[vc_row][vc_column][vc_column_text]
Jember, 11 Oktober 2019
Bencana alam dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, apalagi di Indonesia yang tergolong negara rawan bencana. Jika bencana datang, maka sudah pasti salah satu kebutuhan pokok adalah Hunian Sementara (Huntara) untuk menampung relokasi pengungsi. Huntara ini harus dapat segera dibangun dalam waktu cepat namun harus kuat. Dan salah satu unsur vital Huntara adalah atap yang berfungsi untuk melindungi pengungsi dari panas dan hujan. Untuk itu tiga mahasiswa Fakultas Teknik (FT) Universitas Jember, Dhaniar Muchlis Prayoga dan Rizky Ilham Mardhani dari Program Studi Teknik Sipil dan Ratri Wulandari dari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, mengembangkan model rangka atap ringan, kuat, sederhana, yang dapat dibangun dalam waktu singkat.
“Kami menamakan model rangka atap untuk Huntara ini sebagai lightweight and simple truss for relocation buildings,” jelas Dhaniar yang ditunjuk sebagai ketua tim saat ditemui di Kampus Tegalboto (11/10). Ide pembuatan model atap Huntara ini awalnya karena tantangan mengikuti lomba desain model rangka atap Huntara di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ketiganya lantas memutar otak mendesain rangka atap Huntara yang kuat, ringan, sederhana, dan dapat dibangun dalam waktu singkat. “Maklum dalam kondisi bencana alam maka kondisi fisik dan psikis pengungsi sangat rentan sehingga Huntara untuk relokasi sementara bagi pengungsi harus segera didirikan,” timpal Ratri, satu-satunya perempuan di tim. Di tim Ratri bertugas mengkaji bagaimana manajemen sebuah Huntara harus dibangun, sesuai latar belakang keilmuannya.
Pilihan mereka kemudian jatuh pada penggunaan baja siku tunggal yang mudah didapatkan di toko bangunan. Pilihan pada baja siku tunggal juga didasari oleh baja ini lebih ringan dibandingkan baja sejenis. Model rangka atap Huntara yang mereka garap berukuran panjang 1,5 meter dengan ketinggian 44 sentimeter dan butuh waktu 45 menit saja untuk merakitnya. Hanya butuh ongkos 75 ribu rupiah untuk membeli baja siku tunggal dan bautnya. “Jika dalam skala nyata, maka desain rangka atap Huntara kami ini bisa berukuran panjang 15 meter dengan ketinggian 4 meter,” kali ini kata Rizky, tandem Dhaniar di tim.
Pada saat lomba di Kampus Bulak Sumur pada 11-13 September 2019 lalu, arek-arek Tegalboto membuktikan betapa efisen dan efektifnya model rangka atap Huntara yang mereka kembangkan. “Kami hanya membawa baja siku tunggal seberat lima kilogram, baut, bor tangan, kunci Inggris dan balok kayu saja untuk merakit, sementara ada kompetitor yang membawa berbagai peralatan pendukung. Tidak heran tim kami yang paling cepat merakit sehingga ada juri yang heran saat tahu kami sudah selesai di saat yang lain masih sibuk kerja,” ungkap Dhaniar mengingat perjuangan mereka di babak final. Untuk diketahui, ada 10 tim yang melaju ke babak final.
Model rangka atap desain ketiganya dipuji dewan juri, pasalnya ringan, murah, efisien dan dapat dibangun dalam waktu tidak terlalu lama. Apalagi bahan bakunya bisa diperoleh dengan mudah di banyak toko bangunan. Unsur kemudahan bahan baku, mudah dirakit dan pembuatan yang relatif cepat menjadi keunggulan tim Aquila Truss dari FT Universitas Jember. Bahkan rangka atap mereka lebih ringan 2 kilogram dibandingkan lawannya. “Sayangnya kami gagal di uji beban, awalnya kami memperkirakan rangka atap kami bisa menahan beban hingga 450 kilogram, namun ternyata collapse di angka beban 350 kilogram,” sesal Dhaniar diiyakan kedua kawannya.
Akhirnya karya ketiganya diganjar juara ketiga dalam ajang “International Roof Trust Design Competititon yang digelar oleh Program Studi Teknik Sipil UGM”. Sementara juara pertama diraih oleh tim Universitas Tadulako, dan juara kedua dibawa pulang tim Universitas Negeri Yogyakarta. Namun ketiganya tak lantas patah arang, kini mereka tengah bersiap mengikuti ajang kompetisi desain runaway bandara yang akan diadakan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Februari tahun depan.
“Kebetulan masing-masing dari kami bergabung di kelompok penelitian, saya di Unit Kegiatan Mahasiswa Einstein Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota yang memang aktivitasnya melakukan penelitian dan kajian. Sementara Dhaniar dan Rizky sama-sama aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, jadi melakukan riset sudah sering kami lakukan,” pungkas Ratri. (iim)
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]