Cerita Anggota Kauje Menjalani Ramadhan di Berbagai Belahan Dunia di Masa Pandemi Covid-19 : Inden ke Masjid, Hingga Gagal Halal bi Halal

Jember, 18 Mei 2020
Bulan Ramadhan selalu menjadi bulan istimewa bagi setiap muslim, dimana pun dia berada. Termasuk bagi dosen dan alumnus Universitas Jember yang kebetulan menjalani puasa di negeri seberang. Tentu saja kerinduan akan tanah air beserta pernak pernik Ramadhan di tanah air makin menjadi di kala pandemi Covid-19 tengah melanda dunia. Sebab ada banyak hal yang kini tidak bisa leluasa dilakukan, semisal buka puasa bersama, tarawih dan kegiatan sosial lainnya. Untuk mengetahui pengalaman dosen dan anggota Keluarga Alumni Universitas Jember (Kauje) yang tengah berpuasa di tanah seberang, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) universitas Jember bekerja sama dengan Kauje menggelar webinar bertema Ramadhan di Negeri Seberang yang digelar Sabtu malam lalu (16/1).
“Di Jerman secara umum penanganan pandemi Covid-19 berjalan sukses sehingga warga sudah diperbolehkan melakukan aktivitas sosial dengan syarat tetap menerapkan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah Jerman. Kami pun di kota Gottingen sudah bisa ke masjid, tapi syaratnya harus inden dulu, jadi setiap muslim yang ingin beribadah di masjid At Taqwa Gottingen mendaftarkan diri ke takmir masjid. Sebab jumlah jamaah dibatasi hanya 60 orang saja, akibatnya untuk sholat Jumat terpaksa dibagi menjadi empat shift. Tentu saja perkembangan ini kami syukuri,” jelas Fuad Bahrul Ulum, dosen Program Studi Biologi FMIPA yang tengah menjalani studi doktoral di Universitas Gottingen Jerman.


Namun Fuad, begitu panggilan akrabnya, belum tahu apakah acara seperti buka puasa bersama, sholat id dan halal bi halal masih bisa terlaksana di masjid At Taqwa. “Biasanya ada acara buka puasa bersama dimana setiap komunitas muslim di Gottingen berkumpul sambil membawa masakan khas negaranya masing-masing, begitu pula saat Idul Fitri yang menjadi saat muslim Gottingen berkumpul bersama. Acara-acara ini yang kami rindukan sebab bisa menjadi obat kangen Ramadhan di tanah air,” ujar Fuad yang tahun depan bakal balik ke Jember.
Perasaan kehilangan suasana khas Ramadhan juga disampaikan oleh Muhammad Khusnu, atase perhubungan KJRI di Den Haag, Belanda. Alumnus Program Studi Hubungan Internasional FISIP ini menuturkan jika KJRI di Den Haag sudah menetapkan kegiatan halal bi halal yang rutin diadakan dengan sangat terpaksa tahun ini ditiadakan, walaupun sebenarnya jumlah penderita Covid-19 di negeri kincir angin ini sudah menurun drastis. “Padahal kegiatan halal bi halal menjadi salah satu momen silaturahmi warga Indonesia di Belanda mengingat jumlahnya cukup besar, untuk diaspora Indonesia di Belanda saja sejumlah 1,7 juta jiwa,” tuturnya.
Menurut Khusnu, KJRI Den Haag saat ini fokus memberikan bantuan kepada WNI yang ada di Belanda yang terdampak Covid-19, termasuk mengirimkan bantuan penanganan Covid-19 ke tanah air. “Yah jelas kangen suasana Ramadhan, terutama Ramadhan di tanah air. Setiap kali jam sudah menunjukkan jam enam petang maka otomatis yang terbayang di benak saya yah kolak dan masakan takjil lainnya, padahal waktu buka puasa di Belanda masih nanti jam sembilan malam, hahahaha,” celetuk Khusnu yang harus berpuasa selama 17 jam ini. Jalannya kegiatan webinar dipandu oleh Akhmad Munir, Direktur Pemberitaan LKBN Antara yang juga alumnus FISIP Universitas Jember.


Setelah peserta webinar mendengar pengalaman dosen dan anggota Kauje menjalani Ramadhan di benua Eropa, giliran pengalaman mereka yang menjalani Ramadhan di benua Asia ditampilkan. Bagi Dian Ediyono, General Manager Garuda Indonesia Airways untuk Thailand, Kamboja, dan Myanmar, Ramadhan di Bangkok tidak terlalu berbeda dengan di tanah air mengingat komunitas muslim di Thailand cukup besar. “Cuman karena pandemi Covid-19, maka masjid-masjid tidak melaksanakan tarawih seperti tahun-tahun sebelumnya. Adzan tetap berkumandang tapi tidak ada sholat berjamaah. Namun alhamdulillah penderita Covid-19 di Thailand suah menurun drastis, salah satu penyebabnya karena warga Thailand sangat patuh pada titah rajanya yang meminta rakyat mematuhi protokol kesehatan,” ungkap alumnus FEB ini.
Pengalaman senada disampaikan juga oleh dosen FKIP yang tengah studi doktoral di Taipei, Taiwan, Bevo Wahono. Menurutnya puasa di Taiwan tak terlalu susah, mengingat negara ini sudah ramah bagi muslim. “Sudah banyak masjid dan musholla di fasilitas umum, mall dan lokasi wisata sehingga tidak ada kesulitan bagi kami menjalani puasa. Apalagi jumlah muslim di Taiwan cukup besar termasuk banyak tenaga kerja dari Indonesia. Makanan khas Indonesia pun bisa mudah didapat,” katanya. Tak lupa Bevo memuji kesiapan pemerintah Taiwan dalam menangani pandemi Covid-19 dan warganya yang berdisiplin dalam mentaati protokol kesehatan sehingga Taiwan sukses meredam pandemi Covid-19.

Turut memberikan testimoni adalah Khoirul Anam, Sekertaris III LP2M Universitas Jember. Dosen Fakultas Teknik ini juga pernah mengenyam pengalaman menjalani Ramadhan di luar negeri. “Menjalani puasa di negeri seberang memang istimewa dan tak terlupakan, cuman bentuk kegiatannya saja yang kini berbeda mengingat ada pandemi Covid-19. Contohnya saja saya masih aktif kontak dengan kawan-kawan di Australia selama puasa ini untuk melakukan kajian dan pengajian, walau dengan fasilitas webinar dan semacamnya,” kata Khoirul Anam yang doktoralnya ditempuh di kota Sidney.


Kegiatan webinar diapresiasi oleh Iwan Taruna, Rektor Universitas Jember. Menurutnya selain mendapatkan pengalaman dan kisah menarik, webinar ini membuktikan bahwa alumnus Kampus Tegalboto sudah banyak berkiprah, bahkan hingga di luar negeri. Sementara itu menurut Sarmuji, Ketua Umum Kauje, webinar yang diadakan ingin mengetahui bagaimana pengalaman anggota Kauje yang menjalani Ramadhan di luar negeri, khususnya saat pandemi Covid-19 melanda. “Tentu ada pelajaran yang bisa dipetik yang siapa tahu bisa kita rumuskan sebagai sumbangan dari Universitas Jember dan Kauje dalam menghadapi pandemi Covid-19,” pungkas anggota DPR RI ini. (iim)

Skip to content