Jember, 28 Juli 2023
Paguyuban Seni Reog Mahasiswa (PSRM) Sardulo Anurogo Universitas Jember masuk dalam daftar sepuluh besar penyaji terbaik dalam ajang Festival Nasional Reog Ponorogo 2023. Dalam ajang yang selalu digelar menjelang peringatan 1 Suro di Ponorogo (11-19/7) ini penampilan arek-arek Tegalboto menduduki peringkat ketujuh dari 28 kelompok reog se-Indonesia yang tampil. Prestasi ini bak menjadi pelepas dahaga setelah selama kurang lebih tiga tahun PSRM Sardulo Anorogo harus vakum mengikuti festival gegara pandemi Covid-19.
“Antara percaya nggak percaya saat dewan juri mengumumkan PSRM Sardulo Anorogo menempati rangking ketujuh. Sebab masa persiapan kami praktis kurang dari enam bulan saja,” urai Ketua PSRM Sardulo Anorogo, Mohammad Satria Fattah, saat ditemui di lobby gedung rektorat Universitas Jember (28/7). Satrio, begitu panggilan akrabnya pada saat festival kemarin membawa 90 anggotanya ke Ponorogo. Terdiri dari 30 pengrawit, 30 penari dan sisanya tim produksi.
Kesulitan kedua bagi PSRM Sardulo Anorogo adalah 90 persen personilnya adalah anggota baru yang bahkan mayoritas belum pernah mengenal kesenian Reog. Alhasil Satrio dan para senior di PSRM Sardulo Anorogo harus bekerja keras melatih yuniornya. Dan proses memang tak pernah mengkhianati hasil. Jerih payah mereka berlatih tiga kali seminggu berbuah menduduki peringkat ketujuh di Festival Nasional Reog Ponorogo 2023. Memang hasil ini belum bisa mengulangi pencapaian di tahun 2019 lalu saat PSRM Sardulo Anorogo meraih peringkat ketiga di ajang yang sama.
“Masalah utama kami memang di regenerasi. Pasalnya personil selalu berganti sehingga kami harus memberikan ekstra perhatian dan bimbingan. Kedua, minat mahasiswa untuk bergabung dengan PSRM Sardulo Anorogo memang tidak terlalu besar. Namun dengan keberhasilan masuk sepuluh besar penyaji terbaik menjadi modal kami mempromosikan PSRM Sardulo Anorogo ke mahasiswa baru angkatan 2023,” sambung Satrio yang asli Jember ini.
Apa yang disampaikan oleh Satrio didukung oleh pembina PSRM Sardulo Anorogo, Jarkasih. Menurutnya perjuangan mahasiswa binaannya terasa berat mengingat harus belajar dari nol. Untuk itu pihaknya mendatangkan dua pelatih tari sekaligus koreografer lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta guna membimbing penampilan PSRM Sardulo Anorogo, yakni Anggono Kusumo Wibowo dan Sigit Setiawan. Duet keduanya mampu mengangkat penampilan wakil Universitas Jember.
“Pada ajang Festival Nasional Reog Ponorogo 2023 lalu, dewan juri tidak hanya melihat penampilan yang sudah menjadi pakem kesenian Reog saja, namun juga melihat inovasi setiap kelompok. Misalnya dari kreasi gerakan tari dan koreografinya secara keseluruhan termasuk unsur dramatikal yang dibawakan selama tampil. Kesemuanya harus dibawakan dalam waktu 20 menit saja,” imbuh Jarkasih.
Secara umum pagelaran kesenian Reog menampilkan cerita pertarungan Raja Klonosewandono, raja kerajaan Bantarangin yang bersenjatakan cemeti sakti Samandiman, dalam melawan penguasa hutan Singobarong. Bersama para prajurit Kerajaan Bantarangin yang terdiri dari penari Jatilan yang menggambarkan prajurit berkuda. Warok sebagai prajurit pilihan, dan patih andalan yang diperankan oleh Bujangganong. Bersama-sama mereka akhirnya bisa menaklukan Singobarong.
Sementara itu Satrio dan kawan-kawan bertekad mempertahankan pencapaian kali ini, bahkan jika memungkinkan masuk tiga besar dalam Festival Nasional Reog Ponorogo 2024 nanti. Caranya dengan menggelar pemusatan latihan sedini mungkin, yang rencananya akan dimulai bulan September 2023. Kedua, memperbanyak frekuensi tampil baik di dalam lingkungan kampus maupun di tengah masyarakat. Tampil di depan umum menurutnya dapat melatih mental dan kesiapan personil PSRM Sardulo Anorogo.
“Tentu saja kami harus kreatif dalam menyusun alur cerita yang akan kami bawakan dan menampilkan kebaharuan dalam koreografi tarian secara umum. Selain itu kami selalu menanamkan kepada semua anggota prinsip bergabung dalam PSRM Sardulo Anorogo bukan hanya sekedar berkesenian, namun dalam rangka melesatrikan nilai-nilai luhur Reog yang merupakan kesenian adiluhung bangsa. Jika bukan kita yang melestarikan Reog lantas siapa lagi?” Pungkas Satrio yang juga mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Jember mengakhiri diskusi kami. (iim)