Ada beberapa tema Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional di Malaysia yang diikuti oleh mahasiswa Universitas Jember. Zaneta Arizandy Putri dan Citra Tunjung Sari melakukan usaha mendorong kesadaran siswa agar menghabiskan makanan dan mengolah sampah rumah tangga. Ada pula Alifia Anggraeni Agusti yang mengkampanyekan kesadaran akan bahaya penyakit kanker. Maka lain dengan yang dilakukan oleh Mutiara Dian Hergiati yang memilih mendampingi anak-anak difabel khususnya penyandang Tuna Grahita di lembaga Pusat Pemulihan Dalam Komuniti (PDK) Cahaya Kasih yang ada di Subang Jaya, Selangor. Berikut pengalaman Mutiara mendampingi anak-anak difabel seperti yang ditulis dan dikirimkannya kepada Humas Universitas Jember.
Minggu kedua saya di Malaysia adalah minggu yang lebih melelahkan. Ada banyak hal yang harus saya kerjakan. Saya harus berpartisipasi dalam workshop di Pusat Pemulihan Dalam Komuniti (PDK) Cahaya Kasih, melakukan Donation Drive, proses pembuatan video untuk proyek dan lainnya. Untunglah ada waktu libur karena ada liburan Imlek. Usai menikmati liburan dengan Malaysia Tour, hari Selasa tim kami melaksanakan persiapan workshop pertama di PDK Cahaya Kasih. Oh yah, PDK ini jika di Indonesia kira-kira seperti Sekolah Luar Biasa atau SLB. PDK adalah sebuah lembaga pendidikan yang dikhususkan untuk anak-anak difabel. Dalam merancang workshop untuk anak-anak difabel, kami berusaha untuk menggali ide-ide kreatif yang kami punya. Akhirnya permainan memory game dan matching colours terpilih menjadi materi dalam workshop pertama kami.
Dalam satu workshop, kami diberi waktu dari pukul 9 pagi hingga pukul 11 siang waktu Malaysia. Kami menggambar dan mewarnai sendiri hewan-hewan yang akan ditampilkan dalam memory game. Dalam sesi memory game, anak-anak difabel akan kami pandu untuk memilih salah satu hewan dan menemukan hewan yang sama. Kami memberi waktu istirahat selama 15 menit dalam setiap sesi, karena project director kami sudah mewanti-wanti bahwa anak-anak Tuna Grahita kurang mampu memfokuskan perhatian kepada suatu hal. Sehingga memforsir kemampuan fokus mereka akan berdampak buruk pada proses pembelajaran.
Setelah beristirahat sejenak, kami mempunyai ide untuk melanjutkannya dengan sesi matching colours. Sesi ini dapat digunakan juga untuk menguji level 1 hingga level 3 pada anak difabel yang mengikuti workshop kami. Level ini dapat diartikan sebagai kemampuan. Menguji kemampuan anak-anak difabel penting dilakukan, untuk mengetahui seberapa besar dampak workshop yang kami rancang untuk mereka. Di sesi ini, kami akan mengajari anak-anak tentang nama warna dalam bahasa Inggris dan meminta mereka untuk memasangkan tanda “heart” dengan warna yang sama di kertas yang telah kami desain. Kami sangat bersemangat dalam mengerjakan semua itu. Tetapi, jujur saya sangat nervous karena mengajari anak difabel adalah hal yang belum pernah saya lakukan selama 20 tahun menghirup oksigen di bumi.
Ternyata, agenda workshop kami digeser pada hari Rabu, bukan hari Selasa karena guru-guru di PDK Cahaya Kasih harus menghelat rapat di sekolah. Saya sedikit lega dengan pembatalan tersebut, sehingga saya meminta tim untuk latihan menyanyi dan menari kembali. Tim kami jadi memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan workshop. Keesokan harinya, kami sudah berkumpul di depan hostel pukul 08.16 waktu Malaysia. Kami sengaja bangun lebih pagi karena tidak ingin datang terlambat ke PDK Cahaya Kasih. Pada pukul 08.30 kami sampai di tempat tujuan. Beberapa menit berlalu, kami masih berdiri di depan pagar PDK Cahaya Kasih untuk menunggu kedatangan project director kami. Tetapi, kami memutuskan untuk masuk ke PDK ketika seorang makcik, sebutan untuk perempuan paruh baya di Malaysia, mempersilakan kami masuk.
Belakangan, kami baru tahu bahwa makcik tersebut bernama Cikgu Sarah. Cikgu merupakan istilah Malaysia untuk menyebut “Ibu Guru”. Dengan agak canggung, kami masuk melalui pintu samping milik PDK Cahaya Kasih. Angin dingin yang menguar dari AC menyambut kami pagi itu. Saya melihat beberapa anak yang tergolek di lantai yang beralaskan busa tipis bergambar alfabet. Beberapa yang lain duduk dan bergerak tak tentu arah, seolah memiliki dunianya sendiri. Jujur, saya iba dan ingin menangis melihat kondisi mereka. Apalagi saat Cikgu Sarah memutarkan lagu kebangsaan Malaysia dan anak-anak tersebut bernyanyi dengan kata-kata yang sepertinya sulit diucapkan oleh mereka.
Hal yang tidak boleh kami lakukan pada anak-anak difabel yang sedang menimba ilmu di PDK Cahaya Kasih adalah menggendong dan memanjakan mereka. Karena kedua hal tersebut akan membuat mereka tidak mandiri. Cikgu Sarah dan Cikgu Tina menjelaskan bahwa di PDK Cahaya Kasih mereka membiasakan anak-anak difabel memiliki sikap yang independen melalui pembelajaran yang dilakukan. Saya membayangkan bahwa sangat sulit untuk sekedar membuat mereka tertarik pada apa yang saya bicarakan nanti. Tim kami pun menyadari bahwa sulit untuk melaksanakan workshop yang telah dirancang. Akhirnya, project director meminta kami untuk mencoba lebih dekat dengan anak-anak difabel saja, supaya anak-anak tersebut bersedia mengikuti ucapan kami dan tidak ketakutan.
Workshop yang telah kami siapkan mungkin tidak 100 persen berjalan semestinya, tetapi banyak pelajaran yang saya dapatkan. Salah satunya walau anak-anak ini mungkin dipandang sebagian orang sebagai anak-anak yang menjadi beban, tetapi saya menemukan banyak keistimewaan pada anak-anak difabel. Mulai dari anak yang memiliki stamina tinggi sehingga mampu lari kesana-kemari, hingga anak yang mampu menghafalkan lagu alfabet dan mewarnai dengan sangat baik.
Alhamdulillah kegiatan kami di PDK Cahaya Kasih berjalan lancar. Usai melewati hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan, kami segera menuju AEON Mall untuk membeli penganan kecil yang akan dijual selama donation drive. Penganan kecil ini kami kemas hingga berakhir di pukul 9 malam. Hasil dari donation drive akan kami pakai untuk menggelar workshop selanjutnya di PDK Cahaya Kasih dan akan disumbangkan untuk PDK Cahaya Kasih.
Selama 5 jam menawarkan produk jualan, akhirnya paket snack yang kami jual laku seluruhnya. Di balik profit 300% yang kami dapatkan, sebenarnya kami benar-benar diuji hari itu. Banyak mahasiswa Tionghoa di Malaysia yang pulang ke kampung halamannya karena mendekati Hari Imlek. Sehingga hanya sedikit mahasiswa dan mahasiwi yang lalu-lalang di area kampus. Kami juga sering ditolak oleh orang-orang yang kami tawari untuk berdonasi maupun membeli paket penganan kecil kami.
Proyek kedua kami adalam membuat video sebagai strategi untuk meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak difabel. Hari itu, suhu Malaysia menyentuh angka 34 hingga 34 derajat celcius, menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Apalagi jumlah mahasiswa dan mahasiswi makin menyusut, membuat usaha pencarian responden bagi video kami agak susah. Pukul 4 sore, kami baru menyudahi aktivitas tersebut. Syukurlah pengambilan gambar hari ini berjalan lancar.
Tiga hari berikutnya adalah libur tahun baru China atau Hari Imlek. Memanfaatkan liburan ini, saya berencana pergi ke Kuala Lumpur City Center (KLCC) bersama teman-teman Indonesia yang lain. Tetapi saya membatalkannya, akibat kelelahan. Di sore hari, kondisi saya membaik. Akhirnya saya mengiyakan ajakan salah satu teman saya untuk pergi ke Sunway Pyramid. Salah satu mall terbesar di Selangor.
Di hari selanjutnya, saya pergi untuk membeli makan malam di sekitar hostel tempat saya menginap yang jaraknya dekat saja. Saya beruntung karena menemukan resto yang menjual makanan Indonesia. Kali ini, menunya benar-benar Indonesia sekali. Seperti ayam geprek, bakso, kue lapis, hingga es cendol. Saya iseng memesan ayam geprek level 3 dan terkejut mendapati betapa pedasnya bumbu dan sambal pada ayam geprek yang saya pesan. Baru pertama kali ini saya merasakan masakan di Malaysia sepedas itu.
Usai melahap seluruh makanan yang dipesan, saya dan teman-teman yang lain berniat membeli masker tebal sebagai langkah preventif menghalau virus corona. Tetapi, tidak ada satupun toko penjual masker yang memiliki stok masker tebal lagi. Kami malah mampir lama sekali di toko yang menjual barang-barang bekas. Banyak barang bagus dan branded di sana. Rentang harganya mulai dari lima Ringgit hingga ratusan Ringgit. Suasana toko tersebut mirip distro di Indonesia. Sangat menyenangkan karena suasananya nyaman sehingga banyak pembeli yang datang. Berbeda dengan toko-toko barang bekas di Indonesia yang lengang dan hanya menyediakan kipas angin. Hari terakhir liburan Imlek saya habiskan dengan membeli makanan di Family Mart serta mencari tempat fotocopy di sekitar hostel. Sampai jumpa di minggu selanjutnya.