Jember, 21 Oktober 2023
Indonesia sudah memiliki kurang lebih 13 aturan perundangan yang bertujuan melindungi perempuan, termasuk Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun masih terjadi diskriminasi hingga kekerasan terhadap perempuan Indonesia. Menurut Prof. KH. Nasaruddin Umar, salah satu penyebabnya adalah persoalan budaya dan tafsir atas ajaran agama yang sempit akan peran serta perempuan dalam kehidupan. Oleh karena itu ummat Islam Indonesia perlu “menafsirkan ulang” Al Qur’an agar perempuan ditempatkan sebagaimana mestinya.
Pendapat ini disampaikan Prof. KH. Nasruddin Umar saat menjadi pembicara kunci dalam kegiatan The First International Conference on Gender and Feminism (ICoGeF) 2023 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Jember selama dua hari (21-22/10). Selain Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, panitia menghadirkan pembicara Prof. Etin Anwar dari Hobart and Williams Smith Colleges Amerika Serikat, Onanong Thippimol Thammasat University, Thailand dan R. Laksmi Priya CEO Pachiderm Thales, India.
Menurut guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, persoalan budaya dan tafsir tidak bisa dilepaskan dalam pemahaman akan agama. Misalnya saja semua agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam dilahirkan di wilayah kontinental yang memiliki budayanya sendiri. Ketika agama Islam hadir di nusantara yang merupakan wilayah kepulauan, budaya tersebut ikut masuk ke Indonesia yang memiliki budayanya sendiri. Maka selalu ada potensi bagi orang awam susah membedakan antara ajaran Islam dan budaya Arab.
“Misalnya perdebatan apakah perempuan dapat menjadi pemimpin ? Saat Rasulullah SAW mulai berdakwah di kota Makkah, masyarakat Arab mengenal 12 golongan dalam masyarakatnya. Kebetulan perempuan ada di peringkat bawah apalagi kondisi alam yang keras membuat perempuan lebih rentan. Budaya patriarkal sangat kental. Bahkan kosa kata pemimpin perempuan itu tidak ada dalam kamus Arab. Namun hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia yang masyarakatnya lebih egaliter,” ujar Imam Besar Masjid Istiqlal ini.
Persoalan kedua adalah bab tafsir. Dalam menafsirkan Al Qur’an maka persoalan siapa yang menafsirkan, budaya asal si ahli tafsir hingga permasalahan bahasa akan turut merumuskan hasil akhir tafsirannya. Misalnya saja masih ada cendekiawan atau ulama yang sepakat bahwa perempuan adalah berasal dari tulang rusuk pria. Sehingga perempuan harus taat terhadap laki-laki. Padahal pendapat ini tak ada landasannya di Al Qur’an.
Dirinya lantas menyodorkan hadist yang melarang perempuan bepergian tanpa mahram atau walinya. Menurutnya hadist tersebut harus ditafsirkan sesuai konteks dan kondisinya. Jika hadist tersebut diterapkan saat ini di kampus Indonesia yang banyak memiliki mahasiswi, maka bayangkan bagaimana susahnya orang tua yang harus menemani anak perempuannya kuliah. Padahal banyak mahasiswi di sebuah kampus berasal dari luar kota.
“Oleh karena itu saya menafsirkan QS An-Nisa’ ayat 34 Arrijalu Qowwamuna ‘Alannisa sebagai laki-laki adalah pelindung bagi perempuan. Jika perempuan punya kemampuan dan kekuatan maka bisa saja dia tampil. Hal ini tercermin saat Rasulullah SAW di Makkah, maka sang istri Khadijah lebih banyak berperan mengingat saat itu Khadijah memiliki posisi dan kekuatan yang lebih baik. Namun pada saat Rasulullah SAW sudah diangkat menjadi Nabi maka beliau tampil sebagai pemimpin,” jelasnya.
Tentu saja “membaca ulang” Al Qur’an ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi ummat Islam Indonesia. Oleh karena itu Oleh karena Prof. KH. Nasaruddin Umar mengapresiasi langkah PSG Universitas Jember dalam mendorong diskursus mengenai perempuan. Pendapat Prof. KH. Nasaruddin Umar ini rupanya senada seperti apa yang disampaikan oleh Rektor Universitas Jember yang membuka kegiatan.
“Kegiatan ICoGeF yang pertama ini menjadi jawaban atas tantangan saya kepada kawan-kawan PSG Universitas Jember untuk menggelar kegiatan akademik level nasional bahkan internasional. Sebagai negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar maka sudah selayaknya kita ambil bagian dalam usaha mendukung peran serta perempuan dalam beragam bidang. Semoga kegiatan ini dapat menghasilkan rekomendasi dan membuka kerja sama antar peneliti dan pegiat kajian perempuan,” tutur Iwan Taruna. Seminar dihadiri oleh peneliti, dosen dan pegiat kajian perempuan dari perguruan tinggi di Jember, Makassar, Yogyakarta, Madura dan lainnya. hadir pula kalangan LSM dan perwakilan dari Polres Jember dan Pemkab Jember.
Sementara itu dalam laporannya, Ketua PSG Universitas Jember, Linda Dwi Eriyanti menginformasikan, selain menghadirkan pembicara kunci, akan tampil 156 pembicara selama dua hari kegiatan. Pihaknya juga akan memberikan penghargaan kepada tulisan ilmiah terbaik dan presenter terbaik. “Kami berencana menjadikan ICoGeF sebagai kegiatan ilmiah rutin tahunan, khusus tahun ini tema yang diambil adalah Feminist Theory and Practice : Efforts to Maintain Human Values,” pungkas Linda Dwi Eriyanti. (iim)