Jember, 27 Juni 2024
Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Jember (UNEJ) terus berupaya melakukan terobosan baru yang lebih koprehensif, agar lebih responsif terhadap isu gender, salah satunya dengan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Borang Penilaian Kampus Responsif Gender Award di Agrotechnopark Jubung Universitas Jember Rabu (26/06/2024).
Linda Dwi Eriyanti, Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember mengungkapkan, kegiatan ini sangat penting untuk memberikan wawasan dan masukan dari pihak yang berkompeten dibidangnya, yang nantinya akan bermanfaat bagi masyarakat.
“Karena ini adalah pertama kalinya kami melaksanakan Kampus Responsif Gender Award, maka perlu kita menyerap pengalaman dari narasumber yang sudah pernah melaksanakan sebelumnya,” ungkapnya.
Ia pun berharap kegiatan ini dapat menjadi langkah awal yang solid dalam pencapaian tujuan Kampus Responsif Gender Award. Pengalaman dan pandangan yang dibagikan oleh para narasumber diharapkan dapat menjadi dasar yang kuat untuk pengembangan kriteria penilaian yang efektif.
“Kami berharap ini (Kampus Responsif Gender Award 2024) membangkitkan kesadaran di tingkat fakultas dan lembaga bahwa penting untuk menciptakan situasi yang responsif gender.” katanya.
Sementara itu, Prof. Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan, dalam paparannya memberikan gambaran rinci mengenai kisi-kisi penilaian dan contoh borang penilaian yang telah diterapkan sebelumnya.
“Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG) merupakan kewajiban dari setiap kampus untuk menjaga dan mewujudkan High Level Values, menjamin keamanan, kenyamanan, dan bebas dari diskriminasi, intimidasi, serta kekerasan dalam bentuk apapun,” jelasnya.
Ia menjelaskan, indikator PTRG pertama kali diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) bersama Pusat Studi Gender (PSG) di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
“Pertama, kelembagaan yang mencakup adanya PSG, PSGA, dan Pusat Studi Wanita, kepemilikan profil gender perguruan tinggi, serta peraturan rektor terkait implementasi Pengarusutamaan Gender (PUG). Kedua, tridarma perguruan tinggi yang meliputi kegiatan belajar mengajar, penelitian, dan pengabdian. Ketiga, tata kelola dan penganggaran yang responsif gender. Keempat, budaya nirkekerasan terhadap laki-laki dan perempuan. “Semua indikator tersebut haruslah responsif gender,” terangnya.
Lebih lanjut ia juga menekankan bahwa perguruan tinggi memiliki kebijakan, program, kegiatan, dan penganggaran yang memperhatikan kebutuhan, pengalaman, dan aspirasi civitas akademika, baik laki-laki maupun perempuan.(dik/dil)