Pernahkah Anda tahu berapa jumlah kekayaan negara kita? Untuk sementara simpan dulu rasa penasaran Anda. Karena tidak akan ada yang bisa menjawabnya. Inilah gambaran umum negeri yang sering digambarkan sebagai sepotong surga didunia. Seolah-oleh kaya, tetapi tidak ada isinya. Seperti aset para pengutang BLBI yang disetor ke BPPN. Seolah-olah besar dan mampu menutup hutangnya. Namun ketika dihitung sebenarnya nilai sudah jatuh ke jurang.
Ketidakmampuan menghitung aset negara ini berkaitan erat dengan belum lengkapnya data barang milik negara sehingga tidak bisa menyusun data base. Inventarisasi barang milik negara selama ini kurang berjalan seperti yang diharapkan. Persoalan lain yang cukup menghambat adalah belum adanya persamaan persepsi dalam pengelolaan barang milik negara dan belum memadainya peraturan. Saat ini peraturan berkaitan dengan pengelolaan kekayaan negara berupa KMK No. 18/KMK.018/1999, KMK No. 470/KMK.01/1994, KMK No. 350/KMK.03/1994.
Sebenarnya dengan keluarnnya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 01 tahiun 2004 tentang Perbendaharaan Negara posisi kekayaan negara semakin baik. Namun demikian untuk menindaklanjuti pengelolaan kekayaan negara agar lebih profesional perlu aturan tersendiri sebagai bagain dari upaya empowering profesional management dibidang pengelolaan kekayaan negara. Mengingat fungsi strategisnya pengelolaan kekayaan negara berupa penggunaan dan pemanfaatan barang milik negara untuk kepentingan nasional. Paling tidak ada dua fungsi strategis pengelolaan kekayaan negara yaitu fungsi pelayanan dan fungsi budgeter. Fungsi pelayanan lebih menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan organisasi untuk instansi pengguna dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Contohnya kantor KPPN, yaitu untuk melayani bendahara atau pihak ketiga dalam mengajukan pembayaran. Sedangkan fungsi budgeter dibagi dua yaitu pemanfaatan dan pemindahtanganan. Pemanfaatan berupa sewa, kerja sama pemanfaatan, dan bangun guna serah. Pemindahtanganan seperti penjualan, tukar menukar, hibah, dan penyertaan modal negara. Khusus untuk fungsi budgeter perlu mendapatkan perhatian serius agar tidak menimbulkan kerugian negara seperti hilangnya barang milik negara akibat terjadinya pemanfaatan dengan pihak ketiga berupa bangun guna serah dalam jangka waktu panjang misalnya 30 tahun.
Fungsi strategis ini membuat rawan konflik kepentingan seperti penguasaan barang milik negara oleh pihak ketiga secara tidak sah. Atau pendudukan tanah kosong milik negara oleh masyarakat. Nah, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan tersebut perlu dibuatkan aturan main yang jelas dan komprehensif. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah disebutkan barang milik negara adalah barang yang dibeli/diperoleh atas beban APBN/APBD atau barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Menurut UU Keuangan Negara kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga,piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah.
Ada beberapa landasan penyusunan peraturan dibidang pengelolaan negara. Landasan filosofis berupa hakekat peran penting barang milik negara dalam penyelenggaraan pemerintah negara kesatuan republik Indonesia untuk mencapai cita-cita dan tujuan sesuai pembukaan UUD 1945. Sehingga pengelolaannya harus ditujukan untuk pencapaian cita-cita dan tujuan tersebut. Landasan sosiologisnya adalah rasa ikut memiliki masyarakat terhadap barang milik negara diwujudkan dengan keterlibatan dalam menjaga dan merawat barang milik negara, namun dalam pelaksanaanya masih ditemui penguasaan dan pemanfaatan barang milik negara tanpa mengindahkan ketentuan. Sedangkan landasan yuridisnya adalah UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Untuk menuju pada titik ideal atau best practise dalam pengelolaam kekayaan negara, harus menganut azas-azas yang berlaku seperti azas fungsional, azas kepastian hukum, azas transparansi, azas efisiensi, azas akuntabilitas publik, dan azas kepastian nilai. Sesuai dengan UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, kekayaan negara/daerah adalah bagian dari keuangan negara. Pasal 6 menyebutkan bahwa presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam pelaksanaannya dikuasakan kepada menteri keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Dan dikuasakan juga kepada menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna barang. Serta diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintahan daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Sesuai dengan UU Perbendaharaan Negara pengelolaan kekayaan negara harus dipisahkan antara pengelola barang milik negara dengan pengguna barang milik negara. Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan umum pembinaan dan pengelolaan barang milik negara/daerah. Pengertian pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik negara/daerah. Menteri keuangan selaku bendahara umum negara mengatur pengelolaan barang milik negara seperti disebutkan dalam pasal 42 ayat 1. Sedangkan pasal 42 ayat 2 dan 3 menjelaskan menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna dan kuasa pengguna. Sebagai pengguna barang milik negara digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Pengguna barang tidak boleh menggadaikan barang milik negara. Menjaminkan atau bahkan menyerahkan sebagai pembayaran atas tagihan. Demikian juga barang milik negara juga tidak boleh disita.
Sebagai pedoman teknis dan administrasi dalam pengelolaan barang milik negara/daerah akan diatur dengan peraturan pemerintah. Saat ini telah disahkan peraturan pemerintah no. 6 tahun 2006 tentang Barang Milik Negara/Daerah. Semoga dengan disahkannya PP tersebut akan bisa menjawab pertanyaan Seberapa Sih, Kekayaan Negara Kita? (sumber: PU)