Pandemi dan Kemiskinan Baru

Oleh: Dr. Yulia Indrawati*

Optimisme Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia akan menjadi negara maju pada tahun 2045 semakin absurd. Bagaimana tidak, kini semua negara sedang berjibaku menghadapi ekonomi dunia yang berada pada situasi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan terjangan dahsyat pandemi kemanusiaan COVID-19 secara bersamaan. Sebenarnya cita dan asa itu bukanlah isapan jempol. Paling tidak raihan yang jelas telah tergambar dari data pengentasan kemiskinan yang sudah pada posisi satu digit. Sebuah capaian yang sebenarnya cukup luar biasa.

Namun, saat ini, Indonesia dihadapkan pada bayang-bayang gelombang kemiskinan baru. Yang berpotensi mengirim kembali pada siklus 20 tahun pengentasan kemiskinan. Pandemi COVID-19 telah membawa penurunan tajam konjungtur ekonomi. Terlebih proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 dimasa pandemi yang secara moderat pada kisaran 2,3 persen. Dan bisa terjerembab pada skenario nestapa minus 0,4 persen dari target sebelumnya 5,3 persen. Kondisi ini berimbas pada kerentanan kemiskinan. Artinya ada potensi dari yang sebelumnya tidak termasuk dalam kategori miskin menjadi masuk kategori miskin.

Disrupsi ekonomi akibat COVID-19 telah menyumbat sumbu aktifitas ekonomi pada berbagai titik. Tidak saja dampaknya pada ekonomi rumah tangga, namun juga dunia usaha, pemerintah, sektor keuangan. Pandemi ini menyebabkan terjadinya pergeseran sektor ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) kian nampak dan pengangguran terselubung menjadi keniscayaan yang harus bertahan di tengah pandemi. Tak luput kerentanan yang dialami tenaga kerja migran dalam kondisi menganggur atau melakukan pekerjaan dengan risiko tinggi menambah kompleksitas masalah kemiskinan.

Antisipasi pemerintah sudah jelas dan tegas dalam melawan COVID-19 ini.. Rilis sejumlah kebijakan untuk meminimalkan dampak pandemi terhadap kerentanan kemiskinan melalui stimulus ekonomi. Perppu Nomor 1 tahun 2020 agar sektor riil mampu bertahan dan tidak melakukan PHK telah bergulir. Pemerintah telah mengupayakan ketersediaan tambahan anggaran senilai Rp. 405,1 triliun sebagai stimulus fiskal. Lebih jauh, upaya menarik investasi dilakukan dengan memperluas insentif perpajakan pada 11 sektor di luar sektor manufaktur termasuk di dalamnya sektor transportasi, perhotelan, perdagangan, dan sektor lain yang terdampak. Sementara dalam jangka panjang, omnibus law diharapkan mampu menarik investasi baru bagi sektor-sektor terdampak. Stimulus dalam bentuk jaring pengaman sosial juga telah dilakukan seperti Kartu Pra Kerja, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH) dan sejumlah stimulus ekonomi lainnya. Disisi moneter, Bank Indonesia juga memberikan injeksi likuiditas menjadi Rp 417,8 triliun melalui stimulus sistem keuangan.

Memandang kerentanan kemiskinan harus didekati secara hadap masalah. Kebutuhan dan karakteristik masyarakat yang utama. Konsep nested spheres of poverty (NESP) memberikan gambaran kemiskinan bisa dilihat dari kesejahteraan subyektif yang dikelilingi aspek kebutuhan dasar dan lingkungan pendukung. Kesejahteraan subyektif bersifat sangat individu dan emosional dan tidak memiliki nilai konstan, tetapi berubah-ubah sesuai dengan suasana hati dan lingkungan. Perasaan pribadi seperti kebahagiaan, keamanan, keterlibatan dan kepuasan turut menyumbang kesejahteraan subyektif secara  keseluruhan. Bentuk kesejahteraan lainnya adalah kesejahteraan jasmani, kesejahteraan sosial, kepemilikan martabat diri dan perasaan aman dan terjamin. Sebangun dengan pendapat Gonner et. al. (2007) bahwa upaya meningkatkan dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat miskin dengan memperbaiki lingkungan pendukung masyarakat. Kapabilitas, strategi penghidupan lokal, peluang dan dukungan, kerentanan, keberlanjutan. Kapabilitas masyarakat miskin harus didayagunakan dan diperkuat mencakup keuangan, manusia, sosial, fisik, dan alam.

Implementasi di tingkat daerah adalah salah satu kata kunci keberhasilan stategi pengentasan kemiskinan. Pemerintah daerah harus proaktif dan mendata strategi penghidupan lokal yang ada. Terlebih menciptakan kerangka kerja kelembagaan yang mendukung kesejahteraan swadaya yang berkelanjutan. Kerentanan perlu dikurangi. Masyarakat membutuhkan rasa aman untuk tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Jaring pengaman sosial menjadi strategi defensif agar masyarakat bertahan di tengah pandemi. Bukan hanya sekedar tepat sasaran, namun juga harus berkeberlanjutan dalam meraih kembali produktivitas. Juga bukan hanya terbatas pada jaminan kesehatan gratis, pendidikan gratis dan makanan subsidi namun juga berbasis keluarga atau masyarakat. Diversifikasi pendapatan penting dalam memitigasi risiko dan ketergantungan pada hubungan timbal balik melalui jaringan sosial.

Percepatan pemulihan pandemi COVID-19 menentukan arah pengentasan kerentanan kemiskinan. Tiongkok adalah negara pertama yang saat ini sedang dalam proses pemulihan ekonomi dan pengentasan kemiskinan akibat COVID-19. Ini bisa menjadi refleksi pembelajaran bagi Indonesia. Tiongkok menjadi salah satu negara dengan rantai pasokan paling lengkap. Prioritas percepatan pembukaan seluruh rantai pasokan, memaksimalkan koordinasi antar dunia usaha dalam rantai pasokan. Harapannya akan berada pada ruang yang sama, polarisasi ekonomi antar wilayah, meminimalkan potensi risiko dan membawa ekonomi digital ke perdesaan untuk memanfaatkan potensi ekonomi.

Laksana untuk menang dalam sebuah perang. Strategi yang bersifat defensif dan ofensif dalam pemulihan ekonomi Indonesia akibat COVID-19 harus dikembalikan pada kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat. Kebijakan publik dalam pengentasan kerentanan kemiskinan tidak lagi bersifat generik. Bukan lagi kebijakan sapu jagat yang sama semuanya. Namun harus lebih solutif pada problem baik di tengah pandemi maupun pasca pandemi. Harus lebih spesifik dan dipilah berdasar kadar kerentanan dan nestapa ekonomi masyarakat berdasar lokus yang jelas. Jika tidak, akankah masyarakat harus kembali terjebak dalam kondisi kemiskinan jangka panjang. Pada titik ini, merentang optimisme membangun kembali perekonomian menjadi tantangan baru. Percepatan pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 dan mengembalikan Indonesia untuk meraih capaian menjadi negara maju adalah kerja yang tidak boleh putus. Untuk marwah Indonesia maju, Indonesia gemah ripah loh jinawi. Semoga.

——-

*) Dr. Yulia Indrawati adalah Pengurus ISEI Cabang Jember dan dosen dan peneliti Kelompok Riset Benefitly FEB Universitas Jember

Skip to content