Burno, Desa Eduwisata Berbasis Agronursing Yang Giat Berbenah Bersama Universitas Jember Kampus Lumajang

Jember, 18 Oktober 2019

Pemerintah bertekad memajukan desa, salah satu kebijakan yang ditempuh adalah dengan rencana menyalurkan Dana Desa. Dana Desa diharapkan dimanfaatkan untuk mewujudkan program-program kreatif berkelanjutan agar desa jadi berdaya. Tentunya desa butuh pendampingan dan pengawasan. Oleh karena itu pemerintah memerlukan mitra yang dapat menjadi pendamping desa, salah satunya dari kalangan perguruan tinggi. Pernyataan ini disampaikan oleh Samsul Widodo, Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) dalam ajang Festival Universitas Jember Membangun Desa (UMD) di auditorium Universitas Jember (9/10).

Tantangan Dirjen PDT Kemendesa PDTT ditanggapi oleh Universitas Jember, seperti yang dilakukan oleh Program Studi Diploma 3 Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Jember Kampus Lumajang. Melalui Kelompok Riset (KeRis) Disaster Emergency and Nursing Studies (Densus), mereka turut membina Desa Burno, Kecamatan Senduro dengan segala potensinya untuk menjadi Desa Eduwisata berbasis Agronursing melalui Sekolah Desa. Berikut laporan tim Humas dan Protokol Universitas Jember yang berkesempatan mengunjungi Desa Burno (16/10).

Dari Susu Kambing Senduro, Kripik Pisang Hingga Layanan Bagi Pendaki Gunung Semeru

            Hawa sejuk langsung terasa begitu kami memasuki Desa Burno yang berada di kaki Gunung Semeru. Dengan profil topografi daerah yang berada di ketinggian 900 Mdpl, Desa Burno memang cocok sebagai lokasi tetirah alias wisata. Potensi wisata alam ada, misalnya Wana Wisata Siti Sundari, air terjun Watu Silo hingga trekking ke Ranu Pane hingga puncak Semeru. Atau ingin menikmati kesegaran susu kambing Senduro dan susu sapi perah sambil ngemil kripik pisang Mas Kirana ? Semuanya menarik hati.

            “Desa Burno punya banyak potensi wisata, tinggal bagaimana kita mengemasnya lebih baik agar wisatawan mau datang. Kedua, kami dari Universitas Jember Kampus Lumajang ingin mengembangkan konsep Eduwisata berbasis agronursing di sini,” tutur Anggia Astuti, koordinator Sekolah Desa yang pagi itu menemani kami. Pagi itu 20 warga Desa Burno tengah berdiskusi dan berlatih di balai desa setempat bersama para dosen Universitas Jember Kampus Lumajang. “Materi Sekolah Desa hari ini adalah bagaimana warga desa memberikan penjelasan kepada wisatawan mengenai lokasi wisata atau produk yang mereka hasilkan, ibaratnya mereka jadi pemandu wisata,” imbuh Anggia Astuti.

KeRis Densus Universitas Jember Kampus Lumajang sendiri mulai membina warga Desa Burno semenjak bulan September lalu. Setiap minggunya, para dosen bergantian memberikan materi di kelas dan mendampingi praktik para warga desa hingga nanti dua bulan ke depan. Menurut Suhari, Ketua KeRis Densus, Sekolah Desa digelar dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi petani dan peternak yang tidak bisa diselesaikan secara individu. Adanya kegiatan sekolah desa diharapkan mampu menciptakan kelompok tani-peternak yang paham apa itu agronursing, sehingga tercipta kawasan wisata yang sehat, higienis, aman, dan nyaman. Agronursing sendiri adalah penatalaksanaan manajemen pelayanan keperawatan  dan asuhan keperawatan, dalam ruang lingkup pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan serta agroindustri, yang menjadi visi misi Program Studi Diploma 3 Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Jember Kampus Lumajang.

“Materi yang kami berikan dalam Sekolah Desa meliputi pengenalan dan pemahaman akan pentingnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja atau K3 di area pertanian dan peternakan. Warga Desa Burno kami latih menggunakan alat pelindung diri saat bekerja di lahan dan kandang ternak, termasuk praktik mencuci tangan yang benar. Ke depan, prosedur ini juga akan diterapkan kepada wisatawan yang berkunjung ke Desa Burno,” jelas Suhari. Sekolah desa ini dinamakan Anoman Burno, singkatan dari Agronursing for Tourism and Education.

Program yang diusung oleh Universitas Jember Kampus Lumajang didukung oleh Heri Nurhandoyo, Sekertaris Desa Burno. Menurutnya banyak potensi di desanya, namun memang belum ada program yang terintegrasi yang mampu mensinergikan semua potensi tadi. “Kami menyambut gembira adanya Sekolah Desa di desa kami, banyak ilmu dan pengetahuan baru bagi warga Desa Burno,” ungkapnya. Desa Burno sendiri memiliki penduduk sejumlah 4.720 jiwa dengan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.

Warga Desa Burno dengan pendampingan Universitas Jember Kampus Lumajang memang sepakat menampilkan konsep eduwisata di desanya. Artinya wisatawan nantinya tidak hanya menikmati keindahan alam saja, tapi juga diajak bertani dan berternak. “Konsepnya wisatawan disodori berbagai paket wisata, misalnya Paket Wisata Pisang dimana wisatawan akan diajak belajar bagaimana budidaya pisang Mas Kirana yang khas Lumajang. Dari menanam hingga memanen, termasuk belajar pembuatan kripik pisang. Bahkan kami mengajak wisatawan memanen kopi,” kata Arista Maysaroh salah seorang dosen yang aktif mendampingi warga desa Burno.

Paket wisata lain yang ditawarkan adalah Wisata Kambing dan Wisata Sapi, dimana wisatawan diajak belajar memelihara kambing Senduro atau sapi perah hingga berkesempatan memerah susunya. Kami pun berkesempatan menuju kandang kambing Senduro milik  Gunarso, salah satu peternak setempat. Kandang yang ada di belakang rumah Gunarso ini tampak bersih, ada empat kambing Senduro yang siap diperah. “Harga susu kambing Senduro ini dua kali lebih mahal lho dari susu sapi perah, sementara khasiatnya banyak seperti untuk kesehatan pencernaan hingga kebugaran tubuh,” ujar peternak yang akrab dipanggil Pak Gambleh ini.

Dan peran Universitas Jember Kampus Lumajang dengan agronursing-nya muncul di sini. Kandang kambing Senduro dijaga betul kebersihannya, begitu pula dengan proses pemerahan susu kambingnya. “Kami mengajarkan kepada peternak bagaimana memerah susu yang higienis dan sesuai aturan kesehatan, seperti prosedur cuci tangan, pemakaian sarung tangan dan celemek hingga proses pengolahan susu pasca pemerahan. Jika proses pemeliharaan kambing hingga pemerahan susu bersih dan higienis maka kami harapkan wisatawan tertarik untuk datang. Kami juga berencana bekerjasama dengan para peneliti lain di Universitas Jember untuk diversifikasi produk susu kambing semisal menjadi keju dan bahan masker kecantikan,” ujar Anggia Astuti.

Prospek susu kambing dari Desa Burno cukup menjanjikan. Kini ada 30 peternak yang mengusahakan kambing Senduro. “Satu ekor kambing Senduro bisa menghasilkan satu liter susu per harinya. Selama ini memang kami masih menjual produk berupa susu segar langsung pengepul, ke depan dengan adanya Sekolah Desa binaan Universitas Jember Kampus Lumajang kami ingin mengolah sendiri susu kambing Senduro supaya menambah pemasukan kami,” harap Gunarso. Kami pun mendapatkan kesempatan mencicipi susu kambing Senduro, dan rasanya sungguh segar tanpa bau prengus sama sekali.

Lokasi wisata yang ditawarkan berikutnya adalah Wisata Pisang. Seperti yang diketahui, Lumajang menjadi sentra penghasil pisang di Jawa Timur, bahkan pisang Mas Kirana sudah tersohor hingga disajikan di Istana Kepresidenan. Di kebun pisang yang diusahakan oleh  Mujasa dan Tohar ini kami melihat bibit pisang Mas Kirana yang siap tanam hingga pisang yang siap panen. “Memang sudah kami atur agar setiap dua minggu sekali kami bisa panen pisang Mas Kirana. Pisang Mas Kirana di kebun kami ini ditanam secara organik, bahkan kami sudah mendapatkan sertifikasi dari Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang. Contoh kecilnya kami menggunakan kotoran kambing dan sapi milik peternak sebagai pupuk,” kata Tohar menunjukkan tanaman pisangnya yang baru saja dipupuk dengan kotoran kambing.

Pisang yang sudah waktunya dipanen dipotong dan dikemas sesuai dengan prosedur dengan memperhatikan faktor kesehatan dan kebersihan. “Dalam seminggu rata-rata Desa Burno bisa menghasilkan 3,5 ton pisang Mas Kirana yang dikirimkan ke berbagai daerah melalui mitra kami.  Pisang jenis ini sangat disukai karena lebih manis dari melon lho,” kata Tohar berpromosi. Dan memang pisang Mas Kirana beda dengan pisang sejenis, teksturnya padat dan tentu saja manis, apalagi baru dipanen langsung dari kebun.

Pisang panenan tadi dibagi menjadi tiga kelompok besar. “Pisang yang bentuknya bagus seperti kipas dengan berat minimal 8 ons masuk dalam grade A, sementara yang berbobot kurang dari 8 ons masuk kategori grade B. Untuk pisang yang bentuknya kurang baik akan masuk kelompok grade C yang biasanya jadi bahan baku kripik pisang. Jadi boleh dikata tidak ada yang terbuang, bahkan kulit pisangnya untuk pakan ternak. Penanaman pisang di kebun ini memakai sistem tumpang sari, jadi ada tanaman kopi di sela-sela tanaman pisang,” ungkap Mujasa.

Uniknya, ternyata ada cara tersendiri dalam memanen pisang Mas Kirana. Mujasa lantas memperlihatkan kepada kami cara memotong pisang dari tandannya. Pria paroh baya ini menggunakan alat yang biasa disebut cecek. Alat karya warga Desa Burno ini mirip spatula untuk memasak namun dengan ujung melengkung yang tajam dengan pegangan yang disesuaikan. “Dengan alat ini maka proses pemotongan pisang dari tandannya lebih mudah, tinggal membersihkan dengan air dan siap dikemas dalam karton,” jelas Mujasa.

Setelah puas menikmati pisang Mas Kirana langsung di kebun, kami pun berpindah ke Wana Wisata Siti Sundari yang tak jauh dari pusat Desa Burno. Perjalanan menuju Wana Wisata ini lancar mengingat jalanan sudah teraspal dengan mulus. Wana Wisata Siti Sundari sendiri adalah lahan terbuka luas dipagari pohon-pohon besar khas vegetasi pegunungan. Hawanya sejuk dan menenangkan karena angin smeilir yang berhembus. Berjarak satu kilometer dari Wana Wisata itu terdapat air terjun Watu Silo. Sayangnya belum ada fasilitas pendukung di kompleks wana wisata ini, jalan menuju lokasi air terjun Watu Silo pun tergolong sulit.

 

Wana Wisata Siti Sundari ini dikembangkan oleh warga Desa Burno yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wono Lestari, dengan 661 petani anggota. Para anggota LMDH Wono Lestari diberi kesempatan memanfaatkan hutan yang ada dengan cara bertanam pakan ternak seperti rumput gajah, kaliandra dan tanaman lainnya dengan syarat tetap menjaga kelestarian hutan. Komoditi pakan ternak menjadi usaha yang menguntungkan mengingat mengingat 80 persen warga Desa Burno memiliki ternak. Selain menjaga kelestarian hutan sekitar, LMDH Wono Lestari juga diberi kepercayaan mengelola Wana Wisata Siti Sundari.

Menurut Edi Santoso, ketua LMDH Wono Lestari, Wana Wisata Siti Sundari memang baru dirintis oleh karena itu masih perlu perbaikan di sana-sini. Oleh karena itu kelompoknya tidak menarik tiket masuk. Walaupun demikian, sudah ada beberapa rombongan wisatawan yang bersantai di Wana Wisata Siti Sundari. Beberapa kegiatan seperti pelatihan penanganan bencana alam oleh Universitas Jember Kampus Lumajang juga dilakukan di sini. Kami pun berpikiran sama, tentu sayang jika spot wisata yang indah ini tidak digarap dengan maksimal. Sambil duduk lesehan, kami pun dijamu makan siang nasi jagung ala Desa Burno yang sungguh nikmat. Sambil menikmati makan siang, terlintas pertanyaan mengapa wana wisata ini dinamai Siti Sundari ? Siapakah dia ?

Edi Santoso lantas menjelaskan kepada kami. “Menurut cerita leluhur kami, maka mbah Siti Sundari lah orang yang pertama membuka daerah dimana wana wisata ini terletak. Memang sih harus digali lagi siapa mbah Siti Sundari itu, sebab selama ini hanya cerita dari generasi ke generasi saja. Tapi kalau boleh saya tafsirkan, Siti itu kan artinya tanah, Sun itu dalam Bahasa Inggris artinya matahari. Jadi kami ini petani yang sumber penghidupannya berasal dari tanah dan matahari, klop kan dengan nama Siti Sundari,” begitu penjelasan Edi Santoso yang lantas disambut ketawa para hadirin.

Lontaran pernyataan Edi Santoso, ditanggapi oleh Suhari. Menurutnya KeRis Densus  Universitas Jember Kampus Lumajang memang memiliki rencana mengembangkan Wana Wisata Siti Sundari. “Tentu kami harus bekerjasama dengan banyak pihak dalam mengembangkan Wana Wisata Siti Sundari, salah satu yang akan kami lakukan adalah bekerjasama dengan LP2M Universitas Jember agar ada penempatan mahasiswa peserta program KKN tematik desa wisata, selain itu mengajak para peneliti Universitas Jember yang kompeten di bidang pariwisata untuk menyusun blue print pengembangan Wana Wisata Siti Sundari,” jelasnya.

Selepas makan siang, perhatian kami tertuju pada pos kecil yang berada tak jauh dari kompleks Wana Wisata Siti Sundari. Ada beberapa alat kesehatan yang disediakan di pos tadi. “Itu Nursing Corner. Fasilitas yang ingin kami bangun bersama warga Desa Burno bagi pendaki yang akan naik ke Gunung Semeru,” kata Anggia Astuti. Pendirian Nursing Corner tak lepas dari posisi Desa Burno yang berada di kaki Gunung Semeru sehingga menjadi perlintasan para pendaki. Biasanya banyak pendaki yang mulai melakukan pendakian dari Desa Burno, dan dengan adanya Nursing Corner, maka para pendaki bisa mengecek kondisi kesehatan mereka.

“Kami menyediakan alat cek tekanan darah dan alat untuk mengecek kadar oksigen dalam darah, juga informasi kesehatan penting lainnya yang bermanfaat bagi para pendaki gunung. Misalnya saja kadar oksigen dalam darah yang normal bagi seseorang yang akan naik gunung harus minimal ada di angka 96. Nah, dengan adanya Nursing Corner maka para pendaki dapat memeriksakan diri secara mandiri, dengan demikian meminimalkan resiko terjadinya pendaki gunung yang sakit selama mendaki. Nantinya penempatan Nursing Corner menyesuaikan dengan jalur pendakian dan dijaga oleh warga Desa Burno sendiri,” timpal Arista Maysaroh.

Setelah mengunjungi proyek percontohan Nursing Corner, kami pun menuju rumah  Suryatno, petani dan peternak yang sekaligus pengusaha kripik pisang dari bahan pisang Mas Kirana. Di perjalanan kami mampir ke kandang sapi perah milik Endro Sampurno, yang bersama kawan-kawannya tergabung dalam kelompok peternak muda. Endro dan kawan-kawannya sore itu tengah asyik memerah susu sapi. Endro sendiri memiliki lima sapi yang per harinya mampu menghasilkan rata-rata 50 liter susu per hari. “Yah begini ini jadwal kami di sore hari, memerah susu. Ini jadwal pemerahan susu ke dua, yang pertama dilakukan di pagi hari. Hasil susu ini kemudian disetor ke koperasi untuk diolah dan dikirimkan ke sebuah pabrik susu. Selain susu, sapi perah milik kelompok peternak muda juga menghasilkan kotoran sapi yang mereka olah menjadi biogas.

Sesampainya di rumah Suryatno kami melihat pisang Mas Kirana grade C yang sudah dikupas, tak lupa bagian tengahnya diambil agar saat menggoreng dalam vacuum frying hasilnya bisa crispy. Dalam sehari biasanya Suryatno bersama anak dan istrinya bisa mengolah 10 kilogram pisang Mas Kirana menjadi kripik pisang. Jumlah ini bisa bertambah saat mendekati masa Hari Raya Idul Fitri. “Biasanya dari enam kilogram bahan bisa menghasilkan dua setengah kilogram kripik pisang. Setiap dua ons kami jual sepuluh ribu rupiah dengan merk Raja Rasa. Pemasarannya mencapai Probolinggo, Jember hingga Sidoarjo,” kata Suryatno.

Ide pembuatan kripik pisang berawal dari keinginan untuk memanfaatkan pisang Mas Kirana grade C dan pisang yang terlalu matang. Sebenarnya semua buah bisa diproses menjadi kripik asal pengolahannya tepat. Suryanto sendiri pernah mencoba memproduksi kripik salak, namun keterbatasan bahan baku salak menjadi kendala. Berbeda dengan pisang Mas Kirana yang melimpah di Desa Burno dan sekitarnya.  “Daripada hanya menjadi pakan ternak mengapa tidak diolah jadi kripik pisang saja, alhamdulillah kami mendapatkan bantuan tiga alat vacuum frying dari Kementerian ESDM. Prospek pemasarannya cukup bagus bahkan jika mendekati hari Raya Idul Fitri kami menambah tenaga produksi,” ungkap Suryatno. Kunjungan kami pun berakhir dengan membawa oleh-oleh kripik pisang manis crispy khas Desa Burno.

Di sepanjang perjalanan pulang ke Universitas Jember Kampus Lumajang, kami berbincang dengan anggota KeRis Densus. “Desa Burno penuh potensi, masyarakatnya pun sangat akomodatif. Oleh karena itu kami jadi bersemangat mengembangkan Desa Burno sebagai desa eduwisata yang berbasis agronursing. Apalagi kami juga ingin menjadikan Desa Burno sebagai Desa Binaan Universitas Jember. Target kami di tahun ini semua persiapan sudah beres sehingga tahun depan Desa Burno sudah siap menerima wisatawan,” pungkas Anggia Astuti. (iim)

Skip to content