Currency Swap Agreement Penangkal Covid-19?

                                                                                                                                                        Oleh: M. Abd. Nasir, SE, MSc.*

     Tidak dapat dipungkiri hadirnya Covid-19 menjadi kehidupan semakin galau dan rumit. Tak hanya pada kesehatan publik namun juga “kesehatan” bagi perekonomian di banyak negara. Dikutip dari Bank Dunia, ekonomi global diprediksi mengalami resesi yang lebih dalam dari resesi dan krisis finansial global tahun 2008. Ekonom International Monetary Fund (IMF), Stephen Roach berpandangan jika resesi ekonomi adalah lebih suatu turbulensi ekonomi yang merugikan perekonomian riil layaknya resesi yang sedang dan akan dihadapi dunia akibat pandemi ini.
Layaknya krisis-krisis sebelumnya, pandemi ini memengaruhi aktivitas perekonomian di berbagai negara dunia. Ada karakteristik spillover effect yang hadir, yaitu pola dampak suatu negara ke negara lainnya, khususnya negara berkembang seperti Indonesia, apabila tidak terdapat koordinasi yang baik satu sama lain. Mencermati bahwasannya pandemi ini sebagai krisis global, maka tidak sedikit akan adanya ekonomi negara yang tumbang. IMF memprediksi bahwa ekonomi global akan turun sebesar 3% di tahun 2020 dan menyatakan pentingnya mengimplementasikan respons kebijakan yang tepat. Problem lain yang timbul dari pandemi seperti volatilitas kurs mata uang, meningkatnya utang pemerintah, serta potensi anjloknya penerimaan negara juga memperburuk kondisi makroekonomi. Padahal, pemerintah di berbagai negara tentu membutuhkan dana ekstra untuk membangkitkan kondisi perekonomian.

Potensi masalah yang timbul di sejumlah negara, misalnya melemahnya jaring pengaman keuangan regional (regional financial safety net). Padahal ini penting untuk akses pendanaan ekstra untuk mengatasi krisis kesehatan serta ekonomi terkait pandemi global. Adanya koordinasi di tingkat internasional akan lebih membantu problem kekurangan sumber pendanaan untuk mengatasi krisis. Persoalannya adalah, bagaimana bentuk konkret dari kebijakan koordinasi moneter internasional?
Upaya menemukan instrumen kebijakan untuk mengatasi persoalan kekurangan dana adalah currency swap agreement (CSA). Dimana melibatkan bank sentral selaku otoritas moneter serta kementerian keuangan selaku otoritas fiskal. Pada dasarnya, CSA adalah perjanjian antar negara untuk menukar mata uang lokal dengan USD dengan tujuan mengatasi persoalan likuiditas yang sering kali timbul karena krisis ekonomi, misalnya krisis akibat Covid-19. Perjanjian semacam ini, khususnya perjanjian multilateral yang melibatkan banyak negara, perlu diperluas jaringannya di tingkat internasional agar lebih dapat menyuplai cadangan devisa temporer yang sangat berguna untuk membayar utang maupun program pemulihan terkait Covid-19. Jika tidak dilakukan segara, banyak negara akan sulit untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya sehingga menimbulkan biaya lebih mahal di masa mendatang. Menariknya, dampak negatif akibat adanya disrupsi sehingga suatu negara kekurangan likuiditas relatif lebih terbatas pada negara maju yang memiliki sistem keuangan domestik yang solid serta pasar kurs mata uang yang berfungsi seperti Uni Eropa, Jepang, ataupun banyak negara OECD. Di sisi lain, CSA, khususnya yang menyangkut mata uang USD, akan sangat esensial bagi negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini karena banyak negara berkembang cukup dependen terhadap kurs mata uang negara besar seperti USD.

Ekonomi global sarat volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA). Maka upaya memperkuat mekanisme CSA dapat melalui diversifikasi mata uang. Misalnya sebelumnya hanya menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat, kini bisa menggunakan mata uang lokal dari negara yang terlibat dalam kooperasi internasional tersebut. Yang penting adalah bagaimana negara yang terlibat memiliki bantalan likuiditas bila mengalami turbulensi ekonomi seperti saat ini. Meski kerja sama regional di ASEAN pernah diwujudkan, namun ada kalanya permasalahan finansial suatu negara berakar dari negara itu sendiri. Alhasil, diperlukan pula persyaratan yang lebih ketat. Persyaratan ini dapat membuat pemerintah untuk melakukan tindakan korektif untuk mengatasi akar penyebab sebelum terjadinya spillover ke negara lain. Selain itu, langkah ini dinilai mampu mengurangi adanya probabilitas masalah untuk muncul kembali di masa depan. Untuk meraih tujuan tersebut, negara ASEAN, Cina, Jepang dan Korea Selatan membentuk ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) sebagai unit pengawasan regional. Adanya integrasi dalam finansial memberikan manfaat terhadap negara anggota. Terdapat perluasan skala dan peluang untuk finansial intermediasi yang menyebabkan biaya lebih hemat (ceteris paribus) karena adanya persaingan, pasar regional juga lebih mampu mengatasi resiko idiosyncratic. Yang jelas, globalisasi membuat koordinasi kebijakan moneter seperti menjaga keterbukaan pasar modal internasional, suku bunga, dan pencegahan cross-border effects terhadap nilai tukar dan aliran modal menjadi sangat perlu untuk diwujudkan.

Kerja sama moneter di lingkup regional juga pernah dilakukan negara Asia lainnya, yaitu Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka yang tergabung dalam kelompok South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC). Berdasarkan perjanjian tersebut, negara-negara tersebut setuju untuk terlibat dalam CSA senilai 2 milyar USD dalam periode 2019-2022. Sama seperti negara ASEAN+, kooperasi tersebut bertujuan untuk menjaga stabilitas finansial regional serta meningkatkan kerja sama ekonomi regional tersebut.
Hadirnya Covid-19 ini menyebabkan timbulnya sejumlah pergeseran keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali kebijakan moneter. Meningkatnya spillover effect kebijakan moneter selama beberapa dasawarsa terakhir, khususnya pasca krisis 2008, menyebabkan negara berkembang seperti Indonesia mengalami volatilitas kondisi perekonomian yang tinggi. Terlebih, pandemi global kali ini diduga berpotensi mengganggu jaring pengaman keuangan di sejumlah wilayah.

Barangkali, ini momen tepat untuk memperkuat koordinasi kebijakan moneter internasional. Mekanisme yang cukup efektif adalah CSA. Dimana perjanjian semacam ini mampu menyediakan likuiditas dana temporer yang sangat berguna memulihkan krisis akibat pandemi global. Tanpanya sulit bagi negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Meski begitu, penerapan koordinasi kebijakan moneter dalam skala internasional atau setidaknya regional tentu bukanlah hal yang mudah mengingat konteks perekonomian tiap negara dan wilayah yang berbeda. Adanya koordinasi moneter skala internasional membutuhkan peningkatan komitmen serta kredibilitas dari semua bank sentral yang tergabung di dalamnya.
_____________
Artikel terbit di Radar Jember 3 Oktober 2020
*M. Abd. Nasir, SE, MSc. adalah dosen dan peneliti di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan – Fakultas Ekonomi dan Bisnis- Universitas Jember dan anggota Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy (Benefitly)– Universitas Jember

Skip to content