Jember, 2 Juni 2022
Selain memberikan kuliah umum kepada dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) RI, Prof. Edward Omar Sharif Hiarej juga berkesempatan menjelaskan perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurut Wamenkumham, dari 14 butir RUU KUHP yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat, akhirnya Kemenkumham RI dan DPR RI menyepakati ada pasal yang tetap dipertahankan semisal pasal hukuman mati, ada pasal yang direformulasi seperti pasal mengenai penodaan agama serta ada juga pasal yang dihapus seperti pasal mengenai advokat curang dan pasal mengenai praktek dokter gigi tak berijin.
Menurut Wamenkumham yang akrab disapa Eddy, pihaknya menyadari pasti akan ada pro dan kontra terhadap RUU KUHP, untuk itu Kemenkumham sebagai penyusun RUU selalu terbuka akan sumbangan pemikiran dan kritik yang ada. Sebab penyusunan RUU KUHP bukan semata persoalan hukum dan tidak mungkin bisa memuaskan seluruh pihak, mengingat akan selalu ada tarik menarik kepentingan dari sisi sosial, budaya, agama serta politik. Sebagai contoh kalangan aktivis HAM menentang pasal hukuman mati, sementara pegiat antikorupsi justru ingin koruptor dihukum mati. Kegiatan kuliah umum digelar di gedung Serbaguna FH Universitas Jember (2/6).
“Ada survey yang dilakukan oleh Kemenkumham tahun 2015-2016 mengenai hukuman mati, ternyata delapan puluh persen responden setuju adanya hukuman mati. Namun ketika ditanya apakah pelaku terorisme patut dihukum mati maka hanya dua puluh persen responden yang setuju. Ini membuktikan bahwa pidana mati terkait banyak hal seperti agama, sosial, budaya dan politik. Maka dalam RUU KUHP pidana mati menjadi pidana khusus dimana hakim yang menjatuhkan keputusan pidana mati disertai pidana percobaan selama sepuluh tahun. Jika selama masa percobaan sepuluh tahun terpidana mati berkelakuan baik maka bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup,” jelas Eddy Hiariej.
Pasal lain yang juga menjadi kontroversi adalah pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Eddy Hiariej menepis anggapan beberapa pihak yang menganggap pemerintah tengah menghidupkan pasal karet atau haatzaai artikelen serta bertentangan dengan prinsip equality befor the law. Menurutnya, KUHP semua negara memiliki persamaan dan memuat substansi yang pasti sama. Namun ada tiga hal yang membedakan diantara KUHP masing-masing negara yakni mengenai kejahatan politik, kejahatan terhadap kesusilaan dan pasal mengenai penghinaan. Setiap negara akan berbeda dalam mendefiniskan ketiga hal tersebut dalam KUHP-nya.
“Di Canberra pernah ada demonstrasi menentang keterlibatan Australia mendukung Amerika Serikat dalam perang Iraq. Para demonstran memprotes PM John Howard dengan cara membawa anjing yang diberi topeng PM John Howard. Lantas bagaimana jika hal serupa terjadi di Indonesia yang multi etnis dan beragam agama ? Dan jangan lupa dalam RUU KUHP kita, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden adalah delik aduan dan bukan delik biasa, artinya presiden yang akan nanti mengadukan penghinaan tersebut ke pengadilan,” tutur guru besar di FH Universitas Gadjah Mada ini.
Sementara itu dalam laporannya, Dekan FH Universitas Jember Prof. Bayu Dwi Anggono menyampaikan kegiatan kuliah umum bertema “Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” digelar dalam rangka Pancasila Fest 2022 yang digelar dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila yang jatuh setiap tanggal 1 Juni. Kegiatan kuliah umum dibuka secara resmi oleh Rektor Universitas Jember dan diikuti oleh dosen dan mahasiswa FH Universitas Jember. Dalam sambutannya, Rektor menyampaikan apresiasi atas keberhasilan FH menghadirkan Wamenkumham RI. “Dengan kegiatan kuliah umum yang menghadirkan para pakar seperti Prof. Eddy Hiariej, maka kami harapkan dosen dan mahasiswa mendapatkan informasi terbaru mengenai perkembangan pembahasan RUU KUHP dan mendapatkan pengalaman dari praktisi,” tutur Iwan Taruna. (iim)