[:id]Sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi, maka suatu keniscayaan untuk menggapai pendidikan sampai jenjang doctoral; sebagaimana telah diwacanakan oleh Bapak Menristekdikti tahun lalu. Untuk mewujudkan wacana tersebut pemerintah telah menyediakan berbagai macam beasiswa di antara BPPLN bagi yang ingin studi lanjut ke luar negeri dan BPPDN bagi yang studi lanjut di dalam negeri dan PMDSU bagi lulusan sarjana (S-1) unggul yang ingin lanjut (pintas) ke doctoral.
Sebagai dosen yang pernah menikmati BPPLN DIKTI ke Auckland University of Technology – New Zealand, penulis ingin berbagi pengalaman sekilas tentang bekal apa yang diperlukan untuk sukses studi ke luar negeri. Tentunya tulisan ini banyak bersifat pengalaman pribadi sehingga contoh-contoh yang akan kami kemukakan juga kejadian nyata yang saya alami dan mungkin tidak dialami orang lain.
1. Kemampuan berbahasa asing, bahasa Inggris
Saya kira tanpa penjelasan pun semua orang dapat merasakan ini. Kemampuan berbahasa Inggis di kampus dengan bahasa akademik tidak perlu dipertanyakan pentingnya. Menulis dan merespon email, menulis report, menyusun proposal, membuat laporan kemajuan dan lain-lain. Semua perlu kemampaun berbahasa Inggris akademik yang bagus. Kalau tidak, jangan kaget ketika report Anda diberi comment “very poor English”. Demikian juga ketika di kelas mengikuti pelajaran, tutorial dan di laboratorium; semua perlu bahasa Inggris yang excellent. Sampai di sini saya menduga bahwa kemampuan bahasa Inggris akademik saya dan rekan-rekan dari Indonesia yang belajar di Auckland belum mencapai level excellent. Terbukti sangat sedikit mahasiswa doctoral dari Indonesia yang menjadi asisten dosen di kelas. Paling banter, menjadi asisten lab yang tidak perlu banyak omong.
Dalam keseharian pun diperlukan bahasa Inggris yang baik; untuk berbelanja, naik kendaraan umum, bertanya sesuatu jika tidak faham, bekerja part time, atau sekedar mengobrol dengan kolega atau menyapa tetangga. Bahkan tahu idiom dan slank bahasa Inggris khas di daerah yang kita tempati akan menjadi sebuah keunggulan dan akan mudah kita mendapat teman orang lokal di mana kita tinggal.
Ada sebuah cerita ketika saya bersama keluarga hendak naik umum. Kami sudah berada di tempat bis datang dan bertolak. Begitu bis dengan nomor yang sesuai petunjuk datang, saya naik kemudian si supir bule mengatakan sesuatu dalam bahasa Inggris logat New Zealand, saya pun keluar karena merasa dipersalahkan naik bis ini oleh driver. Kemudian saya suruh anak saya yang masih SD bertanya ke supir yang sama dan anak saya turun bercerita bahwa supir tadi bilang kalau bis akan berhenti sejenak sebelum melanjutkan route-nya. Selama berhenti semua penumpang baru tidak boleh naik. Jadi, karena kekurangmahiran saya berbahasa Inggris a la orang lokal sana, terjadilah salah faham ini.
2. Keterampilan memasak
Mengapa ini penting? Beberapa alasan dapat penulis kemukakan. Pertama, harga makanan siap santap sangat mahal. Kalau kita terus ke kantin atau kedai makan apalagi restoran jelas beaisiswa tidak akan mencukupi. Kedua, belum tentu makanan jadi di tempat kita studi sesuai dengan selera lidah kita. Tambahan, kalau pun kita dapat memaksa mulut kita makan, kadang perut kita tak menerima atau belum biasa dengan makanan di sana. Jadi, keterampilan memasak akan membuat kita dapat lebih bertahan hidup dari pada kita tidak dapat memasak. Waktu saya tinggal di hostel (asrama mahasiswa) semua mahasiswa dari berbagai negara juga memasak a la negeri mereka berasal. Kadang mereka mengandalkan makanan beku atau makanan dalam kemasan kaleng jika tidak sempat memasak. Boleh percaya boleh tidak, di saat di luar negeri ketemu makanan asli Indonesia itu bahagianya melebihi daripada mendapat hadiah utama berupa sepeda motor dalam sebuat perlombaan, walau itu hanya tempe goreng.
Ketidakmampuan memasak mungkin akan menggiring kita akan kembali ke mie instant, yang jika dikonsumsi terus menerus tentu mungkin tidak dapat bertahan belajar bukan karena alasan akademik tetapi karena sudah kedahuluan jatuh sakit dan mungkin kronis. Beruntung jika Anda seperti saya tinggal di Auckland, kota dengan banyak warga Indonesia yang sudah menjadi permanent resident dan beberapa dari mereka menyediakan catering makanan menu khas Indonesia dengan harga terjangkau. Kalau tidak, mungkin Anda harus bersiap seperti kawan yang studi di Glasgow yang tidak pernah bertemu nasi. Sehingga dalam satu tahun bobotnya turun empat puluh kilogram. Sakit? Untungnya tidak, karena mungkin dulu sebelum berangkat studi mengalami obesitas. Dengan penurunan bobot yang signifikan membuat dia tampak lebih sehat dan lebih muda seperti mahasiswa tahap sarjana.
3. Mengatur waktu
Kalau soal ini sih, tidak sekolah pun harus mampu mengatur waktu. Di saat studi lanjut di luar negeri agenda betul-betul padat dan harus diatur sehingga dapat lulus dalam rentang waktu beasiswa yang tersedia. Kalau tidak, saya tidak dapat membayangkan harus mendapat biaya dari mana jika molor melebihi batas waktu beasiswa. Sebagai gambaran beasiswa yang kita terima, sekitar 75% tersedot untuk akomodasi (sewa kamar atau flat).
Kalau soal mengatur waktu, terus terang saya hampir tidak pernah lembur. Sebagai Muslim meyakini dikabulkannya doa Nabi Muhammad yang pernah memohon untuk memberkati umatnya di pagi hari. Pagi usai subuh langsung beraktivitas sampai maghrib atau isya tergantung musim. Pulang ke apartemen untuk makan malam bersama keluarga dan istirahat supaya besok pagi dapat beraktivitas dalam keadaan segar bugar. Kalau kita ikuti kisah orang-orang yang sukses di dunia pun mereka selalu bangun pagi-pagi dan segera berkativitas dan menghindari kerja terlalu larut malam.
Termasuk dalam mengatur waktu adalah membiasakan tepat waktu baik untuk diri sendiri maupun ketika membuat janji dengan seseorang. Kalau orang kita terkenal dengan istilah jam karet, orang barat sebaliknya, mereka tepat waktu. Sehingga tidak ada waktu tersia-sia karena menunggu yang tidak perlu.
Sebagai tambahan, karena jamannya android dan medsos, hendaknya kita dapat membatasi diri dalam beriteraksi di medsos. Khawatir kalau terlalu aktif di medsos pekerjaan utama kita studi terabaikan. Disadari atau tidak komunikasi di medsos lebih banyak yang mengarah ke sia-sia. Informasi yang masuk pun banyak yang sebenarnya tidak kita perlukan dan tidak ada efeknya sama sekali terhadap kehidupan kita. Justru jika mengikuti informasi yang lalu lalang di medsos kita lupa tujuan kita studi dan lupa kita sedang menggunakan uang negara.
4. Komtemplasi
Mengikuti jadwal riset yang padat dan tantangan untuk menemukan novelty, dapat membuat ada bagian jiwa kita yang kosong. Perlu waktu untuk diri sendiri. Hal ini dapat Anda peroleh dengan merenung, sembahyang dan berdoa. Di saat menenangkan fikiran akan muncul ide-ide baru dan cemerlang. Kalau Anda percaya kepada kekuasaan Tuhan, mungkin Anda akan merengek dan mencurahkan letih perih yang Anda alami kepada Nya seraya memohon kekuatan untuk melampaui tiap tahap kehidupan dengan lancar.
5. Mengatur Keluarga
Kalau sudah berkeluarga, sebaiknya dibawa bersama. Kalau tidak, banyak godaan ketika seorang jauh dari pasangan hidupnya. Kalau pun sudah ada buah hati ada baiknya dibawa. Kalau dia pada usia sekolah, maka akan mendapatkan pengalaman berharga ketika sekolah di luar negeri. Jadi, sebaiknya difikirkan baik-baik bagaimana akan memboyong keluarga. Pilihlah alternative negara yang memungkinkan selama belajar kita atau pasangan kita dapat bekerja. Karena, terus terang, jika mengandalkan beasiswa tidak akan mencukupi. Jadi kita atau pasangan kita bekerja bukan untuk menabung atau menumpuk harta tapi hanya untuk bertahan hidup. Sekali lagi, biaya hidup mungkin sangat mahal jika dibanding di tanah air kita.
Ada beberapa kawan yang rela suami atau istrinya melepas pekerjaan mapannya di Indonesia demi mendampingi pasangannya belajar. Meraka yang memilih cara ini kelihatan lebih lancar studinya dari pada yang bolak-balik beberapa kali pulang ke tanah air menemui keluarga yang tidak ikut dibawa serta. Kata mereka yang bolak-balik, perlu waktu untuk kembali ke “on” studi jika usai mudik.
6. Waktu di luar studi
Waktu untuk keluarga mungkin tidak banyak. Mengobrol bercengkerama saat sarapan dan makan malam itu saja keseharian kita bertemu keluarga. Sempatkan sehari dalam sepekan acara bersama. Supaya kesetimbangan hidup dapat terjaga. Sesekali waktu perlu hadir acara sosial bersama komunitas. Beruntung saya waktu di Auckland kami tinggal di apartemen dengan jumlah orang Indonesia lebih dari 25 KK (dan kita membentuk paguyuban RT). Walau tidak terlalu sering, kita kadang ada kumpul bareng makan-makan, BBQ atau pot luck party (masing-masing keluarga membawa makanan kemudian kita makan bersama). Ada juga paguyuban orang Indonesia di Auckland yang mengadakan pengajian bulanan. Kalau yang ini kami belum dapat bergabung kecuali hanya sesekali saja. Paling hadir waktu acara hari raya.
Demikian catatan kecil saya. Semoga bermanfaat bagi yang akan dan sedang menjalani studi di luar negeri. Bagi yang belum berangkat dapat memersiapkan diri lebih baik. Semoga suskes selalu menyertai kita semua dengan pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa.[:]