[:id]Universitas Jember Lakukan Pengukuran Karbon Di Taman Nasional Meru Betiri[:]

[:id][vc_row][vc_column][vc_column_text]

Jember, 16 Januari 2018

Para peneliti Universitas Jember yang tergabung dalam Program Mitigasi Berbasis Lahan melakukan kegiatan pengukuran karbon di areal rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) selama lima hari, dari tanggal 12 hingga 16 Januari 2018. Pengukuran karbon ini menjadi salah satu kegiatan, sembari melakukan pengawasan terhadap penanaman 92.324 bibit pohon durian, langsep, pakem dan kemiri di empat blok rehabilitasi yakni Curah Malang, Donglo, Bonangan dan Pletes, seluas 255 hektar. “Pada Selasa ini kita akan melakukan spot check sekaligus mengukur karbon di blok Pletes,” kata Hari Sulistyowati, peneliti Program Mitigasi Berbasis Lahan saat ditemui di kampus Tegalboto sebelum berangkat menuju TNMB (16/1).

Menurut Hari Sulistyowati, pengukuran karbon di lahan rehabilitasi dilakukan agar diperoleh data, berapa karbondioksida yang diserap oleh tanaman sebelum pelaksanaan  Program Mitigasi Berbasis Lahan, dan sesudah program berjalan. “Dari perhitungan yang kami lakukan, jika semua bibit pohon yang diberikan kepada petani ditanam dengan baik, maka kami perkirakan mampu menyerap 1,6 juta ton karbondioksida. Sementara target untuk Jawa Timur sendiri, untuk tahun ini adalah mampu menyerap 6 juta ton karbondioksida. Jadi rehabilitasi lahan di TNMB memang krusial,” kata Hari Sulistyowati lagi.

Tim Humas Universitas Jember sendiri mendapatkan kesempatan mendampingi Tim Program Mitigasi Berbasis Lahan saat melakukan pengukuran karbon dan pengawasan di blok Bonangan hari Senin lalu (15/1). Dalam pelaksanaannya, setiap pohon yang ada dicatat kemudian didata. Data yang dikumpulkan meliputi pengukuran tinggi, diameter, serta lebar kanopi pohon. Tim juga mengambil sampel batang pohon untuk dilakukan uji berat jenis di laboratorium. “Semua data tadi lantas diolah dengan rumus tertentu, sehingga didapat kesimpulan berapa karbon yang sudah diserap. Uji sampel dilakukan karena setiap jenis pohon tidak sama kemampuannya dalam menyerap karbon,” jelas  Hari Sulistyowati yang pagi itu dibantu delapan mahasiswa dari FMIPA dan Fakultas Pertanian.

Sambil mengawasi para mahasiswanya, pakar valuasi lingkungan ini kemudian menjelaskan pentingnya pohon dalam kehidupan manusia. “Pohon berukuran besar bisa menyerap karbondioksida sebesar 22,8 kilogram per hari, dan memproduksi 20,4 kilogram oksigen. Sementara setiap hari seorang manusia membutuhkan 0,8 kilogram oksigen, jadi dari fakta ini sebenarnya kita bisa menghitung, berapa pohon yang harusnya kita butuhkan,” tutur Hari Sulistyo. Selain memproduksi oksigen, pohon juga menyerap dan menahan air agar tetap dalam tanah.

Satu pohon berukuran tinggi 30 hingga 50 sentimeter saja mampu menyerap dan menahan air di tanah  sekitar 19 liter atau satu galon, bahkan pohon yang sudah besar mampu menyerap air hingga 60 galon. “Beberapa hari lalu lahan rehabilitasi di dalam TNMB dan Desa Wonoasri dilanda banjir, itu terjadi karena memang hutan ditebangi sehingga tidak ada lagi penahan air. Oleh karena itu Program Mitigasi Berbasis Lahan ini diharapkan mampu mencegah bencana, dengan cara penanaman pohon kembali. Di sisi lain, petani penggarap lahan dalam TNMB kita berdayakan dengan berbagai keterampilan agar tidak lagi merambah hutan,” imbuh dosen yang menyelesaikan studinya di Canada ini.

Saat melakukan pengawasan terhadap bibit pohon yang sudah ditanam sejak bulan September 2017 lalu, tim Program Mitigasi Berbasis Lahan Universitas Jember didampingi Tamim, ketua kelompok tani blok Bonangan, dan Dasar Wikanto, Sekertaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan Konservasi (LMDHK) “Wonomulyo”. Pelibatan kelompok tani dan pengurus LMDHK dilakukan karena selama ini mereka yang menjadi jembatan antara tim peneliti, TNMB dan petani penggarap lahan rehabilitasi. “Kami mendukung program ini karena kami sadar jika petani merambah hutan, maka kami sendiri yang nanti bakal rugi. Cuman memang perlu secara perlahan untuk menyadarkan kawan-kawan agar nanti tidak lagi menggarap lahan rehabilitasi yang memang seharusnya adalah hutan,” tutur Dasar Wikanto.

Sementara itu dari pengamatan, sebagianbesar bibit tanaman telah ditanam, walaupun ada juga yang ditemukan mati. “Beberapa bibit tanaman ada yang mati karena memang faktor cuaca, ada yang dimakan oleh hewan liar seperti monyet dan babi hutan. Kesulitan lainnya ada beberapa bibit pohon yang ditanam di sela-sela tanaman jagung yang sudah tinggi, kondisi ini menyulitkan pengawasan. Kegiatan spot check dilaksanakan, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pemberi dana,” pungkas Hari Sulistyowati. (iim)

[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][:]

Skip to content