Jember, 28 September 2022
Kopi kini menjadi salah satu komoditas favorit di Indonesia, tak heran jika kemudian banyak petani yang mengusahakannya. Termasuk para petani di wilayah lereng pegunungan Ijen Bondowoso yang terkenal sebagai salah satu sentra penghasil kopi berkualitas unggul di Jawa Timur. Seperti diketahui proses pengolahan kopi dari biji menjadi kopi bubuk siap saji menyisakan limbah, yakni sisa kulit kopi. Jumlahnya pun tidak bisa dibilang sedikit, sebanyak 39 persen dari total produksi. Selama ini kulit kopi hanya dimanfaatkan sebagai pupuk oleh petani, namun dengan berkembangnya produksi kopi maka jumlah limbah ini pun menjadi masalah.
Salah satu solusi mengatasi limbah kulit kopi ditawarkan oleh dosen dan peneliti dari Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Dr. Ir. Soni Sisbudi Harsono, M.Eng. M.Phil. Berdasarkan riset yang dilakukannya, limbah kulit kopi bisa diolah menjadi sumber bahan bakar alternatif terbaharukan berupa biopellet. Harapannya, biopellet dari limbah kulit kopi menjadi solusi mengatasi dampak buruk limbah kulit kopi bagi lingkungan, sekaligus mendorong kemandirian warga desa dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar mengingat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah naik.
“Kulit kopi itu bersifat asam sehingga dalam jumlah banyak tidak bagus bagi kondisi tanah dan air. Biasanya petani menumpuk begitu saja limbah kulit kopi di pojokan kebun atau di tepi aliran sungai. Sementara untuk mengolah kulit kopi menjadi pupuk perlu waktu, karena perlu tahapan dekomposisi. Paling tidak tiga sampai empat bulan baru limbah kulit kopi baru bisa diolah menjadi pupuk. Jadi bayangkan jika limbah kulit kopi dalam jumlah banyak berada di satu lokasi dalam jangka lama, maka akan mengganggu ekosistem di wilayah tersebut. Belum lagi dengan polusi bau busuk sangat mengganggu warga, bahkan bisa mengganggu kesehatan,” jelas Soni, begitu panggilan akrabnya saat ditemui di Kampus FTP Universitas Jember (28/9).
Pemanfaatan limbah kulit kopi menjadi bio pellet sebagai bakar alternatif terbaharukan dipilih karena proses pembuatannya mudah dan murah. Secara garis besar, kulit kopi dijemur hingga kadar airnya berkurang hanya menjadi 12 persen saja. Kulit kopi yang sudah kering kemudian ditumbuk dan dihaluskan hingga mirip seperti tepung. Lalu siapkan tepung tapioka yang sudah dilarutkan dengan air secukupnya untuk dibuat sebagai lem kanji. Aduk bahan-bahan tadi hingga rata.
Komposisi yang ideal adalah tepung kulit kopi 90 persen ditambah 10 persen lem kanji. Jika bahan sudah siap maka masukkan ke alat pencetak biopellet hingga menghasilkan bahan bakar briket berbentuk silinder kecil. Biopellet ini masih perlu dijemur di ruang terbuka dengan memanfaatkan panas matahari selama kurang lebih dua hari hingga benar-benar kering. Jika sudah benar-benar kering, biopellet siap digunakan. Keuntungan lainnya, biopellet mudah disimpan dan tahan lama selama penyimpanannya sesuai aturan.
“Untuk menghasilkan satu kilogram biopellet hanya memerlukan biaya produksi dua ribu lima ratus rupiah saja. Setiap satu kilogram biopellet bisa untuk memasak nasi satu kilogram, atau memasak air dan masak lauk pauk selama delapan jam. Dari hasil hitung-hitungan yang kami lakukan, dengan memakai biopellet ini akan ada penghematan duapuluh lima persen daripada menggunakan kompor dengan sumber BBM berupa elpiji. Cara memakainya pun mudah, seperti menggunakan arang sebagai bahan bakarnya,” jelas doktor teknik pertanian lulusan Humboldt University Berlin Jerman ini.
Tidak hanya menawarkan biopellet, Soni juga menyiapkan kompor untuk memasak yang biaya produksinya hanya 175 ribu rupiah saja. Kompor yang didesain oleh Kepala Laboratorium Rekayasa Alat Mesin Pertanian FTP Universitas Jember ini juga cocok bagi usaha mikro dan kecil seperti pedagang kaki lima, warung atau industri makanan rumahan. Soni menjamin kompor bikinannya mudah dipakai dan tidak menimbulkan asap yang berlebihan. Saat ini Soni dibantu tiga mahasiswanya terus berusaha menyempurnakan kompor biomassa agar nantinya bisa disebarluaskan hingga membuka potensi usaha pembuatan kompor biomassa.
“Sebenarnya pembuatan biopellet tidak hanya dengan bahan limbah kulit kopi saja, tapi bisa memakai limbah organik lainnya seperti daun dan batang tanaman lainnya yang banyak ada di perdesaan. Potensi biopellet sebagai bahan bakar alternatif ini terbuka lebar mengingat bahannya berlimpah di desa. Kedua, membantu mewujudkan desa mandiri energi sehingga membantu kesejahteraan masyarakat desa. Saat ini kami dari tim biopellet FTP Universitas Jember tengah menyosialisasikan program ini di Dusun Kluncing, Desa Sukorejo, Kecamatan Sumberwringin Kabupaten Bondowoso,” kata Soni.
Solusi mengatasi limbah kopi yang ditawarkan oleh dosen dan peneliti FTP Universitas Jember disambut baik oleh warga Desa Sukorejo, seperti yang disampaikan oleh sang Kepala Desa, Sumarni. Menurutnya dalam setiap panen raya kopi di desanya bisa menghasilkan limbah kulit kopi hingga dua ribu ton. Selama ini limbah kulit kopi tadi hanya diolah menjadi pupuk sehingga keberadaannya menganggu warga. Dengan pelatihan pembuatan biopellet dan kompor biomassa maka diharapkan mengurangi limbah sekaligus mengurangi ketergantungan warga terhadap BBM atau elpiji untuk memasak.
Inovasi biopellet karya Soni Sisbudi Harsono mendapatkan pendanaan dari Direktorat Riset, Teknologi dan Pengabdian pada Masyarakat DIKTI Kemdikbudristek. Program di Dusun Kluncing Desa Sukorejo berjalan mulai awal September 2022 lalu dengan melibatkan kelompok tani setempat. “Nantinya mesin penghancur dan pembuat biopellet akan kami hibahkan untuk warga Dusun Kluncing Desa Sukorejo. Kami dari Fakultas Teknologi Pertanian juga akan terus mendampingi petani kopi di wilayah Kecamatan Sumberwringin yang memang menjadi binaan Universitas Jember,” pungkas Soni. (iim)
Nama: Dr. Ir. Soni Sisbudi Harsono, M.Eng., M.Phil
Dosen Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Alamat: Jl. Kalimantan 57 Jember 68121
No HP. 082337912019
Email: s_harsono@unej.ac.id ; s_harsono@yahoo.com