Jember, 31 Maret 2021
Saat ini kopi sudah tidak lagi sekedar minuman saja, tapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk warga Jawa Timur. Apalagi wilayah Jawa Timur dikenal sebagai salah satu penghasil kopi terbesar di Indonesia. Lantas bagaimana warga Jawa Timur memaknai kopi ? Pusat Kajian Gastrodiplomasi di Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember punya jawabannya. Menurut salah satu penelitinya, Agus Trihartono, bagi warga Jawa Timur kopi identik dengan rasa pahit. Ini artinya warga Jawa Timur lebih suka dengan kopi Robusta dibandingkan dengan kopi jenis Arabica. Hasil penelitian tentang kopi oleh Pusat Kajian Gastrodiplomasi ini disampaikan oleh Agus Trihartono kala diskusi mengenai hasil penelitian timnya di lantai 6 gedung CDAST (30/3).
Dari hasil penelitian dengan metode multi-stage random sampling yang dilakukan di 31 kota dan kabupaten di Jawa Timur terhadap 220 responden di wilayah kota dan di desa, menghasilkan data 24 persen responden baik di kota maupun di desa menyukai kopi yang pahit. Hanya 2,7 persen responden di perkotaan yang menyatakan suka kopi yang berasa agak asam. Jumlah penyuka kopi dengan rasa agak asam di wilayah desa justru makin kecil, hanya 0,7 persen saja. Penikmat kopi di Jawa Timur ternyata juga lebih suka menikmati kopi di rumah, hal ini dibuktikan dengan jawaban 47,9 persen responden di kota dan 42,5 persen responden di desa.
“Dari data tersebut, ternyata warga Jawa Timur suka kopi Robusta yang memang cita rasanya pahit daripada kopi Arabica yang agak asam. Oleh karena itu kami menyarankan kepada pelaku usaha dan pemangku kepentingan di bidang kopi Indonesia untuk fokus memasarkan kopi Robusta ke dalam negeri, sebab pangsa pasarnya masih terbuka luas. Sementara untuk produk kopi Arabica bisa diekspor mengingat jenis kopi ini yang lebih disuka konsumen luar negeri,” jelas Agus Trihartono. Pusat Kajian Gastrodiplomasi Universitas Jember aktif melaksanakan berbagai penelitian tentang aspek sosial kopi secara berkelanjutan sejak tahun 2017 hingga kini.
Hasil data penelitian lainnya yang menarik adalah jumlah warga Jawa Timur yang minum kopi cukup banyak baik di desa maupun di kota. Di perkotaan mencapai 40,2 persen dan di desa mencapai 33,2 persen. Untuk kopi yang diminum pun cukup berimbang, antara kopi asli dan kopi dalam kemasan sachet. Angka penyuka kopi asli di perkotaan mencapai 33,6 persen dan di desa sebesar 24 persen. Sementara kopi sachet dikonsumsi oleh 21,2 persen responden baik di kota maupun di desa.
“Data ini menunjukkan pangsa pasar baik kopi asli maupun kopi sachet di Jawa Timur masih terbuka lebar. Perlu literasi kopi bagi masyarakat agar mereka tahu keunggulan kopi asli kita yang beraneka ragam, apalagi Indonesia memiliki banyak speciality coffee. Sementara bagi produsen kopi sachet, harus melakukan inovasi-inovasi produk terus menerus yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ujungnya bagaimana agar konsumsi kopi meningkat,” imbuh Agus Trihartono yang juga dosen Program Studi Hubungan Internasional FISIP ini.
Agus Trihartono tidak hanya meneliti bagaimana warga Jawa Timur memaknai kopi, dia juga meneliti bagaimana sisi sosial maraknya cafe yang menyajikan kopi di kota-kota kecil di Jawa Timur, seperti Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Bojonegoro dan kota lainnya. Peneliti gastrodiplomasi lulusan Ritsumeikan University Jepang ini mencatat, keberadaan cafe atau kedai kopi modern di kota-kota di Jawa Timur itu mulai marak semenjak tahun 2012. Salah satu temuannya adalah keberadaan cafe tersebut berpotensi mengurangi kohesivitas warga, pasalnya suasana cafe diatur lebih privat berbeda dengan warung kopi tradisional yang lebih menyatukan hubungan antar pelanggan.
“Saat ini orang ke cafe lebih karena ingin tahu, baik ingin tahu suasananya sekaligus ingin tahu menu kopi yang disajikan yang relatif baru bagi konsumen di kota kecil, seperti Vietnam Drip, Cappucino dan lainnya. Cafe dan kedai kopi modern umumnya didesain memiliki aturan tertentu sehingga yang datang harus menyesuaikan diri. Cafe lebih cocok untuk ngobrol ringan atau diskusi terbatas. Cafe saat ini menjadi alternatif tempat bekerja dan belajar, apalagi cafe menyediakan wifi gratis sehingga begitu di cafe si pembeli malah sibuk dengan gadget-nya sendiri-sendiri. Berbeda dengan warung kopi tradisional yang justru hidup dengan obrolan dari yang ringan hingga serius membahas politik. Kohesivitas atau keterlibatan sosial di cafe lebih rendah daripada di warung kopi tradisional,” ungkapnya.
Saat ini Pusat Kajian Gastrodiplomasi C-RiSSH Universitas Jember giat melakukan berbagai penelitian mengenai kopi. Diantaranya yang kini masih berjalan adalah penelitian terkait kopi dan gender serta kopi dan perubahan iklim. “Kami di Pusat Kajian Gastrodiplomasi C-RiSSH Universitas Jember terus melakukan penelitian mengenai gastrodiplomasi, salah satunya terkait kopi sebab jika melihat peta perkopian Indonesia maka Jember memiliki posisi unik, saya menyebutnya Jember sebagai pembangkit dunia kopi Indonesia dengan keberadaan Universitas Jember dan Puslit Kopi dan Kakao-nya,” kata Agus Trihartono.
Hasil penelitian Agus Trihartono seakan mendapatkan pengesahan, salah satunya dari Mahbub Junaidi, pemilik Cafe Nong di bilangan Jalan Semeru Jember. Menurut Mahbub, panggilan akrabnya, 95 persen kopi yang disediakan di cafe-nya adalah kopi Robusta yang didapatkannya dari pemasok dan petani di Jember dan sekitarnya. Dari pengamatannya selama ini, para pelanggan Nong Cafe didominasi anak muda seumuran mahasiswa, mengingat lokasi Nong Cafe tak jauh dari beberapa kampus perguruan tinggi di Jember.
“Awalnya saya tidak memasang fasilitas wifi di Cafe Nong, tapi usulan dari pelanggan yang umumnya mahasiswa dan datang ke sini untuk mengerjakan tugas, maka akhirnya pasang fasilitas wifi juga. Selain itu Nong Cafe juga memfasilitasi berbagai kegiatan lain seperti bedah buku, diskusi, mini lokakarya hingga pementasan seni. Jadi secara umum pelanggan kami yah mereka yang mengerjakan tugas dan juga mereka yang memang datang untuk ngobrol atau diskusi berbagai hal,” ujar Cak Mahbub yang membuka usahanya dari tahun 2017 ini.
Mahbub menilai perkembangan cafe atau kedai kopi di Jember sangat pesat, hal ini ditunjukkan dengan munculnya cafe atau kedai kopi hingga ke pelosok kecamatan. Walaupun kala pandemi Covid-19 menerjang, banyak cafe yang mengalami penurunan omzet, seperti juga yang dialaminya. Jika biasanya sebelum Covid-19 Nong Cafe bisa menyiapkan 6 hingga 8 kilogram kopi per bulan, tapi selama pandemi Covid-19 berkurang jadi separuhnya saja. Namun Mahbub yakin keberadaan cafe bahkan warung kopi akan tetap diminati oleh warga sebab memiliki pangsa pasar sendiri-sendiri.
“Keberadaan cafe dan kedai kopi yang menyajikan kopi asli secara tidak langsung memberikan pendidikan mengenai kopi kepada pelanggannya, sebab mereka bisa memilih beragam jenis kopi. Walaupun sejauh yang saya tahu, umumnya pelanggan kami tidak banyak memiliki referensi mengenai kopi Indonesia. Namun mereka percaya kopi yang kami sajikan adalah kopi asli. Adanya cafe dan kedai kopi modern juga tidak lantas mengikis keberadaan warung kopi tradisional sebab punya pelanggan masing-masing. Saya melihat warung kopi tradisional seperti yang ada di pasar, terminal atau pusat keramaian lainnya masih eksis,” ungkap Mahbub.
Sementara itu, Ari, salah satu pelanggan Nong Cafe yang ditemui tengah mengerjakan tugas menyampaikan dirinya sengaja memilih mengerjakan tugas kuliah di cafe agar tidak jenuh dalam mengerjakan tugas dari dosen. “Mengerjakan tugas di sini agar ada suasana baru, apalagi ada fasilitas wifi-nya juga yang memudahkan kami mencari informasi dan data. Kalau menu yang sering saya pesan itu kopi susu, sebab saya nggak terlalu paham jenis-jenis kopi,” tutur Ari, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Jember yang datang bersama kawan-kawannya ke Nong Cafe. (iim/is)