Jember, 19 November 2024
Pusat Studi Gender Universitas Jember (PSG UNEJ) sukses menggelar webinar “Kampus Responsif Gender Awards” dengan tema “Evaluasi Kelembagaan dalam Rangka Mewujudkan Kampus Responsif Gender”. Acara ini berlangsung secara daring (19/11/2024) dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi, dengan tujuan membahas strategi evaluasi kelembagaan demi menciptakan kampus yang lebih inklusif dan responsif terhadap isu gender.
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Jember, Prof. Slamin, M. Comp. Sc., Ph.D., dalam sambutannya mengatakan, urgensi pemahaman responsif gender di lingkungan kampus. Ia menyebut pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sebagai langkah preventif yang penting. Selain itu, peran Pusat Studi Gender (PSG) dinilai krusial sebagai lembaga yang memberikan rekomendasi kebijakan berbasis riset. “Kampus perlu meningkatkan fasilitas responsif gender, seperti penyediaan ruang laktasi dan infrastruktur yang ramah difabel,”katanya.
Ia menegaskan bahwa evaluasi kelembagaan, kolaborasi, dan inovasi adalah langkah kunci dalam menciptakan kampus yang inklusif. Transformasi pola pikir dan kebijakan tidak hanya akan memperkuat kesetaraan, tetapi juga meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara keseluruhan. Ia juga berharap kegiatan ini menjadi awal konkret bagi perguruan tinggi untuk terus berinovasi dan berkomitmen menciptakan lingkungan yang responsif gender.
Sementara itu, L. Dyah Purwitasari SWW., Ketua Panitia, dalam sambutannya juga memaparkan mekanisme penilaian dalam ajang penghargaan tersebut. Penilaian melibatkan empat kategori, yakni membudaya, merintis, perlu peningkatan, dan perlu perhatian. Ia menekankan pentingnya evaluasi berkelanjutan untuk memastikan program dan fasilitas responsif gender dapat diimplementasikan dengan baik.
Pemateri utama, Nikolaus Loy, S.IP., M.A., salah satu Dosen UPN Veteran Yogyakarta, memaparkan tantangan dan peluang dalam menciptakan kampus responsif gender. Ia menjelaskan bahwa gender adalah instrumen untuk membebaskan individu dari ketimpangan sosial, termasuk untuk kelompok difabel dan orang tua. Dalam presentasinya, beliau menyoroti pentingnya gender-responsive budgeting, regulasi kesetaraan gender, serta pembaruan budaya organisasi yang sering bias terhadap perempuan.
“Di beberapa daerah, laki-laki dengan pendidikan tinggi lebih dominan dalam pengambilan keputusan dibanding perempuan. Ini harus diubah melalui pendidikan yang setara dan kebijakan yang adil,” ujarnya. Ia juga menyoroti perlunya fasilitas kampus yang lebih inklusif, seperti lift untuk difabel, ruang daycare, dan akses kesehatan reproduksi yang memadai.
Nikolaus memberikan contoh sederhana namun mendalam. “Gedung dengan tiga lantai tanpa akses kursi roda mencerminkan bagaimana sarana prasarana sering tidak responsif gender. Hal seperti ini harus segera diperbaiki,” tegasnya. Ia juga menyoroti pentingnya penggunaan bahasa yang netral gender untuk mengurangi stereotip di lingkungan pendidikan.(is)