Tiga Faktor Negara Mampu Atasi Covid-19

Jember, 13 Juli 2020
Pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Belajar dari penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN, ada tiga faktor agar sebuah negara mampu menangani pandemi Covid-19. Ketiga faktor tersebut adalah State Capacity (kemampuan negara), Social Trust (kepercayaan sosial) dan Leadership (Kepemimpinan). Pendapat ini disampaikan oleh Abubakar Eby Hara, pakar ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember saat menjadi salah satu pemateri dalam webinar bertema “ASEAN Menyongsong Era New Normal : Kontribusi dan Inovasi Perguruan Tinggi” yang digelar di aula lantai 3 gedung rektorat Universitas Jember (13/7). Menurut Abubakar Eby Hara, selain ketiga faktor tadi, dalam lingkup ASEAN, maka peningkatan kerjasama antar negara anggota ASEAN menjadi keharusan dalam menangani pandemi Covid-19.


Abubakar Eby Hara menjelaskan, state capacity berkaitan dengan kemampuan birokrasi negara, khususnya birokrasi kesehatan dalam menangani pandemi Covid-19, termasuk bagaimana negara memberikan fasilitas kesehatan beserta bantuan kepada warganya yang terkena Covid-19. “Kita bisa belajar pada Vietnam yang sukses menekan penderita Covid-19, caranya dengan memberlakukan lockdown secara tegas bagi warganya dan pelacakan yang cermat. Pemerintah Vietnam rupanya telah belajar banyak pada penanganan pandemi SARS pada tahun 2002 lalu yang banyak memakan korban jiwa di Vietnam,” jelas Abubakar Eby Hara. Dari hasil observasinya, bentuk dan sistem pemerintahan tidak selalu berkorelasi langsung dalam kesuksesan penanganan pandemi Covid-19. Buktinya Vietnam yang negara komunis ternyata berhasil menekan angka kematian akibat pandemi Covid-19.
Faktor kedua adalah social trust, rasa percaya dikalangan masyarakat sebuah negara dalam membangun persatuan dan kesatuan. Menurut Ketua Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Cabang Jember ini, social trust sedang digalakkan di semua negara ASEAN dengan harapan terbentuk kesetiakawanan nasional dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang mengubah semua sendi-sendi kehidupan sosial. “Ketiga adalah faktor leadership, dimana pemimpin diharapkan mampu membuat keputusan yang baik dan tepat dalam menangani pandemi Covid-19, berdasarkan kajian ilmiah dan bukan untuk kepentingan politik tertentu. Namun pengamatan saya, sayangnya ada beberapa negara ASEAN yang tensi politiknya justru memanas di saat penanganan pandemi Covid-19 seperti Filipina dan Kamboja. Pasalnya kepala negara menggunakan undang-undang darurat untuk memperkuat posisi politiknya,” imbuh Abubakar Eby Hara.

Kata kunci peningkatan kerjasama juga diutarakan oleh Carolina Tinangon, Direktur Kerja Sama Eksternal ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI. Menurutnya ASEAN dipuji oleh dunia internasional karena dinilai responsif dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Hal ini dibuktikan dengan digelarnya kegiatan Special ASEAN Summit for Covid-19 yang diadakan awal Juni lalu. “Saat ini ASEAN gencar melakukan kerjasama baik diantara negara-negara anggota ASEAN maupun antara ASEAN dengan negara lain, diantaranya kerjasama tracing penderita Coivd-19 yang melakukan perjalanan antar negara, kerjasama antar epidemiolog se-ASEAN dan kerjasama antara ASEAN dengan Rusia dalam rangka menemukan vaksin Covid-19,” tutur Carolina Tinangon.


Pemateri selanjutnya, Puji Wahono, mengingatkan salah satu tantangan kerjasama diantara negara-negara ASEAN adalah masih minimnya kesadaran akan pentingnya ASEAN di tingkatan akar rumput, sehingga keberadaan dan manfaat ASEAN belum dirasakan. “Dari survey yang dilakukan oleh CSIS terhadap anak muda Indonesia, hanya delapan puluh persen yang mengenal ASEAN, bahkan hanya enam puluh persen yang bisa menyebutkan tiga negara anggota ASEAN. Hal ini membuktikan semua negara anggota ASEAN harus bekerja keras mengenalkan keberadaan ASEAN kepada warganya, agar ASEAN Connectivity terwujud,” ungkap Ketua Pusat Studi ASEAN Universitas Jember ini.

Sementara itu, Prof. Mustari, Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedubes RI di Thailand memberikan penjelasan mengenai kondisi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di negara Gajah Putih itu. “Saat ini pemerintah Thailand merancang blended and flexible learning untuk perkuliahan, dimana tujuh puluh persen perkuliahan akan dilakukan dengan daring, dua puluh persen dengan tatap muka dan sisanya berupa pendalaman teori dasar yang dilakukan oleh masing-masing mahasiswa. Pemerintah Thailand juga mendorong perguruan tingginya untuk melakukan riset intensif terkait penanganan pandemi Covid-19, salah satu yang sudah dilakukan adalah riset vaksin Covid-19 di Chulalongkorn University yang rencananya tahun depan sudah diujicobakan kepada manusia,” kata Prof. Mustari.


Peningkatan riset mengenai Covid-19 juga disampaikan oleh Khoirul Anam, Sekertaris III Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Jember. Menurut dosen di Fakultas Teknik ini tahun ini ada 29 judul penelitian dan 10 judul program pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan peneliti di Kampus Tegalboto. Dari penelitian kue khusus bagi penderita Covid-19, pengembangan vaksin Covid-19, pengembangan vitamin berbasis sumber daya alam di Jember, kotak sterilisasi uang, pembentukan Kampung Albumin untuk kampung yang melakukan karantina lokal, desain sekolah tangguh Covid-19, hingga film edukasi pencegahan Covid-19.

Webinar bertema “ASEAN Menyongsong Era New Normal : Kontribusi dan Inovasi Perguruan Tinggi” terselenggara berkat kerjasama antara Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember dengan Kemenkopolhukam RI. Acara dibuka secara resmi oleh Rektor Universitas Jember, dan dimulai dengan sambutan oleh Lutfi Rauf, Deputi II Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kemenkopolhukam RI. Acara ini bertujuan menjadi wahana berbagi best practices inovasi dan penanganan pandemi Covid-19 di antara negara ASEAN, serta membuka kerjasama diantara perguruan tinggi. (iim)

Skip to content