Jember, 4 November 2020
Telah satu dekade Indonesia menerapkan undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) melalui Undang-Undang nomor 8 tahun 2010. Tentunya banyak dinamika dan perubahan yang terjadi dalam waktu sepuluh tahun tersebut. Oleh karena itu undang-undang TPPU perlu penyempurnaan terus menerus agar mampu mengantisipasi perkembangan jaman. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum dimana sebuah produk perundang-undangan harus mengikuti dinamika perkembangan kehidupan sosial yang ada. Pendapat ini disampaikan oleh Prof. M. Arief Amrullah dalam webinar bertema “Reorientasi Satu Dekade Undang-Undang Nomor 8/2010 Dalam Mengimplementasikan Anti Pencucian Uang” hari Rabu (4/11).
“Salah satu perkembangan yang perlu diantisipasi diantaranya dengan muncul dan berkembangnya mata uang digital yang berpotensi menjadi media TPPU. Sebagai inovasi dalam teknologi informasi dan komunikasi, maka adanya uang digital mempermudah banyak segi kehidupan, namun berpotensi menjadi sarana baru tindak pidana pencucian uang. Hal lain yang perlu diwaspadai adalah tindak pidana perdagangan narkoba yang skalanya makin besar. Pasalnya hasil transaksi perdagangan narkoba umumnya disamarkan dalam berbagai usaha dan dirupakan dalam berbagai aset lainnya,” jelas Prof. M. Arief Amrullah.
Pakar ilmu pidana ini menegaskan walaupun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang nomor 8 tahun 2010, namun upaya pencegahan tetap menjadi resep terbaik menanggulangi tindak pidana, termasuk tindak pidana pencucian uang. “Para penegak hukum harus peka terhadap dinamika yang ada, sementara di pendidikan tinggi khususunya Fakultas Hukum perlu ada pembenahan kurikulum agar mampu membekali mahasiswanya dengan ilmu hukum sesuai perkembangan jamannya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan sejak dini mengenai tindak pidana pencucian uang, oleh karena itu perlu melibatkan semua pihak dalam mencegah tindak pidana pencucian uang,” imbuh Prof. M. Arief Amrullah.
Pendapat guru besar di Fakultas Hukum Universitas Jember tersebut didukung data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Seperti yang disampaikan oleh Beren R. Ginting, Plt. Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan PPATK. Dari data 159 putusan pengadilan di tahun 2016-2018 yang terkait TPPU, 70 persen kasus asalnya berupa tindak pidana narkoba. Baru kemudian disusul tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan dan tindak pidana ekonomi lainnya. Untuk menanggulangi TPPU, maka PPATK menerapkan prinsip follow the suspect untuk mengejar pelaku TPPU, dan prinsip follow the money untuk menjerat mereka yang turut serta menikmati hasil pencucian uang.
Lebih lanjut, Plt. Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan PPATK memaparkan empat kendala penerapan TPPU saat ini. Pertama masih tingginya tindak pidana seperti korupsi, narkoba, perbankan dan lainnya. Kedua, kalangan aparat penegak hukum masih lebih fokus pada penanganan tindak pidana asal. Jumlah kerugian tindak pidana masih lebih besar dibandingkan dengan jumlah aset yang dikembalikan, serta penerapan TPPU yang masih rendah. “Oleh karena itu PPATK terus mendorong sinergi diantara aparat penegak hukum agar penanganan sebuah tindak pidana tidak hanya dengan penerapan pidana asal, tetapi harus diikuti oleh penerapan TPPU,” ungkap Beren R. Ginting.
Webinar bertema “Reorientasi Satu Dekade Undang-Undang Nomor 8/2010 Dalam Mengimplementasikan Anti Pencucian Uang” digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Jember yang bekerjasama dengan PPATK, dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas Jember ke 56. Selain kedua pembicara tersebut, tampil sebagai pemateri lainnya adalah, I Gede Widhiana Suarda, dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Heni Nugraheni, Kepala Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) Otoritas Jasa Keuangan, dan Go Lisanawati, dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Kegiatan webinar dibuka secara resmi oleh Iwan Taruna, Rektor Universitas Jember dan Dian Ediana Rae, Kepala PPATK. (iim)