Covid-19 Menjemput Krisis Ekonomi?

Oleh: Adhitya Wardhono, PhD

Pandemi Covid-19 tak pelak menjadikan ekonomi stagnan dipenghujung kuartal I/2020, bahkan mungkin lanjut kuartal berikutnya. Optimisme diakhir tahun lalu kini tertimpa kepanikan agen-agen ekonomi global dan domestik. Dalam satu pernyataan yang dirilis The Economist Intelligence Unit (14/3) tertulis …It is not necessary to wait for quarterly GDP numbers to see what the virus is doing to activity. Ini menunjukkan kegalauan luar biasa. Pasar keuangan perlahan melandai tajam. Pada posisi ini yang menjadi kecemasan adalah sampai kapan ekonomi terdampak Covid-19 dapat bertahan.

Krisis Ekonomi
Teori krisis memberi cerita berbeda. Krisis 1998 gegara perilaku moral hazard muncul akibat sembrononya jaminan pemerintah yang tidak transparan. Bail-out perusahaan swasta/bank bermasalah dan jaminan profit bagi investor menjadi biangnya. Konsekuensinya efek negatif neraca keuangan terjadi pada industri perbankan. Sementara, krisis finansial global tahun 2008 lebih disebabkan oleh perilaku Ponzi dan praktek perbankan maya lembaga keuangan AS. Gongnya adalah kejatuhan subprime mortgage loan market di AS. Efek kontagionnya pada ekonomi negara Eropa yang kurang sehat waktu itu. Nah, awal 2020 kali ini krisisnya sedikit berbeda. Tiba-tiba datang bukan karena perilaku ekonomi, tetapi perilaku virus mematikan dan memiliki eskalasi global. Ada tragedi kemanusian yang memporak-porandakan tatanan ekonomi. Hampir ratusan negara terdampak ekonominya dan berbarengan menukik kebawah.

Epidemi Covid-19 tidak hanya berdampak terhadap kesehatan, juga berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian global. Beberapa pihak menyatakan epidemi Covid-19 bisa membawa dunia ke jurang resesi. OECD memperkirakan bahwa pertumbuhan dunia tahun 2020 ini akan berkisar pada 2,4%. Perkiraan IMF malah lebih pesismis. Prediksinya pertumbuhan ekonomi dunia akan negatif. Sejurus dengan JP Morgan yang mematok pada kisaran -1,1% dan The Economist Intelligence Unit dengan angka –2,2%. Konsekuensi yang dikhawatirkan dari rilis diatas adalah munculnya kepanikan sektor keuangan. Yang dampaknya akan semakin sulit terkendali mengingat sektor keuangan menjadi urat nadi ekonomi hampir semua masyarakat. Keterlekatan pada sektor ini hampir merata di tiap lapisan masyarakat dari kelas bawah hingga atas. Indikator ekonomi Indonesia sendiri mengalami dampak pekat. Tingkat kurs rupiah di pasar spot jatuh dilevel Rp. 16.000-an per dollar AS dan indeks saham anjlok. Konsumsi domestik dan industripun terancam. Namun, ekonomi domestik bisa sedikit lega dalam meredam lesunya ekonomi, dimana masih dialasi tingkat inflasi yang cenderung stabil di awal tahun hingga Maret, berkisar 2,6% – 2,9%. Ini menjadi tantangan penstabilan inflasi ke depan di tengah pandemi covid-19. Mengingat April-Mei adalah puncak kenaikan inflasi di bulan Ramadhan dan Idul Fitri.

Antisipasi
Untuk bisa membuat pemerintah lebih siap, berbagai langkah-langkah dilakukan. Pemerintah menganggap situasi ini sudah masuk extra ordinary time. Ini sudah dikemukakan oleh pimpinan G-20. Otomatis membutuhkan aksi yang extra ordinary pula. Berbagai negara sudah merilis kebijakan moneter, fiskal, dan relaksasi sektor keuangan. Ini dimunculkan untuk memberi efek tenang dan menurunkan tensi kepanikan masyarakat. Terutama yang pendapatannya terdisrupsi oleh covid-19. Kebijakan publik non ekonomi yang juga perlu yaitu memastikan efektifitas kebijakan publik di sektor kesehatan terlebih dulu. Dengan tingkat presisi tinggi untuk menghindari dampak negatif covid-19, terlebih masyarakat rentan tinggi.

Disinilah urgensi kebijakan ekonomi perlu dilakukan berbarengan dengan kebijakan non ekonomi lainnya. Peran kebijakan lebih pada pengurangan bagi kelompok pekerja atau usaha mikro kecil yang terdampak disrupsi pendapatan temporer untuk mendapat tidak saja perlindungan kesehatan tetapi juga basis ekonomi.

Orientasi pertama kebijakan pemerintah adalah memberi keyakinan kepada publik bahwa pandemi covid-19 ini harus dilawan. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan tiga regulasi sekaligus untuk melawan covid-19. Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, kedua, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dan ketiga Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.
Implementasinya harus segera dilakukan. Kebijakan stimulus ekonomi sudah tepat dilakukan. Untuk program Bansos dan PKH serta tunjangan sosial bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan karena covid-19 segera dieksekusi. Ini untuk menjaga daya beli masyarakat dan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah ada dan hadir saat dibutuhkan. Dibarengi dengan kebijakan moneter Bank Indonesia yang secara eksesif mendorong mesin sektor keuangan tetap menderu. BI melanjutkan pelonggaran likuiditas atau quantitative easing (QE) untuk membantu pemulihan ekonomi yang terdampak covid-19, baik sektor UMKM maupun dunia usaha.

Secara natural, tiap terjadi krisis rupa-rupa usaha dilakukan dalam meredam krisis agar tidak terulang. Reformulasi kebijakan diambil untuk mengatasi problem yang terjadi. Reformasi mandat dan pranata kelembagaan pada sejumlah otoritas perumus kebijakan juga diperkuat. Secara intitusional, pemerintah (Kemenkeu), BI, OJK dan LPS telah melakukan assesmen kedepan berdasarkan kontigensinya atau kemungkinan terburuk dari kondisi baseline yang sedang ataupun sudah diperhitungkan saat ini.

Akhirnya, daya tahan ekonomi karena covid-19 ditentukan dari tingkat kesiapasiagaan dalam menggawangi daya beli masyarakat. Dengan mencermati hasil survei Konsumen Bank Indonesia Maret 2020 yang menunjukkan optimisme konsumen masih terjaga pada level positif. Ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Maret yang bertengger pada level optimis (IKK di atas 100), yaitu 113,8. Juga menumpukan pada efektifitas kebijakan pemerintah dalam melawan covid-19. Maka krisis ekonomi dimasa covid-19 yakinlah hanya sepintas saja, cukup 2-3 kuartal bermain-main dengan ekonomi kita. Semoga.

=============
*Adhitya Wardhono, SE, MSc, PhD adalah pengajar dan peneliti Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly) – Universitas Jember.

Skip to content