Oleh: Yuli Witono
Merespon berita di salah satu media beberapa waktu lalu (teatnya tanggal 17 November 2019) dan beberapa hari berikutnya yang sempat menjadi isu yang hangat di kalangan warga Jember, bahwa salah satu maskapai yang biasanya terbang Surabaya-Jember yakni Citilink sejak tanggal 14 November resmi menghentikan penerbangannya. Tanda-tanda surutnya bisnis penerbangan di Jember sudah tampak sejak Garuda menghentikannya lebih dahulu tahun 2018 lalu dan digantikan Citilink. Namun Citilink yang semula terbang setiap hari juga mengurangi frekuensinya, hingga 14 November 2019 resmi berhenti. Tidak jelas kedua maskapai tersebut menghentikan secara permanen atau sementara. Praktis kini tinggal 1 maskapai yakni Wings Air yang cenderung lebih sering delay (tidak tepat waktu). Pengalaman penulis saat terbang tanggal 30 Januari 2020 barusan juga sangat sepi hanya terisi tidak sampai separuhnya dari seat yang tersedia. Bila hal ini terjadi, maka animo masyarakat memilih moda transportasi udara akan semakin surut dan menjadikan Bandara Notohadinegoro kebanggaan warga Jember akan terancam matisuri bila tidak segera ditemukan solusi dan dicarikan langkah yang fantastis untuk mendongkrak load factor penerbangan dari dan menuju Jember. Padahal dalam analisis penulis, mestinya tidak ada alasan bisnis penerbangan di Jember tidak prospektif bila dikaji dari beberapa aspek berikut ini.
Bila dilihat dari aspek jumlah penduduk (up date thn 2015), kabupaten Jember memiliki 2,33 juta yang lebih tinggi dari jumlah penduduk tahun yang sama se-propinsi Bengkulu 1,87 juta dan Bangka-Belitung 1,37 juta, atau sedikit dibawah jumlah penduduk Kalimantan Tengah 2,49 juta, Sulawesi Utara 2,41 juta, Sulawesi Tenggara 2,49 jt (2015). Walau hanya level kabupaten, penduduk Jember tentu lebih tinggi lagi bila dibanding dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia Timur seperti Gorontalo yang cuma 1,13 juta, Sulawesi Barat 1,28 juta, Maluku 1,69 juta, Maluku Utara 1,16 juta dan propinsi Indonesia Timur lainnya, yang kesemuanya memiliki trafict pesawat yg cukup padat dan rutin, tidak hanya sekelas ATR berbaling-baling yang hanya berisi sekitar 70 penumpang tetapi juga pesawat berbadan sedang kelas boing dan airbus. Belum lagi bila dilihat dari perkembangan jumlah penduduk tahun 2020 dan juga potensi daerah penyanggah utama terdekat Jember seperti Bondowoso dan Lumajang, tentu menjadi kekuatan pasar pemumpang moda transportasi udara yang potensial.
Bila ditinjau dari aspek rangking/kualitas, jumlah dan aktivitas Perguruan Tingginya, tentu Jember memiliki kampus-kampus yang lebih banyak, besar dan lebih tinggi baik kualitas, kuantitas dan mobilitasnya sumber daya akademiknya, yang dapat menambah load factor penerbangan dari dan menuju Jember.
Bila ditinjau dari aspek kegiatan ekonomi produktif, apa yang ada di Kabupaten Jember mungkin belum dimiliki oleh propinsi-propinsi tersebut (perkebunan multi komoditi, perusahaan multi jenis, kota multi model, multi etnic dan multi event baik skala nasional maupun internasional) yang akan menjadikan captive market penumpang maskapai.
Bila hanya dipandang Jember adalah sekelas kabupaten/kota, tetapi mengapa Solo, Banyuwangi, Banggai dan Labuhan Bajo bisa eksis dan padat trafict udaranya dengan pesawat-pesawat berbadan sedang. Bahkan Kediri lewat dukungan salah satu perusahan nasional yang eksis di Kediri sedang bersemangat dan bersuka cita menyambut kesiapan bandara barunya, pasti telah melalui perhitungan yang matang.
Bila ditinjau dari potensi wisata, secara native (alami) contoh pantai payangan dan papuma Jember masih jauh lebih exotic dibanding pantai Pulau Merah dan Pantai Boom Banyuwangi. Mengapa animo wisatawan ke Jember masih stagnan. Justru kita sibuk dengan berkreasi dengan wisata-wisata buatan yang sangat rentan ditiru. Sementara wisata alam yang sangat indigenous, typically dan sulit ditiru yang mestinya terus dikembangkan kurang menadpat perhitian serius dan nyata.
Trafict darat umat Hindu Bali ke Pura Mandara Giri Semeru Agung Lumajang cukup tinggi dan mereka umumnya transit pada hotel-hotel di sekitar Jember, demikian juga umat Hindu di Jember dan Lumajang yang bepergian ke Bali. Di samping itu, Umat Islam Jember dan sekitarnya yang melakukan perjalanan Umroh juga kabarnya semakin tinggi dengan adanya masa tunggu waktu pelaksanaan ibadah haji yang semakin lama. Tersebut tentu juga merupakan potensi pasar penumpang yang perlu ditangkap dan dikelola dengan profesional. Bukan rencana yang masih di awang-awang menjadikan Jember sebagai embarkasi atau sub-embarkasi haji. Bila menjadi embarkasi haji, maka Bandara Jember harus bisa didarati oleh pesawat berbadan besar yang bisa langsung Jember-Jedah atau Jember-Madinah dan sebaliknya, bila menjadi sub-embarkasi apakah tidak lebih efisien dan efektif cukup yang sudah berjalan selama ini yakni jamaah lebih heboh dan lebih tinggi ghirohnya bila dikawal pakai fore rider polisi dan tiba di Surabaya lebih cepat langsung dari titik-titik / KBIH pemberangkatan di Jember, masih bisa prakondisi, persiapan dan istirahat semalam/sehari di Asrama Haji Sukolilo. Cita-cita mendirikan asrama haji di Jember adalah mulia, namun semoga ke depan tidak berakhir menjadi “museum” sebagaimana keberadaan JSG (Jember Sport Garden) yang dibangun puluhan milyar malah tidak terawat dan termanfaatkan dengan baik untuk event-event bergengsi.
Dengan berkembangnya banyak hotel baru di Jember, yang seolah tidak permah sepi hunian tentu mengindikasikan bahwa mobilitas masyarakat yang datang ke Jember tidak sedikit dan tidak hanya terjadi pada saat even tahunan yang dihelat di Jember.
Apalagi yang tidak ada di Jember, adakah yang salah ? Atau kita yang salah ? Karena kita justru lebih memilih moda transportasi kereta yang lebih nyaman, lebih pasti dan bila dihitung cermat dengan total waktu perjalanan menuju dan keluar bandara, waktu check in durasi terbang dan waktu tunggu sebenarnya menggunakan transportasi udara Jember-Surabaya dan sebaliknya tidak jauh berbeda dengan transportasi kereta. Berarti pilihan rute penerbangan Jember-Surabaya dan sebaliknya sebenarnya kurang dibutuhkan calon penumpang, karena mungkin penumpang lebih memilih tujuan langsung Jember-Jakarta atau Jember-Denpasar dan sebaliknya, tentu perpanjangan run way mendesak dikerjakan, apalagi telah mendapat support pemerintah pusat. Bisa jadi rute “toron” (istilah masyarakat Madura di Jember bepergian ke Madura) perlu dicoba dengan ATR Jember-Sumenep dan sebaliknya, karena selisih yang terlalu jauh antara moda transportasi udara yang cukup 30 menit dengan trasnportasi darat yang memakan waktu sangat panjang 8-10 jam. Banyaknya destinasi religi di Madura dan aspek kekerabatan masyarakat Madura dengan Jember, bisa menjadi jalur potensial penerbangan Jember-Sumenep. Cukup 2 sampai 3 rute tersebut yang dirawat dengan cukup sekali saja setiap hari asal terjaga kontinuitasnya, akan dapat menarik animo masyarakat untuk lebih memilih moda transportasi udara, sambil terus diperkuat keberadaan aktivitas ekonomi yang sudah ada, dikembangkan titik-titik ekonomi baru serta perbaikan dan branding tempat-tempat wisata alam potensial di Jember.
Di samping itu keberadaan status lahan bandara perlu segera diperjelas dan penyerahan manajemen bandara kepada PT. Angkasa Pura sebagaimana di Banyuwangi menjadi pilihan yang perlu segera dieksekusi. Kemampuan jejaring transportasi udara dan professionalitas mengkoneksikan lalulintas udara ada di pihak PT. Angkasa Pura. Keberadaan bandara yang eksis memang menjadi salah satu pemicu yang efektif dalam menggerakkan sektor perekonomian daerah. Bahkan Perguruan Tinggi yang masuk dalam kluster 1 versi Dikti semua berada pada wilayah yang memiliki fasilitas penerbangan nasional dan internasional, karena memudahkan mobilitas sumberdaya akademiknya.
Penulis Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Uiversitas Jember, Ketua II Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Pusat dan President of FANRes International Network