[:id][vc_row][vc_column][vc_column_text]
Jember, 28 April 2018
“Berbagai upaya untuk menangani dan menanggulangi adanya kekerasan seksual di Indonesia sudah dilakukan dengan keluarnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekerasan seksual, seperti: UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT), UU No 23 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), dan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Delik Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Namun demikian, keberadaan peraturan tersebut pada kenyataannya belum efektif menghapus kekerasan seksual, sehingga kekerasan seksual masih terus terjadi utamanya terhadap perempuan.”
Hal tersebut disampaikan oleh Ninik Rahayu, S.H. M.S., Anggota Ombudsman RI dalam pemaparan materi disertasinya yang berjudul “Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia”, saat mengikuti Sidang Doktor di Gedung Aula Fak. Hukum Universitas Jember, Jumat (27/4) lalu.
Ninik Rahayu lantas melanjutkan, banyaknya pengaturan hukum (diversifikasi) tentang kekerasan seksual mengakibatkan definisi/batasan, ruang lingkup dan tujuan dari pengaturan kekerasan seksual berbeda-beda yang kemudian akan berakibat pada ketidakpastian dan ketidakadilan serta diskriminasi bagi korban kekerasan seksual di Indonesia.
Ninik Rahayu menilai, hakekat penghapusan kekerasan seksual merupakan upaya menghadirkan kebijakan hukum penghapusan kekerasan seksual secara komprehensif untuk memberikan perlindungan martabat kemanusiaan sebagaimana Pasal 28 G UUD N RI 1945 dapat tercapai. Untuk mewujudkannya terdapat empat hal pokok kebijakan penghapusan kekerasan seksual yang perlu diberlakukan.
“terdapat empat hal pokok kebijakan penghapusan kekerasan seksual, yaitu pertama, kebijakan pencegahan segala bentuk kekerasan; kedua, perlindungan kepentingan hak-hak dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual; ketiga, pemidanaan dan penindakan untuk rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual; keempat, pemulihan keseimbangan tatanan dan partisipasi masyarakat dalam penghapusan kekerasan seksual.” papar perempuan yang pernah menjadi anggota Komnas Perempuan tersebut.
Ninik Rahayu menambahkan, perlunya dilakukan pengkajian dan pengembangan pengetahuan secara mendasar dan berkesinambungan bagi para akademisi, peneliti, dan pemerhati masalah gender dan pembangunan, tentang implikasi bias gender. Selain itu, sanksi pemidanaan bagi pelaku kekerasan seksual juga perlu dirumuskan oleh para akademisi, peneliti dan pemerhati bidang hukum.
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][:]