Jember, 17 Desember 2023
Maraknya kasus perundungan yang terjadi di kalangan siswa sekolah menjadi perhatian khusus bagi Pondok Pesantren Darun Najah Al Irfany (PP DNI) Jember. Untuk itu, pengelola PP DNI bersama Kampus FISIP Universitas Jember gelar kegiatan sosialisasi anti perundungan dan kekerasan dalam lingkungan pesantren.
“Selama ini belum ada laporan kasus perundungan dan kekerasan antar santri di tempat kami. Namun kami harus mengambil langkah antisipasi agar hal itu tidak terjadi dikemudian hari,” ujar Gus Qudsi Arafat Pengasuh PP DNI usai membuka acara sosialisai di aula Pesantren DNI Jember, (17/12).
Menurut Gus Qudsi, dalam menciptakan pendidikan yang aman dan inklusif dibutuhkan peran berbagai pihak. Termasuk pihak perguruan tinggi harus ambil bagian untuk duduk bersama penyelenggara pendidikan tingkat menengah ke bawah, dalam mengembangkan solusi yang dapat mengurangi terjadinya kasus perundungan dan kekerasan terhadap anak didik.
“Kami rasa kampus itu tempatnya para pakar yang ahli dibidang masing-masing. Oleh karena itu harapan kami kehadiran mereka di lingkungan pesantren dapat memperkuat nilai sikap positif dan empati di kalangan antar santri, sehingga perundungan dan kekerasan tidak lagi terjadi,” imbuh Gus Qudsi.
Sementara itu, ketua tim Anti Perundungan dan Kekerasan pada Anak (APKA) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (UNEJ), Nurina Adi Paramita mengatakan, kasus perundungan tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa. Karena jika dibiarkan dampaknya bisa fatal bagi anak didik.
“Dampaknya tidak hanya putus sekolah bahkan bisa jadi sampai pada tindakan kekerasan untuk membalas rasa sakit hatinya,” ujar Nurina yang saat ini sebagai dosen Sosiologi di FISIP UNEJ usai memberikan materi bersama empat orang dosen lainnya.
Menurut Nurina, tim yang beranggotakan Akhmad Ganefo, Sukron Makmun, Sari Dewi, dan Dwi Kusumaningrum ini menyampaikan berbagai materi yang dapat menciptakan budaya anti perundungan yang kuat dikalangan santri.
“Karena ini lingkungan pesantren maka materinya adalah penekanan pada nilai-nilai keagamaan. Ada juga materi yang berkaitan dengan etika dan solidaritas sesama santri serta materi terkait dampak negatif dari perundungan,” imbuh Nurina.
Lebih jauh Nurina mengatakan, upaya pemberantasan perundungan dihadapkan pada tantngan yang besar termasuk upaya penanganan kasusnya secara tuntas dan adil. Oleh karena itu Nurina berharap, seluruh pemangku kepentingan dapat bersinergi untuk menciptakan lingkungan pendidikan inklusif yang aman dan dapat mendukung perkembangan positif semua anak didik.
“Tidak cukup dengan sosialisasi. Namun pengelola pesantren juga harus terus berupaya meningkatkan kesadaran para santri tentang bahayanya perundungan dan meningkatkan pemahaman terhadap faktor-faktor penyebabnya. Kalau lingkungannya aman, siswa dan santrinya saling mendukung maka tidak ada lagi namanya perundungan,” jelas Nurina. [mun]