[vc_row][vc_column][vc_column_text]
Jember, 14 September 2019
Banyak hal menarik dan ilmu baru yang terungkap dari workshop bertema Dari Gastronomi Menuju Gastrodiplomasi Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gastrodiplomasi Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember (14/9). Sesi penyampaian materi dan diskusi berlangsung hangat kala membahas bagaimana sebaiknya menjadikan makanan khas Indonesia sebagai alat diplomasi. Salah satu gagasan adalah Unity in Diversoto yang disampaikan oleh Kartika Candra Negara, Direktur Hubungan Antar Lembaga Luar Negeri, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI. Unity in Diversoto, slogan bernada guyonan ini dilontarkannya untuk menjawab pertanyaan apakah perlu standarisasi soto Indonesia ?
Pertanyaan standarisasi soto Indonesia mengemuka setelah beberapa pemateri mengusulkan standarisasi makanan, mengingat beraneka ragamnya soto khas Indonesia. Misalnya saja ada soto Madura, soto Lamongan, soto Banjar, coto Makassar hingga sroto Banyumas. “Menurut saya biarkanlah setiap soto menampilkan ciri khasnya masing-masing, jangan diubah apalagi disesuaikan dengan lidah asing. Intinya Unity in diversoto, persis seperti Indonesia yang beragam namun satu juga, jadi ada banyak soto di nusantara tapi semuanya soto Indonesia,” ungkap Kartika Candra Negara. Bahkan slogan Unity in diversoto digarap serius oleh Bekraf RI sebagai branding Indonesia di luar negeri.
Fakta menarik lainnya disampaikan oleh Indra Karona Ketaren, anggota dewan pembina Indonesian Gastronomy Association (IGA). Menurutnya selama ini ada kesalahanpahaman antara istilah kuliner dan gastronomi. “Dalam kajian mengenai dunia makanan, istilah kuliner itu membahas dari sisi produksinya, jadi membahas bagaimana pembuatan sebuah masakan, misalnya saja apa resep sebuah masakan, koki yang baik itu harus bagaimana dan sebagainya. Sementara gastronomi adalah dari sisi penikmatnya, contohnya apa sih sejarah sebuah masakan, atau kisah dibalik sebuah makanan, apakah makanan ini enak dan seterusnya. Jadi yang benar adalah wisata gastronomi bukan wisata kuliner,” tuturnya.
Oleh karena itu Indra Karona Ketaren setuju Indonesia mengembangkan Gastrodiplomasi pasalnya dalam kajian gastronomi ada sisi tangible dan intangible. “Makanan di Indonesia itu bukan sekedar makanan, namun kaya akan sisi intangible misalnya makanan tertentu memiliki sejarah dan filosofi seperti nasi tumpeng, bahkan ada makanan yang memiliki ritual tertentu sebelum disajikan. Nah hal ini yang umumnya tidak dimiliki makanan di dunia barat yang umumnya dilihat dari sisi tangible saja. Keunikan makanan Indonesia ini bisa menjadi alat diplomasi hingga penarik wisatawan,” imbuhnya.
Pendapat Indra Karona Ketaren didukung oleh Maya Syahrial, dari Tim Percepatan Pengembangan Wisata Kuliner dan Belanja Kemenpar. Menurutnya kini Kemenpar telah mengubah istilah wisata kuliner menjadi wisata gastronomi, bahkan Kemenpar telah menetapkan tiga lokasi unggulan wisata gastronomi yaitu di Ubud, di Bali, Bandung dan kawasan Jogja-Solo-Semarang atau biasa disingkat Joglosemar. “Saat ini kebijakan strategi Kemenpar berubah, yang sebelumnya menitik beratkan pada wisata alam kini menjadi wisata budaya, dimana wisata gastronomi menjadi salah satu andalannya disamping wisata belanja dan wisata kriya. Dan wilayah wisata gastronomi itu terbuka luas untuk dieksplorasi dari hulu seperti memberikan informasi sejarah mengenai makanan hingga di hilir dengan menyantap makanannya,” kata Maya Syahrial.
Perspektif baru juga disampaikan oleh Nuning Purwaningrum, penasehat di Indonesian Diaspora Network United. Perempuan yang lama tinggal di Amerika Serikat ini menjelaskan peran penting diaspora Indonesia dalam mempopulerkan khazanah gastronomi nusantara. “Diaspora Indonesia menjadi non state actor yang penting dalam Gastrodiplomasi kita, dengan upaya sendiri kami selalu mempromosikan budaya dan makanan Indonesia, tidak ada festival budaya Indonesia yang tidak menampilkan makanan Indonesia. Adanya berbagai festival budaya Indonesia di luar negeri yang diadakan oleh diaspora Indonesia mampu menjangkau kalangan grassroot sebuah negara. Jadi pelibatan diaspora kita jadi hal krusial,” jelasnya.
Nuning Purwaningrum lantas mengemukakan ide agar strategi Gastrodiplomasi Indonesia tidak melulu pada tema keanekaragaman makanan Indonesia, namun juga mengikuti trend yang ada di negara setempat. Nuning Purwaningrum lantas mengajukan empat trend makanan yang kini ada di Amerika Serikat diantaranya healthy, exotic, natural dan aesthetic. “Tempe misalnya dapat dikemas sebagai makanan yang sehat bagi kalangan yang memperhatikan kesehatan di banyak negara maju,” ujar anggota penasehat Indonesian Diaspora Network United ini.
Pengembangan Gastrodiplomasi di Indonesia didukung penuh oleh pemerintahan Joko Widodo. Hal ini tampak dari pernyataan Thanon Aria Dewangga, Deputi Sekertaris Kabinet Bidang Dukungan Kerja Kabinet yang turut hadir. Menurutnya Presiden Joko Widodo telah menetapkan empat bidang soft diplomacy Indonesia, yakni olah raga, budaya, makanan dan film. “Memang masih ada kendala dalam mengembangkan soft diplomacy Indonesia, khususnya di bidang Gastrodiplomasi, seperti masih belum adanya peta jalan Gastrodiplomasi yang terintegrasi, oleh karena itu Sekretariat Kabinet mendukung penuh langkah Universitas Jember mendirikan Pusat Kajian Gastrodiplomasi dengan harapan memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan Gastrodiplomasi kita,” pungkasnya. (iim)
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]