergantung pada satu jenis bahan pangan saja, misalnya beras. Jika daerah penghasil beras berhenti beroperasi, maka krisis pangan bisa terjadi,” ujar pakar tepung Mocaf ini.
Pemateri kedua adalah, Arifi Saiman, alumnus kampus Tegalboto yang kini menjadi Konsul Jenderal RI di New York. “Negara bagian New York menjadi episentrum pandemi Covid-19 di Amerika Serikat, ada 683 ribu penderita dengan 45 ribu yang meninggal. Hal ini karena New York sendiri adalah kota yang padat penduduknya, pusat bisnis dunia, dan tujuan wisata. Jadi mobilitas manusia di New York sangat dinamis. Sebagai pencegahan, pemerintah New York menggalakkan tes massal,” tutur Arifi Saiman. Langkah selanjutnya adalah pemberlakukan New York on Pause hingga bulan September nanti. “Tidak ada lockdown total, tapi mobilitas warga dibatasi dengan penerapan social dan physical distancing dengan New York on Pause. Langkah ini didukung penyediaan 3,5 juta masker gratis dan warga yang berdisiplin sehingga berhasil menekan laju korban Covid-19,” katanya lagi.
Arifi Saiman lantas menambahkan, di area kerja Konsul Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York yang dipimpinnya, yang meliputi 15 negara bagian di wilayah pantai timur Amerika Serikat, terdapat 31.948 Warga Negara Indonesia (WNI). Dari jumlah tersebut ada 41 orang yang positif Covid-19 dan 11 orang telah meninggal dunia. “Kami terus memonitor kondisi seluruh WNI melalui media sosial yang ada, memantau informasi dari fasilitas kesehatan setempat, berkoordinasi dengan semua negara bagian, termasuk menyediakan fasilitas kesehatan di KJRI, juga menyediakan bantuan masker dan bahan makanan. Khususnya bagi WNI yang di PHK dan mahasiswa kita yang harus keluar asrama kampus karena kampusnya tutup sementara,” imbuh Arifi Saiman.
Kisah sukses penanganan pandemi Covid-19 dipaparkan oleh Syahri Sakidin, alumnus Universitas Jember yang menjadi Direktur Indonesia Institute di Perth, Australia. Menurutnya, Australia menjadi contoh sukses bagaimana pemerintah bersama warganya berhasil menangani pandemi Covid-19. “Data per hari ini, penderita Covid-19 di seluruh Australia sudah tidak ada lagi. Dari 6.825 penderita Covid-19, sebanyak 95 orang yang meninggal dan hanya tersisa 70 orang yang masih dirawat di rumah sakit. Bukan itu saja, pemerintah mengeluarkan stimulus ekonomi senilai 320 milyar dollar Australia untuk mendorong sektor ekonomi agar terus berdenyut,” jelas Syahri Sakidin.
Keberhasilan ini menurutnya tak lepas dari keberhasilan pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Scott Morrison yang mampu menyatukan semua kekuatan politik untuk bersatu padu melawan Covid-19 sehingga semua program yang dirancang berjalan dengan baik. Tidak ada perdebatan yang urgen di parlemen terkait rencana dan program penanganan Covid-19. Kedua, warga Australia memiliki kesadaran akan kesehatan dan disiplin yang tinggi sehingga bersedia menjalankan anjuran pemerintah. Ketiga, Australia diuntungkan dengan kondisi demografinya, dimana jumlah penduduknya sedikit jika dibandingkan luas wilayah negara sehingga social distancing secara alami sudah terbentuk. “Ketiga, Australia sudah sejak lama menerapkan protokol Biohazard yang sangat ketat, jangan harap pendatang dari luar negeri semisal wisatawan diperbolehkan membawa bahan makanan mentah seperti sambal atau bumbu pecel,” kata Syahri Sakidin sambil tertawa.
Pemaparan tiga pemateri yang berada di tiga benua terkait penanganan Covid-19 menjadi masukan berharga bagi Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh dr. Cholis Abrori, M.Kes., MPd.Ked, yang merupakan Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Universitas Jember. Menurutnya banyak hal yang bisa diterapkan di Indonesia. “Semisal perlu ketegasan pemerintah kala memberlakukan lockdown atau PSBB, sebab saya melihat di banyak daerah di Jember khususnya di pedesaan dimana kerumunan masih banyak terjadi. Hal ini terjadi juga karena kesadaran warga kita masih rendah akan pencegahan Covid-19. Oleh karena itu, Universitas Jember khususnya Fakultas Kedokteran telah terjun langsung membantu pemerintah, misalnya saja saat ini ada 50 dokter muda yang bertugas di berbagai fasilitas kesehatan di Jember dan Jawa Timur. Semua dosen di Fakultas Kedokteran pun bertugas di rumah sakit di Jember,” ungkapnya.
Peran serta Universitas Jember dalam menanggulangi pandemi Covid-19 juga disampaikan oleh rektor. Menurut Iwan Taruna selain membuka Pos Covid di Fakultas Kedokteran, kini Universitas Jember tengah merancang KKN tematis pencegahan Covid-19 bagi mahasiswa. “Universitas Jember juga menyediakan dana penelitian bagi dosen dan mahasiswa yang melakukan penelitian terkait Covid-19, termasuk tengah mengajukan perijinan agar laboratorium biologi molekluler di Kampus Tegalboto bisa melakukan penelitian mengenai Covid-19 semisal pembuatan vaksinnya,” timpal Iwan Taruna. Kegiatan webinar diikuti oleh 147 peserta yang tersebar di berbagai daerah dan negara dengan dimoderatori oleh Pung Purwanto, jurnalis yang juga alumnus FISIP Universitas Jember. (iim)