Oleh: M. Abd. Nasir, SE, MSc.*
Daya tahan UMKM dalam menghadapi pandemi COVID-19 mulai terguncang. Paling tidak tercatat ada sekitar 37.000 pelaku Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) yang melapor ke Kementerian Koperasi dan UKM. Kekokohan UMKM Indonesia kembali diuji tajinya. Dimana beratnya dampak adanya COVID-19 ke usaha mereka. Meski historia krisis 1998 mencatat bahwa UMKM sempat menjadi penyokong ekonomi nasional tangguh. Lebih-lebih UMKM menjadi buffer zone dan backbone dalam menyelamatkan keterpurukan negara kala itu. Juga krisis keuangan global 2008 lalu. Di tengah melandainya nilai tukar dan tingginya inflasi, UMKM mampu menjadi bantalan ekonomi Indonesia. Dua kali krisis ekonomi, sektor UMKM menjadi pahlawan ekonomi Indonesia. Bagaimana dengan krisis akibat pandemi kali ini?
Mengamini pendapat Hausmann (2020) bahwa dampak ekonomi COVID-19 dimulai dari adanya kejutan dari sisi suplai yang bernilai negatif. Ditegaskan pula ada 2 (dua) hal terjadi. Pertama, adanya pekerja yang terkena infeksi secara tidak langsung dari adanya covid 19 seperti PHK di beberapa sektor swasta. Kedua, adanya pembatasan aktivitas yang diperlukan sebagai bagian dari penekanan persebaran virus ini. Seperti yang dikemukakan oleh WHO bahwa pengurangan kontak interpersonal setinggi 75 persen diperlukan untuk mengendalikan COVID-19. Jika menelaah aksioma tersebut, apakah hal ini berlaku di ranah UMKM, yang mana hanya melibatkan beberapa peran pekerja dalam berproduksi? Ketika melihat perilaku dari sisi penawaran, UMKM akan cenderung memproduksi tetapi dengan faktor input yang terbatas jumlahnya, namun tidak bisa menanggulangi sisi permintaan yang cenderung tinggi. Dengan masalah sekarang ini, apakah UMKM bisa menunjukkan taringnya menyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Mengupas sebuah masalah, perlu pilihan konsep solutif yang pas agar tepat sasaran. UMKM yang merupakan salah satu bagian dari koridor entrepreneurship membutuhkan ruang untuk bergerak maju dalam melawan COVID-19. Banyak berkelindan konsep yang menghubungkan antara entrepreneurship dan pertumbuhan ekonomi. Juga debat berkelanjutan antar kelompok tradisional dan modern terhadap konsep ini. Kelompok tradisional yang dipelopori Lucas (1978) berargumen bahwa sebuah pengetahuan mempunyai dampak yang kecil bagi perkembangan entrepreneurship dan bersifat statis. Yang paling berpengaruh adalah penggunaan sumber daya ekonomi besar-besaran agar mendorong pertumbuhan ekonomi. Kontras dengan kelompok modern yang berhujah bahwa pengetahuan yang sifatnya dinamis mendorong pelaku UMKM untuk terus berinovasi dan memainkan kreativitasnya di tengah sumber daya yang semakin terbatas (Klepper, 1996). Adanya asimetris informasi dan biaya transaksi yang tinggi ditengah pandemi membuat para pelaku UMKM mempunyai kepelikan tersendiri. Dimana ada kendala dalam memunculkan ide-kreasi baru guna meningkatkan produksinya. Di titik krusial inilah peran pemerintah diperlukan agar pelaku UMKM tetap eksis.
Melalui kebijakan Presiden Joko Widodo untuk realokasi APBN dan APBD di tiga bidang yaitu kesehatan untuk pengendalian COVID-19, jaringan pengaman sosial, serta insentif untuk pelaku usaha dan UMKM, diharapkan dapat menjadi stimulus guna mempertahankan daya tahan sosial ekonomi masyarakat. Bentuk insentif UMKM salah satunya berupa relaksasi dan restrukturisasi pinjaman kredit UMKM terdampak COVID-19. Kebijakan relaksasi berbentuk restrukturisasi pinjaman bertujuan agar mekanisme kerja dari rumah (work from home/WFH), social/phisycal distancing, dan pembatasan mobilitas lain bisa berlangsung efektif. Melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional yang telah rilis akhir bulan Maret 2020 merupakan bagian dari Stimulus Ekonomi II yang digulirkan untuk merelaksasi ketentuan kredit bank di tengah ancaman Covid-19 terhadap ekonomi nasional.
Namun di sisi lain, ternyata meskipun POJK ditujukan bagi UMKM, yang saat ini tercatat lebih dari 59.2 juta pelaku, bukan berarti seluruh pelaku UMKM mendapatkan bantuan ini. Prioritas bantuan berdasar POJK adalah pelaku UMKM yang sudah tidak mampu lagi mengangsur bunga dan pokok pinjamannya sebagai dampak COVID-19. Sasaran utama penerima POJK adalah individu yang telah positif COVID-19 baik dalam status PDP (Pasien Dalam Pengawasan) yang telah isolasi di rumah sakit dan ODP (Orang Dalam Pantauan) yang melakukan isolasi mandiri. Bisakah hal ini diterapkan? Lagi-lagi yang namanya moral hazard dan adverse selection akan muncul di tengah-tengah para penggiat UMKM di Indonesia.
Dari sisi fiskal, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak tinggal diam, melalui revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona menekankan bahwa UMKM akan mendapat pembebasan pajak selama 6 bulan. Menelaah kebijakan di atas, apakah UMKM tetap bisa bergeliat melawan COVID-19? Stimulus pemerintah hanyalah sebuah alat agar pelaku UMKM terus bergerak melawan pandemi. Maka pelaku sektor ini haruslah memanfaatkan momen ini secara optimal dan tidak berspekulasi. Sejurus dengan pendapat Robert J. Samuelson (2010) bahwa Entrepreneurship (MSMEs) is crucial element in creating jobs, aiding recovery. Dengan posisi UMKM yang memberikan kontribusi 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto dan juga sumbangsihnya pada penyerapan tenaga kerja hingga 97 persen, maka para pelaku memang urgen dan layak memperoleh perhatian di tengah pandemi guna melawan virus yang mengaduk-aduk sisi kemanusiaan kita.
Akhirnya, stimulus pemerintah untuk UMKM harus tidak saja disyukuri keberadaannya. Tetapi harus dimonitor dan dievaluasi pelaksanaannya. UMKM ditengah pandemi COVID-19 ini akan menciptakan hatrick, tiga kali berjaya di tengah krisis ekonomi. Semoga.
_____________
* M. Abd. Nasir, SE, MSc. adalah dosen dan peneliti pada Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy – Fakultas Ekonomi dan Bisnis- Universitas Jember.