Jember, 5 Mei 2025
Rektor Universitas Jember (UNEJ) mengingatkan bahwa kecanggihan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) termasuk Artificial Intelligence (AI) hakikatnya adalah Kopilot. Sesuai tugasnya, Kopilot menjadi asisten untuk membantu meningkatkan produktivitas dan mempermudah pekerjaan. Sementara ide, kreativitas, analisis, beserta keputusan seharusnya tetap dikerjakan oleh masing-masing orang.
Pernyataan ini disampaikan oleh Iwan Taruna saat menjadi pembicara dalam kegiatan podcast Dialog Jember Pagi Ini bertema “Integritas Akademik di Era Digital” yang digelar oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Jember (5/5/2025). Penegasan tersebut menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya dunia akademik menyikapi kecanggihan TIK termasuk penggunaan fasilitas AI di kampus.
“Saat ini dunia pendidikan mengalami disrupsi luar biasa karena kecanggihan TIK, ada banyak fasilitas hingga aplikasi yang memberikan banyak kemudahan, namun semua fasilitas tadi seharusnya tetap menjadi alat bantu. Oleh karena itu integritas dan kejujuran tetap yang utama di dunia pendidikan,” ungkap Iwan Taruna yang mengikuti podcast secara daring.
Oleh karena itu UNEJ terbuka bagi setiap perubahan termasuk kecanggihan TIK dalam proses pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, namun tetap menyiapkan sarana dan prasarana serta membekali SDM-nya dengan kemampuan pendukung. Semisal ketersediaan sarana dan prasarana TIK yang memadai. Membekali dosen dengan pelatihan-pelatihan yang memberikan pengetahuan mengenai teknologi pembelajaran. UNEJ juga memiliki perangkat aturan yang dapat mencegah potensi kecurangan.

“Kami berusaha mengikuti perkembangan TIK, sembari membekali dosen agar tetap bisa menjalankan tugasnya membimbing mahasiswa. Ada juga aturan-aturan akademik yang mencegah plagiasi dalam penulisan tugas akhir. Intinya integritas tetap yang utama,” tutur Rektor UNEJ.
Pernyataan Rektor UNEJ didukung oleh pemngamat pendidikan yang juga dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNEJ, Slamet Hariyadi. Menurut dosen di Program Studi Pendidikan Biologi ini menyebut budaya instan yang makin berkembang saat ini menjadi salah satu penyebab ada pihak yang memilih jalan pintas dalam mencapai tujuan. Akhirnya menjadikan AI sebagai alat menggarap tugas, memilih joki daripada berjuang menyelesaikan ujian.
“Memang situasinya bak pisau bermata dua, selalu ada sisi positif dan negatif dari kecanggihan teknologi. Namun jika efek negatifnya dibiarkan, maka saya khawatir daya kreativitas anak Indonesia akan menurun. Oleh karena itu tidak cukup hanya mengajarkan bagaimana membuat perintah di AI, namun juga membekali anak-anak kita dengan etika, integritas dan literasi digital,” kata Slamet Hariyadi.

Ketika disinggung mengenai kasus pegawai UNEJ yang membantu remote acces saat pelaksanaan UTBK SNBT lalu, Iwan Taruna menyesalkan kejadian tersebut. Menurutnya kasus seperti ini terjadi karena adanya permintaan dan ada pihak yang menyanggupinya. Kedua, karena keinginan yang tidak disesuaikan dengan kemampuan. Seharusnya siswa dan orang tua tidak memaksakan diri memilih program studi tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuan siswa.
“Kasus tadi dapat ditangkal karena kami memiliki sarana dan prasarana, serta SDM yang memiliki kemampuan TIK yang mumpuni. Bagi pegawai yang melanggar aturan pun sudah kami berikan sanksi berupa pemecatan,” tegas Iwan Taruna.
Sementara itu psikolog Mieke Prasetyo berpendapat, adanya kasus pelanggaran integritas di dunia pendidikan di era digital bisa terjadi karena banyak faktor. Diantaranya siswa yang kurang mengenali kemampuan dirinya sendiri sehingga belum mengetahui apa dan dimana keunggulannya. Sehingga memiliki cita-cita tinggi namun tidak dibarengi dengan kemampuan akademik yang mendukung.
“Penyebab lainnya bisa dari keluarga maupun lingkungan yang memaksakan pilihan tertentu kepada anak. Seharusnya anak harus mendapatkan dukungan dengan pilihannya, dan jika salah dibantu dan dibimbing untuk memperbaiki kesalahannya. Sehingga jika mengalami masalah tidak mencari jalan pintas. Ketiga latih anak untuk terbiasa menyaring informasi agar mampu mebedakan mana yang salah dan mana yang benar, serta menggiatkan literasi digital,” jelas Mieke Prasetyo. (iim)