Peluncuran Buku Api Di Tanah Raja : Radikalisme Petani Jenggawah 1995 Upaya Agar Bara Melawan Lupa Terus Berkobar

Jember, 16 Juni 2025
Akademisi Universitas Jember (UNEJ), Andang Subaharianto kembali meluncurkan buku karyanya (16/6/2025). Kali ini buku kesaksiannya mengenai konflik petani versus PTPN XXVII di Jenggawah tahun 1995. Buku yang diberi judul “Api Di Tanah Raja : Radikalisme Petani Jenggawah 1995” dibahas di Cafe UNEJ bersama dua nara sumber, dosen Fakultas Hukum. Fendi Setyawan dan Dekan Fakultas Pertanian, Prof. M. Rondhi. Dalam pengantarnya, Andang Subaharianto berharap bukunya menjadi bara melawan lupa, bahwa perlawanan petani terbesar di masa Orde Baru terjadi di Jenggawah, Jember. Agar kejadian ini tidak berulang lagi, sebab potensinya tetap ada di era reformasi.

Menurut dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) ini, buku ini menjelaskan perjuangan petani Jenggawah dalam memperoleh haknya atas tanah. Radikalisme ini muncul akibat ketidakadilan disertai kebijakan yang dirasa menindas petani. Ketika itu rezim Orde Baru menolak memberikan sertifikat sebagai pengakuan kepemilikan tanah maka petani pun mengambil langkah radikal. Terjadi pembakaran fasilitas PTPN XXVII, yang dilanjutkan penangkapan petani yang diduga sebagai pelaku. Kejadian ini memaksa pimpinan Jawa Timur dari Pangdam, Kapolda hingga Gubernur akhirnya turun tangan.

Andang Subaharianto pengarang buku “Api Di Tanah Raja : Radikalisme Petani Jenggawah 1995”

“Walau akhirnya petani memperoleh haknya, namun harus dilalui dengan konflik yang merugikan dua belah pihak. Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi, oleh karena itu perlu ada regulasi yang jelas terkait tanah dan perlindungan kepada petani,” ujar Andang Subaharianto.

Harapan Andang Subaharianto didukung oleh Fendi Setyawan, menurutnya agar tidak terjadi lagi kasus seperti Jenggawah 1995, maka setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama harus ada road map yang jelas mengenai pertanian. Misalnya ada berapa ribu hektar yang harus disiapkan untuk pertanian yang akan dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Datanya harus valid.

Kedua, kejelasan kepemilikan tanah. Ketiga pemerintah harus menjalankan aturan yang sudah ada semisal Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada petani, serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009. Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin keberlanjutan penyediaan lahan pertanian pangan, terutama lahan sawah, dan mencegah alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian.

Fendi Setyawan dari FH UNEJ

“Jika ada perlindungan yang jelas dan nilai keekonomian yang baik maka petani bergairah melanjutkan usaha taninya,” jelas Fendi Setyawan yang juga Wakil Rektor III UNEJ ini.

Sementara itu Dekan Fakultas Pertanian UNEJ, Prof. M. Rondhi menekankan pemberdayaan petani melalui edukasi yang cukup. Pasalnya usaha tani saat ini sudah berbeda dengan masa sebelumnya karena beragam faktor, misalnya saja perubahan iklim. Informasi yang cukup diharapkan memberikan petani masukan untuk memutuskan akan menanam apa.

“Kata kunci pengelolaan agribisnis adalah efisiensi. Efisiensi agribisnis dapat dicapai melalui implementasi teknologi terbaru baik itu fisik, biologi, maupun teknologi informasi. Namun, sering kali implementasi teknologi tersebut mengalami kegagalan karena kekurangpahaman memahami karakter bisnis dan pelaku bisnis, serta lingkungan dalam bisnis tersebut,” imbuhnya.

Dekan Fakultas Pertanian, Prof. M. Rondhi

Di akhir diskusi, Andang Subaharianto setuju UNEJ yang lahir dan berkembang di wilayah pertanian dan perkebunan tetap mengusung visi dan misi yang terkait usaha memajukan pertanian. “Memang harus jalan bareng, antara pemerintah dengan politik pertanian, petani dan pihak lain seperti dunia pendidikan tinggi untuk mewujudkan pertanian Indonesia yang baik dan mensejahterakan petani,” pungkas Andang Subaharianto. (iim)