Jember, 5 Oktober 2022
Banyak sekali jenis kekerasan seksual, diantaranya panggilan melecehkan terhadap kondisi fisik dan identitas gender seseorang, menyampaikan ucapan yang memuat rayuan atau lelucon bernada saru, dan yang lagi marak pada saat ini ekshibisionisme. Tanpa kita sadari mungkin banyak warga kampus yang merasakan tindakan pelecehan seksual seperti itu memilih mendiamkan saja. Kebanyakan masyarakat juga seakan tidak peduli dan menganggap kejadian ini hanya sebuah gangguan kecil saja yang tidak perlu dibesar-besarkan. Bahkan kadang korban tidak melaporkan pelecehan seksual yang dideritanya kepada lembaga atau pihak yang berwajib.
Menyikapi hal ini hari Senin (3/10) lalu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember menggelar kegiatan Sahabat Bicara FKIP dengan tema “Tindakan tepat dalam penanganan kekerasan seksual dengan perspektif pendidikan”. Hadir sebagai pemateri utama Ketua Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Jember, Linda Dwi Eriyanti. Dalam presentasinya Linda menekankan pentingnya pendidikan seksualitas semenjak kecil. Pendidikan seksualitas ini bukan masalah hubungan seksual, tetapi bagaimana cara kita mengenali alat reproduksi kita, bagaimana menjaga kesehatan alat reproduksi kita, dan bagaimana kita memiliki hak atas seksualitas kita
“Pendidikan seksualitas memberikan bekal bagi kita kesadaran dan kewajiban menjaga seksualitas kita dan juga menjaga seksualitas orang lain dan akhirnya tidak ada yang saling mengganggu dan tidak saling melakukan kekerasan. Saya berharap bagi mahasiswa FKIP yang bakal menjadi pendidik, nantinya bisa mempertegas bahwa laki-laki dan perempuan itu memiliki kesetaraan dan masing-masing memiliki tanggung jawab sebagai manusia yang sempurna. Pasalnya kita mengetahui bahwa yang menjadi korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan tetapi laki-laki pun bisa menjadi korban. Adalah tugas kita semua, terlebih lagi bagi calon pendidik untuk menjaga diri kita dan orang lain supaya tidak menjadi korban pelecehan seksual,” pesan Linda.
Linda menambahkan, dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia sendiri sudah memberlakukan beberapa aturan seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Permendikbud, aturan di KUHP yang menangani tindakan pencabulan, dan masih banyak lagi aturan yang diberlakukan. Akan tetapi, permasalahannya apakah adanya aturan, struktur hukum dan aparat penegak hukum sudah benar-benar berpihak kepada korban?
“Indonesia adalah negara yang paling rajin membuat aturan, membuat Satgas, membuat panitia akan tetapi kinerjanya masih sangat kurang yang masih harus dievaluasi lagi. Sehingga akhirnya menjadi penting bagi setiap institusi untuk memiliki sistem etik sendiri yang bisa mengatur secara internal tentang kekerasan seksual seperti halnya Permendikbud yang harus diikuti dengan peraturan rektor, setiap kampus harus mempunyai Satgas yang bertugas untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual yang terjadi dilingkungan kampus, maka harapannya lebih efektif dan bisa melampaui proses hukum,” tutur Linda.
Sesi pemaparan dilanjutkan dengan diskusi. Salah satu pertanyaan muncul dari Rahmat yang mempertanyakan mengapa tidak ada penanganan kekerasan seksual terhadap laki-laki padahal kaum Adam pun bisa jadi korban? Menurut Linda, kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, termasuk laki-laki. Fakta ini sebenarnya sudah diwadahi dalam Undang-Undang TPKS, Permendikbud, dan aturan lainnya menyebutkan istilah kekerasan seksual bukan kekerasan terhadap perempuan, mengingat kekerasan seksual bisa dialami oleh laki-laki maupun perempuan dan perlindungannya juga sama.
Pertanyaan juga diajukan oleh Amanda yang menanyakan fenomena pelecehan kepada perempuan yang sudah menjaga sikap dan pakaian. Menanggapi pertanyaan ini Linda menganjurkan segera melaporkan kepada pihak berwajib. “Apapun alasannya semua orang tidak boleh menjadi korban kekerasan seksual dan semua orang harus merdeka serta dijamin keamanannya. Jika Anda merasakan kekerasan seksual, segera laporkan,” jawab Linda.
Sementara itu menurut Ketua BEM FKIP, Inggit Setia Pranata, tujuan dari kegiatan ini memberikan pemahaman dan meningkatkan kesadaran bagi mahasiswa khususnya mahasiswa FKIP tentang tindakan kekerasan seksual yang saat ini marak terjadi dan bagaimana cara yang tepat dalam menanganinya. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui zoom cloud meeting yang diikuti oleh 60 lebih peserta yang mayoritas merupakan mahasiswa FKIP. “Baru-baru ini muncul keluhan dari teman-teman tentang kekerasan seksual seperti tindakan ekshibisionisme yang terjadi di area sekitar kampus. Sebagai mahasiswa kita harus mengetahui bagaimana cara yang tepat dalam menangani kasus kekerasan seksual tersebut. Mengingat kita adalah mahasiswa FKIP yang nantinya menjadi calon pendidik maka kita harus membekali diri kita dengan menambah pengetahuan kita tentang tindakan kekerasan seksual dan cara penanganannya untuk diteruskan kepada anak didik kita,” ujar Inggit. (matus/iim)