[:id][vc_row][vc_column][vc_column_text]
Palu, 18 Maret 2019
Bencana gempa dan likuifaksi benar-benar meluluhlantakkan Palu, Sulawesi Tengah yang terjadi pada tanggal 28 September 2018 lalu. Dikutip dari wikipedia. Pengertian Pencairan tanah atau likuifaksi tanah (soil liquefaction) adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat. Menurut Seed et al (1975), Likuifaksi
Apa penyebab likuifaksi? Menurut pakar Penanggulangan bencana, Joko Mulyono dosen Universitas Jember memaparkan(17/3), terjadinya bencana dari kacamata perspektif terjadinya bencana itu dari aspek hasat dibagi menjadi 3 aspek yaitu ancaman bencana dan kerentanan dibagi dengan kapasitas sehingga terjadilah yang namanya resiko bencana tersebut.
Menutut pria kelahiran ponorogo ini menjelaskan “Kondisi tanah yang ada di Petubu dan Balaruwa, Palu, Sulawesi tengah tersebut sepertinya memang merupakan tanah sidementasi, dimana tekstur tanah tersebut merupakan tumpukan tanah beberapa ratus tahun yang lalu, dimana tekstur tanah tersebut tidak padat, sehingga jika ada goncangan atau gempa bisa dimungkinkan terjadi hal tersebut disebabkan endapan air didalam tanah terlalu banyak” jelas Joko Mulyono.
Lantas joko menambahkan, secara geografis wilayah tersebut seperti bentuk “batok”, dimana tepian kari dan kanan adalah dataran tinggi dan tidak mempunyai pohon lindung dengan akar yang kuat untuk mencengkeram tanah tersebut “Jika tanah tersebut dihujani terus menerus disertai gempa, maka akan rentan sekali terjadi likuifaksi” tambah pria yang aktif di Koprs Tanggap Bencana Kampus ini.
“Dalam perspektif lain jika dihubungkan dengan Lingkungan juga tidak ada keseimbangan antara daya dukung dan daya tampung” ujar Joko mulyono. “Ketika tekstur tanah dan daya dukung sudah tidak memenuhi dimana jika dilihat yang terjadi di palopo dan balaruwa disitu adalah pemukiman yang sangat padat dengan bangunan-bangunan beton jika kapasitas atau daya tampung sudah tidak seimbang dan kemudian terkena goncangan atau gempa secara otomatis bencana tersebut tidak bisa dielakkan”. Tegas joko mulyono.
Menanggapi bencana tersebut menurut Joko Mulyono, dengan banyaknya pemukiman seperti Perumahan atau semacamnya hal tersebut bisa terjadi “kenapa hal itu terjadi? Harusnya kita mempunyai pemerintah daerah dimana pemerintah daerah mempunyai dokumen tentang Tata Ruang {RT/RW} berbasis mitigasi bencana. Artinya dokumen RT/RW disusun sedikitnya melalui analisa risiko bencana.
Pria yang aktif dibidang kebencanaan ini berharap “Pemangku kebijakan, utamanya pemerintah daerah haruslah lebih seliktif dan bijak dalam membuat keputusan untuk menerbitkan ijin mendirikan bangunan atau semacamnya terutama developer, Lebih-lebih membangun fasilitas umum di lokasi atau kawasan potensi bencana” harapnya.
Dengan demikian Pria kelahiran 1964, ini menghimbau agar pemerintah mesosialisasikan dokumen RT/RW kepada masyarakat, jika perlu pemerintah mencetak dan menerbitkan buku saku tentang tata ruang bagi warga Negara. (is.Hum)
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row][:]