Melawan Lupa !
Orang Perancis punya pepatah L’Histoire se Répète, sejarah mengulang dirinya sendiri. Oleh karena itu dari sejarah kita belajar. Belajar melanjutkan yang baik, dan belajar untuk tidak mengulangi yang buruk.
Humas Universitas Jember (UNEJ) menerima sumbangan tulisan dari Bapak Imam Soebagio, mantan kepala Humas UNEJ sekaligus saksi hidup perjalanan UNEJ. Tulisan yang awalnya menyambut Dies Natalis ke 60 UNEJ, kemudian berkembang menjadi tulisan mengenai ingatannya akan hal-hal yang terkait dengan UNEJ dan seputar perkembangan almamater yang kita cintai bersama ini. Tujuannya, tentu melawan lupa, agar kita bisa belajar dari sejarah. Selamat menikmati.
Sejak kelas 1 SMP saya sudah menulis untuk mingguan Panyebar Semangat. Bapak Ibu guru dan teman-teman sekolah menyebut saya wartawan. Saya sendiri tidak penah mengaku-ngaku sebagai wartawan. Saya tahu diri karena sebutan wartawan untuk orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita yang dimuat di surat kabar atau majalah.
Saya baru merasa jadi wartawan setelah PWI Pusat tanggal 20 Mei 1970 menetapkan saya sebagai anggota. Itupun status saya adalah Anggota Muda karena saya PNS. Sejak saat itu semangat menulis tak terbentung. Melakukan banyak kegiatan jurnalistik baik news hunting sampai investigative report.
Profesi wartawan sangatlah menyenangkan, ada suka dan duka menemaninya. Saya menulis di Suluh Berita, Suara Indonesia, Merdeka, La Patria, Majalah Detektip Romantika, Parikesit, El Bahar. Jadi wartawan saat itu lumayan enak karena setiap tulisan dapat honor yang diberikan setiap akhir bulan. Banyak suka dan duka saya lakoni.
Beberapa pengalaman saat liputan masih tercatat di memori saya, tak terlupakan. Saya catat untuk melawan lupa. Setidaknya bisa diceritakan untuk pengantar tidur. Atau, kelak bisa dibukukan.
Suatu ketika jam sepuluh pagi saya dapat telpon dari Redaksi Suluh Berita, Surabaya. Redaktur bilang siaran Radio Australia melaporkan pagi subuh hari itu ada pembakaran pukat harimau oleh sejumlah nelayan di Muncar, Banyuwangi. Saya diminta meliput. Maka berangkatlah saya dengan sepeda motor menempuh jarak 83 kilometer Jember – Muncar. Mencari sumber informasi di Muncar tidaklah sulit karena ada keluarga yang dekat dengan para nelayan.
Pukat harimau adalah perlengkapan menangkap ikan cara lebih modern. Ketika dibenamkan ke air, pukat harimau bisa mencapai dasar laut. Pukat harimau dapat menangkap segala jenis ikan yang ada di laut baik ikan besar maupun ikan kecil sehingga merugikan nelayan tradisional. Selain itu pukat harimau dapat membahayakan ekosistem dan merusak laut.
Di Muncar saya kepergok melakukan pemotrekan bangkai pukat ditepi pantai. Seorang tentara dengan mengacungkan sten gun menegur dan membawa saya ke Koramil atas perintah Danramil. Bergetar juga hati saya saat itu. Sampai sore saya menunggu Danramil tak kunjung datang, akhirnya saya dipulangkan. Selama menunggu justru semakin melengkapi cerita tentang pukat harimau, jaring ikan yang dilarang beroperasi dan berdampak amuk massa.
Lain cerita datang dari Kediri. Tentang meletusnya Gunung Kelud. Beberapa hari saya tinggal di Kediri. Semalam tinggal di Pos Pantau di Margomulyo bersama petugas vulkanologi asal Flores Allosius Reppa. Menemani gelap malam diiringi geludug-geludug musik kawah Kelud yang menyemburkan erupsi. Saya mendapat asignment dari Harian Merdeka, Jakarta. Redaktur saat itu mengira posisi Gunung Kelud dekat dengan tinggal saya di Jember sehingga saya ditugaskan.
Selain mendekat ke kawah Kelud saya berkesempatan menerobos Terowongan Neyama bersama ahli geologi yang salah satunya bernama Muzil Aswar. Konon terowongan 800 meter ini untuk mengalirkan air Sungai Ngasinan, Sungai Tawing, dan Sungai Dawir ke Samudra Indonesia. Dimaksudkan untuk menyelamatkan Tulungagung Selatan dari banjir. Banjir terjadi lantaran Sungai Brantas tidak mampu menampung aliran ketiga sungai itu akibat dipenuhi luapan abu dan pasir Gunung Kelud.
Dari Pembantu Gubernur Kediri Oetomo mantan Bupati Jember yang saya temui saya dapat banyak cerita. Diantaranya terowongan Neyama dibangun tahun 1943 atas prakarsa Residen Kediri Residen Enji Kihara. Seorang tentara lulusan Akmil Jepang ini dengan mudah mengerahkan sedikitnya sepuluh ribu romusha yang jadi korban. (bersambung)