Menuju Pintu Pemahaman Hukum dan Keterbukaan Sosial: FH UNEJ Hadirkan Pakar dalam Kursus Internasional “Access to Justice”

Jember, 24 Juli 2025,
Suasana akademik yang hidup dan penuh gagasan sangat terasa di ruang Dekanat Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ) pada hari ketiga kursus intenasional bertajuk “Access to Justice in Southest Asia and Beyond”. Dengan komitmen yang kuat untuk memperkaya wawasan para akademisi dan masyarakat luas, FH UNEJ dengan bangga menghadirkan dua pakar ahli di bidangnya untuk memberikan perspektif mendalam terkait isu-isu hukum dan sosial yang krusial di Indonesia, diantaranya adalah Dr. Eka Nugraha Putra dari Centre for Trusted Internet and Community (CITC) Singapura dan Dr. Rosnida Sari, Kepala Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember. Kehadiran para ahli ini menegaskan peran FH UNEJ sebagai pusat informasi dalam menjawab tantangan hukum di era modern.

Sesi pertama pada hari itu menjadi sorotan Ketika Dr. Eka Nugraha Putra yang kini berkarir di Singapura, hadir melalui diskusi daring. Dr. Putra membawa perspektif lain melalui disertasinya pada tahun 2022 yang saat ini telah diwujudkan dalam sebuah buku. Karyanya tidak hanya mengkaji hukum pencemaran nama baik di Indonesia secara komparatif dengan negara lain, tetapi juga menganalisis perubahan signifikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Diskusi daring yang dilakukan bersama Dr. Eka Nugraha Putra

Dalam paparannya Dr. Putra menyoroti fakta terkait peningkatan drastis kasus pencemaran nama baik di bawah UU ITE. Beliau mengungkapkan bahwa dari tahun 2008 hingga 2021, terdapat setidaknya 960 kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan di bawah UU ITE, angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan 930 kasus yang dilakukan secara offline di bawah hukum pidana dalam periode 2001 hingga 2021. Menurut Dr. Putra data tersebut sangat jelas menunjukkan adanya peningkatan yang disebabkan oleh UU ITE.

Diskusi menjadi semakin menarik Ketika Dr. Putra mengajak para peserta untuk menganalisis kembali kasus-kasus kontroversial yang pernah terjadi di Indonesia, seperti kasus Prita Mulyasari (2008), Florance (2014), serta kasus Fatia dan Haris. Dr. Putra menekankan kasus-kasus tersebut menunjukkan bagaiman hak-hak konsumen atau ekspresi individu dapat dengan mudah dikriminalisasi. Beliau juga mengidentifikasi adanya kontradiksi antara klaim pemerintah Indonesia terkait kepatuhan terhadap prinsip hak asasi manusia di forum internasional dengan realitas penegakan hukum di lapangan.

Menyikapi hal tersebut. Dr. Putra memberikan rekomendasi perlunya perbaikan legislatif dan penegakan hukum untuk memastikan perlindungan yang lebih kuat bagi hak asasi manusia, termasuk juga kebebasan berekspresi. Beliau juga berharap diskusi ini dapat memperkaya pemahaman masyarakat khususnya peserta kursus internasional mengenai kompleksitas kebebasan berpendapat di era digital dan urgensi kerangka hukum yang adil serta sejalan dengan prinsip hak asasi manusia.

Telaah film berjudul ‘Cinta Terlarang’ bersama Dr. Rosnida Sari

Tidak kalah penting, sesi kursus selanjutnya disampaikan oleh Dr. Rosnida Sari, seorang akademisi dan peneliti yang dihormati di lingkungan Universitas Jember. Beliau adalah kepala Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember, dengan minat akademik yang berpusat pada studi gender, pluraslisme, dan dialog antaragama. Komitmennya pada keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat tercermin dalam pendekatan penelitian partisipatorinya dan keterlibatannya dengan komunitas marginal, khususnya dalam mempromosikan pemahaman dan inklusivitas di antara kelompok agama dan budaya yang beragam. Selain itu, Dr. Rosnida juga merupakan anggota peneliti di Centre of Human Rights, Multiculturalism, and Migration, dan meraih gelar Doktor dari Flinder University, Australia.

Dalam sesinya, Dr. Rosnida mengajak para peserta untuk menyelami isu-isu hubungan sensitif di Indonesia melalui pemutaran film semi dokumenter. Film tersebut mengisahkan perjalanan tiga pasangan dengan tantangan unik diantaranya, pernikahan beda agama, pernikahan beda suku dan usia, serta hubungan sesama jenis.

Dr. Rosnida menyoroti kepercayaan terhadap Tuhan yang merupakan ideologi nasional, hubungan lintas agama ternyata masih menjadi isu yang kontroversial dan sering kali tidak disetujui oleh keluarga. Meskipun hukum tidak secara eksplisit melarang, banyak pasangan terpaksa menikah di luar negeri atau berpindah keyakinan dan menimbulkan stigma negatif saat mereka kembali ke keyakinan semula.

Suasana diskusi saat salah satu peserta dari Filipina menyampaikan pertanyaan pada Dr. Putra

Isu hubungan sesama jenis juga menjadi perhatian dalam diskusi ini. Dr. Rosnida mengutip survey Pew Research Center (2022) yang menunjukkan 92% masyarakat Indonesia menentang pernikahan sesama jenis. Pasangan sesama jenis menghadapi diskrimasi, penganiayaan, dan penolakan yang ekstrem dari keluarganya, bahkan beberapa di antaranya memilih pindah negara demi mencari dukungan dan lingkungan yang menerima mereka.

Pemilihan film sebagai alat pembelajaran yang dilakukan oleh Dr. Rosnida tentu saja bukan tanpa alasan. Beliau menjelaskan, “Isu yang disampaikan pada film itu adalah isu yang masih sensitif. Tidak banyak orang mau berbicara tentang hal tersebut”. Oleh karena itu, melalui film, para peserta kursus dapat teredukasi untuk membicarakan hal-hal sensitif ini guna mengatasi prasangka buruk. Beliau menilai bahwa film merupakan media advokasi yang kreatif dan menyenangkan untuk menyampaikan pesan-pesan penting.

Salah satu peserta Indonesia saat menyampaikan pendapatnya dalam diskusi bersama Dr. Rosnida

Diskusi berharga yang difasilitasi FH UNEJ ini memperkaya pemahaman peserta kursus internasional, serta diharapkan dapat memperluas cakrawala masyarakat mengenai kompleksitas kebebasan berpendapat dan pentingnya kerangka hukum yang adil dan sejalan dengan prinsip hak asasi manusia. Sama halnya juga dengan yang diibaratkan oleh Dr. Rosnida, pendidikan dan keterbukaan dapat menjadi jembatan yang menghubungkan pemahaman antara individu dan kelompok, memungkinkan kita untuk melihat kesamaan dan menghargai perbedaan, bahkan dalam isu yang paling sensitif sekalipun. FH UNEJ tentu saja berkomitmen untuk terus menjadi jembatan pemahaman ini. (qf)