[:id]FISIP UNEJ Kedatangan Dua Mantan Teroris[:]

[:id][vc_row][vc_column][vc_column_text]

Jember, 30 April 2018

Sofyan Tsauri mantan nara  pidana terorisme yang kini menjadi pakar terorisme mengatakan gerakan terorisme sebenarnya lahir dari sebuah konflik sosial dan komunal yang terjadi dalam suatu wilayah. Terjadinya konflik akan berdampak pada tumbuh suburnya gerakan radikalisme  terutama dikalangan anak muda.

“Situasi konflik akan menjadi alasan kuat untuk mengangkat senjata dengan alasan melawan ketidak adilan. Sayangnya gerakan radikalisme ini selalu muncul dikalangan anak muda yang terkadang salah dalam melakukan aktualisasi diri dan yang selalu ingin tampil beda,” ujar Sofyan dalam acara Seminar dan Bedah Buku La Tay’As (Jangan Putus Asa) di aula lantai II FISIP Universitas Jember.

Sofyan mengatakan, kelompok pemuda yang baru mengenal dan belajar islam ini sangat rentan terjerumus dalam doktrin radikalisme melalui kegiatan keagamaan.  Semangat yang menggebu-gebu namum minim akan sejarah Islam menjadi salah satu ciri kalangan muda yang dengan sangat mudah dirasuki dengan paham radikalisme.

“Kecenderungan mereka menafsirkan Islam secara tekstualnya saja. Mereka juga cenderung mengkafirkan seseorang yang mereka anggap melakukan sebuah dosa dan membenarkan sebuah dosa yang mereka lakukan. Misalkan saja membunuh orang lain dengan Bom atas naman jihad,” imbuh Sofyan.

Sofyan mengatakan, paham radikalisme yang menjadi bibit gerakan terorisme juga banyak tumbuh dan berkembang didalam kampus. Para anggota tertoris paham betul potensi mahasiswa untuk dijadikan agen-agen terorisme yang kemudian menularkan kepada para mahasiswa yang lain.

“Oleh karena itu pimpinan kampus harus memiliki regulasi khusus untuk membatasi aktifitas para mahasiswa terkait dengan kegiatan-kegiatan yang terindikasi dekat dengan gerakan radikalisme. Selain itu, pemerintah harus bekerja keras untuk menjaga agar sebisa mungkin tidak muncul konflik horisontal terkait isu agama agar tidak ada alasan untuk tumbuhnya gerakan radikalisme,” pungkas Sofyan.

Sementara itu Iswanto alias Isy Kariman alias Zaim mantan komandan kelompok Mujahidin di Poso membenarkan pernyataan Sofyan, dirinya bergabung dan di baiat oleh salah satu pemimpin gerakan radikal disaat usianya baru menginjak 19 tahun.

“Yang ada dalam fikiran muda saya saat itu hanyalah tentang Jihad menegakkan keadilan bagi Islam. Konflik Poso menjadi medan jihad dan tempat praktek pertama bagi saya dalam berjihad. Sejak saat itu saya pindah dari Lamongan ke Maluku Tengah dan beberapa wilayah konflik yang ada di Sulawesi. Jadi saya paham betul setiap sudut wilayah yang terjadi konflik terkait isu agama” ujar Iswanto.

Iswanto mengatakan, diusia yang relatif muda dirinya terus mendalami ilmu agama. Selain itu Iswanto juga mendapatkan ilmu dan pendidikan militer mulai dari persenjataan, strategi, termasuk ilmu perakitan dan pengaktifan bom.

“Semua materi yang berkaitan dengan jihad mulai dari ilmu dasar-dasar militer hingga ilmu yang paling berbahaya seperti perakitan dan pengaktifan bom sudah saya dapatkan dan saya kuasai. Bahkan pada usia 20 tahun saya dipromosikan untuk belajar ke Pakistan, tentunya belajar yanga da kaitannya dengan perang. Namun saya gagal berangkat karena tidak bisa mendapatkan Visa,” tutur Iswanto yang saat ini berprofesi sebagai guru.

Pasca ledakan bom Bali adalah titik balik dari kehidupan Iswanto. Sejak saat itu Iswanto ditarik pulang dari medan Jihad dengan alasan memberikan kesempatan orang lain untuk berjihad. Namun tidak lama dari kepulangannya Iswanto mendapatkan surat dari Ali Imron yang saat itu sudah menjadi nara pidana terorisme.

“Saya mendapatkan surat dari Ali Imron yang merupakan guru yang telah mendidik saya. Dalam surat itu Ali imron berpesan agar saya tidak meneruskan apa yang selama ini telah dilakukan. Katanya  apa yang dilakukan adalah salah,” ujar Iswanto.

Sejak saat itu Iswanto berfikir apa yang telah dia lakukan selama ini. Berakhirnya kerusuhan Poso membuatnya bingung hendak melakuakan apa.Walau sebenarnya masih dengan berat hati, Iswanto kemudian memilih melakukan aktifitas baru yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.

“Sejak mendapatkan surat itu dan berkhirnya kerusuhan Poso membuat saya bingung mau perang dimana. Akhirnya saya melanjutkan sekolah. Saya ambil kejar paket C kemudian saya kuliah dan lulus. Alhamdulillah kemudian saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah S 2. Jadi pada masa itu kehidupan saya berubah drastis. Dari yang biasanya pegang senjata dan amunisi serta merancang strategi perang. Kini berganti pegang laptop, membuat silabus dan RPP di sekolah,” pungkasnya.

[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][:]

Skip to content