Jember, 6 November 2020
Budaya nrimo ternyata masih menjadi salah satu ganjalan dalam perlindungan konsumen di Indonesia. Faktor kedua adalah masih minimnya pengetahuan akan hak-hak konsumen di kalangan masyarakat Indonesia. Akibatnya konsumen yang dirugikan lebih banyak memilih menerima ketimbang menuntut hak-haknya. Oleh karena itu guna mensosialisasikan dan meningkatkan kesadaran akan hak konsumen, BPKN giat menjalin kerjasama dengan banyak pihak, salah satunya kampus perguruan tinggi. Pernyataan ini disampaikan oleh Rizal E. Hambali, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI saat memberikan sambutan dalam acara penandatanganan naskah kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) antara BPKN RI dengan Universitas Jember (6/11).
Menurut Ketua BPKN, dari data survey Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan RI, maka skor mengenai pengetahuan konsumen akan haknya dan pengajuan komplain masih rendah. Padahal aturan mengenai perlindungan konsumen sudah diundangkan sejak tahun 1999 lalu melalui Undang-Undang nomor 8 mengenai Perlindungan Konsumen yang jelas menyatakan hak-hak konsumen dilindungi oleh negara. Adanya Undang-Undang nomor 8 mengenai Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa negara hadir dalam melindungi konsumen.
“Jika uang kembalian sepuluh rupiah tidak diberikan, maka umumnya konsumen kita memaklumi atau nrimo saja. Padahal jika diakumulasikan maka jumlahnya besar juga. Mestinya konsumen berhak protes kepada penjual. Maka untuk meningkatkan kesadaran akan perlindungan dan hak konsumen, kami mengajak dunia kampus seperti Universitas Jember untuk turut serta mensosialisasikan hak konsumen melalui kegiatan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat atau Tri Dharma Perguruan Tinggi. Harapannya masyarakat Indonesia tahu akan haknya sebagai konsumen,” jelas Rizal E. Halim. Hari itu dirinya didampingi oleh M. Mufti Mubarok, Wakil Ketua BPKN, serta Lasminingsih, Komisioner BPKN yang membidangi kerjasama.
Rizal E. Halim lantas menambahkan, BPKN RI juga mengambil langkah jemput bola dalam memberikan advokasi perlindungan konsumen, seperti tampak dalam kasus gagal bayar asuransi, kasus nasabah bank perkreditan rakyat yang tak bisa mengambil tabungannya, hingga pengelola umroh yang gagal memberangkatkan jamaahnya. “Kami juga bersinergi dengan aparat penegak hukum agar tak ragu menggunakan pasal-pasal yang memberikan hukuman pidana bagi produsen yang wan prestasi kepada konsumennya seperti pasal 62 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen sebagai efek jera,” imbuhnya.
Sementara itu Rektor Universitas Jember menyambut baik jalinan kerjasama ini. “Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan bisa berupa riset dan kegiatan ilmiah lainnya. Kerjasama ini juga membuka peluang bagi mahasiswa Universitas Jember untuk magang untuk mendalami masalah perlindungan konsumen seperti yang diprogramkan dalam Kampus Merdeka. Sosialisasi mengenai hak dan perlindungan konsumen juga bisa melalui mahasiswa kami yang melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata, mengingat kami melaksanakan KKN Tematis,” jelas Iwan Taruna yang didampingi Wakil Rektor II dan III, para kepala biro saat menandatangani MoU di aula lantai 3 gedung rektorat.
Minat bekerjasama juga dilontarkan oleh beberapa dekan yang mengikuti kegiatan ini secara daring. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Sutriono, Dekan Fakultas Pertanian yang tertarik mempertemukan Program Studi Agribisnis dengan BPKN RI. Begitu pula Prof. Saiful Bukhori, Dekan Fakultas Ilmu Komputer yang mendukung niatan koleganya itu. “Beberapa rekan dosen dan mahasiswa sudah melakukan penelitian terkait perdagangan tembakau di Jember dan menemukan fakta dimana tembakau petani sering ditolak dengan alasan mutunya tidak sesuai dengan standar yang ada. Perlu perlindungan konsumen dalam kasus seperti ini agar petani tidak selalu jadi korban,” tuturnya.
Menanggapi masukan ini Rizal E. Halim menngungkapkan ke depan, BPKN mengusulkan kolaborasi antara pemerintahan daerah yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya pengembangan perlindungan konsumen nasional. “Perlu dipikirkan Perda Perlindungan Konsumen sebagai acuan pelaksanaan perlindungan konsumen di daerah, menjaga kepercayaan bertransaksi guna meningkatkan nilai pendapatan daerah yang diperoleh dari transaksi konsumen di pasar, memastikan terbukanya akses pemulihan hak konsumen yang dapat diperoleh dengan mudah, mendukung peningkatan pemahaman perlindungan konsumen guna meningkatkan indeks keberdayaan konsumen,” ungkapnya. (iim)