Jember, 2 Juni 2022
Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember menggelar kuliah umum oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) RI, Prof. Edward Omar Sharif Hiarej (2/6). Dalam kuliah umum bertema “Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”, Wamenkumham RI menyebut jika hukum haruslah adaptif terhadap dinamika jaman. Selain itu hukum tetap harus menjalankan fungsi sebagai penjaga hubungan antar sesama individu dan hubungan individu dengan negara dalam masyarakat, mencegah kesewenangan penguasa, dan fungsi untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam konteks hukum harus adaptif terhadap dinamika jaman inilah, maka pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diharapkan akan selesai dan diundangkan tahun ini. Namun karena sistem hukum selalu terkait dengan sistem lainnya seperti sistem agama, sosial, ekonomi, adat istiadat, serta politik maka tidak mudah menyusun RUU KUHP apalagi di Indonesia yang multi agama, multi etnis dan multi budaya. Akan selalu ada tarik menarik kepentingan dalam prosesnya. Wamenkumham RI yang akrab dipanggil Eddy ini lantas mencontohkan negara Belanda yang baru bisa merampungkan KUHP setelah memakan waktu 70 tahun padahal Belanda adalah negara yang tergolong relatif homogen secara agama, sosial, ekonomi, adat istiadat serta politik.
“Kajian hukum itu sungguh luas, meliputi bayi yang masih dalam kandungan hingga orang yang sudah mati pun diatur oleh hukum. Hukum juga merupakan sistem terbuka yang dibangun atas sub sistem-sub sistem lainnya. Hukum juga terkait dengan sistem-sistem lainnya seperti agama, sosial, ekonomi, dan politik. Kemenkumham RI menyadari jika dalam masa penyusunan RUU KUHP muncul kontroversi maka hal tersebut lumrah karena tidak mungkin RUUH KUHP bisa memuaskan semua pihak,” jelasnya dihadapan Rektor, Wakil Rektor, Dekan dan Wakil Dekan FH serta dosen dan mahasiswa yang hari itu memenuhi gedung Serbaguna FH Universitas Jember.
Pria asal Ambon ini lantas mencontohkan salah satu pasal di RUU KUHP yang mengatur mengenai penodaan agama yang mendapatk kritikan dari beberapa pihak. Menurutnya pidana terhadap penodaan agama dalam KUHP juga dilakukan di negara lain semisal yang dilakukan oleh Belanda. Awalnya Belanda menghapus pasal penodaan agama, namun di tahun 1983 memberlakukan kembali setelah munculnya kejadian persekusi terhadap kalangan agama dan minoritas tertentu di Belanda.
“Begitu pula terkait hukum adat atau The Living Law dalam RUU KUHP kita yang mendapat kritikan banyak pihak. Keberadaan pasal mengenai hukum adat ini bersumber dari kondisi dimana Indonesia adalah negara multi etnis sehingga hukum adat masih diikuti oleh banyak orang seperti di Bali dan Papua. Namun bukan berarti kita akan menghidupkan kembali pengadilan adat, hukum adat juga menjadi the last resort jika sudah tidak ada pasal pidana yang mengatur, itu pun melalui pengadilan negeri yang ada,” ungkap Eddy Hiariej.
Sebelumnya dalam laporannya, Dekan FH Universitas Jember Prof. Bayu Dwi Anggono menyampaikan kegiatan kuliah umum bertema “Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” digelar dalam rangka Pancasila Fest 2022 yang digelar dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila yang jatuh setiap tanggal 1 Juni. “Kami juga berharap kerjasama yang sudah terjalin antara FH Universitas Jember dengan Kemenkumham RI akan terus berkembang, dan khusus untuk Prof. Eddy Hiariej berkenan menjadi pembimbing dan penguji di program magister dan doktoral di FH Universitas Jember,” kata Prof. Bayu Dwi Anggono. Kunjungan Wamenkumham ke FH Universitas Jember dalam rangka kunjungan kerja ke beberapa unit kerja di bawah Kemenkumham di wilayah Jawa Timur. (iim)