[vc_row][vc_column][vc_column_text]
Jember, 31 Oktober 2018
Pemerintah diminta memberikan perhatian serius terhadap pengembangan singkong di Indonesia, dari hulu hingga hilir. Pernyataan ini dilontarkan oleh Prof. Achmad Subagio, pakar tepung singkong (Mocaf) sekaligus Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Jember, kala menjadi pemateri dalam kegiatan workshop bertema Pengembangan Industri Berbasis Cassava di aula lantai II gedung rektorat Universitas Jember (31/10). Menurut Prof. Achmad Subagio, saat ini pemerintah dinilai terlalu fokus pada pengembangan padi, jagung dan kedelai (Pajale), dan minim perhatian pada pengembangan singkong yang justru memiliki potensi luar biasa, serta lebih murah ongkos produksinya jika dibandingkan dengan ongkos produksi padi. Singkong juga dapat ditanam dengan mudah di seluruh nusantara termasuk di lahan marginal, bandingkan dengan padi yang butuh lahan subur dan irigasi yang tertata dengan baik.
“Indonesia adalah produsen singkong nomor tiga di dunia setelah Nigeria dan Thailand, sayangnya nilai tambah produk singkong justru belum dinikmati oleh Indonesia, malah dikuasai negara seperti Amerika Serikat, China, dan Thailand. Artinya kita masih belum optimal mengolah produk singkong menjadi produk turunan lainnya, selain problema di sisi produktivitas singkong yang masih perlu ditingkatkan,” jelas Prof. Achmad Subagio. Untuk itu Universitas Jember bertekad terus mengembangkan singkong dari hulu hingga hilir, termasuk mengembangkan singkong dengan metode bioteknologi. “Universitas Jember sudah menetapkan tiga tanaman yang akan dikembangkan melalui metode bioteknologi, yakni padi, tebu dan singkong. Termasuk rencana mengirimkan dosen untuk studi lanjut terkait singkong melalui bantuan Kemenristekdikti dan Islamic Development Bank,” imbuhnya lagi. Untuk diketahui, Universitas Jember telah ditetapkan menjadi Pusat Unggulan Iptek di bidang Bioteknologi pertanian-perkebunan dan kesehatan oleh Kemenristekdikti sejak 2016 lalu.
Langkah yang sudah dilakukan oleh Universitas Jember menurut Ketua LP2M adalah menggalakkan berbagai penelitian singkong dikalangan dosen dan mahasiswa. Seperti yang dilakukan oleh delapan mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian yang tengah meneliti produk mie lethek, mie asli Gunung Kidul berbahan singkong yang kini sedang digemari, hingga mantan Presiden Amerika serikat Barrack Obama pun memintanya saat mengunjungi Yogyakarta. “Para mahasiswa ini meneliti mie lethek dari berbagai sisi, bagaimana mie organik ini mampu tahan enam bulan tanpa pengawet hingga mengembangkan mesin pemroses agar jumlah produksinya makin meningkat. Kita juga memiliki ahli pemuliaan singkong yang menghasilkan singkong varietas baru, asal tahu saja di Indonesia hanya ada empat ahli pemuliaan singkong,” kata Prof. Achmad Subagio lagi.
Pendapat pakar Mocaf dari Kampus Tegalboto ini didukung oleh Yasir Ferry Ismatrada, pelaku usaha Mie Lethek cap Garuda. Menurutnya, mie produknya tengah digandrungi karena branding yang tepat yang memposisikan mie lethek sebagai produk organik yang proses pembuatannya mengedepankan kearifan lokal. “Permintaan mie lethek mencapai 2,5 ton per bulan sementara kemampuan produksi kami baru mencapai 1 ton saja. Hal ini karena kesulitan bahan baku dan mesin produksi yang masih tradisional. Untuk itu saya berharap ada kerjasama antara pelaku usaha dengan petani dan kalangan akademisi agar pasokan bahan baku senantiasa terjaga, serta ada inovasi dalam produksinya,” tutur Yasir yang merupakan generasi ketiga produsen mie lethek yang sudah ada semenjak tahun 1940-an ini.
Kesempatan mengembangkan singkong dalam skala industri juga disampaikan oleh Gunawan Wibisono, Direktur PT. Sumber Inti Pangan, produsen berbagai bumbu, serta makanan. “Banyak sekali produk pangan yang memerlukan bahan yang berasal dari singkong semisal bakso, sosis, biskuit, bahan pembuat penyedap rasa hingga pemanis buatan. Dari data yang ada tiap tahun kita menghasilkan 25 juta ton singkong per tahun, sementara kebutuhan produk turunan singkong pun terus naik semisal tapioka yang membutuhkan 8 hingga 9 juta ton per tahun, sedangkan untuk Mocaf butuh dua puluh ribu ton per tahun. Kesempatan ini harus dimanfaatkan jangan sampai malah nanti kita yang mengimpor produk turunan singkong dari negara lain,” ungkap Gunawan Wibisono.
Sebelumnya dalam sambutannya, Rektor Universitas Jember berharap pandangan akan singkong yang masih diasosiasikan dengan kemiskinan bakal berubah, mengingat potensi singkong luar biasa. “Oleh karena itu saya berharap kegiatan workshop yang mempertemukan industri, pelaku usaha kecil dan menengah serta akademisi bakal menghasilkan hasil nyata, serta perlu branding yang tepat agar singkong tidak lagi dipandang sebelah mata,” harap Moh. Hasan. Setelah penyampaian materi, workshop dilanjutkan dengan pemaparan hasil penelitian terkait singkong oleh para peneliti, dan mahasiswa baik dari Universitas Jember, Universitas Mataram, Universitas Sumatera Utara, Universitas Trunojoyo Madura, peneliti LIPI dan peserta lainnya. Workshop Pengembangan Industri Berbasis Cassava adalah salah satu kegiatan dalam rangka Festival Tegalboto dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas Jember ke 54. (iim)
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]