2nd ICOGEF 2025 : Feminist Perspective for Humanity and Civilization

Jember, 27 September 2025

Pusat Studi Gender Universitas Jember menyelenggarakan 2nd International Conference of Gender and Feminism (ICOGEF) 2025 dengan tema “Feminist Perspectives for Humanity and Civilization” secara online via zoom, pada 27-28 September 2025.

Konferensi  ini diikuti oleh 78 presenter dari 27 Universitas dan lembaga.

Invited Speaker dalam konferensi ini berasal dari 4 negara, yakni: (1) Dr. Abdhesh Kumar Gangwar, Coordinator & Focal Point, Regional Centre of Expertise (RCE) Srinagar, India, (2) Prof. Saskia Eleonora Wieringa, Amsterdam University, (3) Dr Robyn Alders, Australian National University, College of Science and Medicine, (4) Dr., Asyirah Abdul Rahim, Universiti Sains Malaysia.

Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember, Linda Dwi Eriyanti menyatakan “konferensi ini merupakan upaya untuk memikirkan kembali, menata ulang, dan merekonstruksi pemahaman tentang kemanusiaan dan peradaban melalui lensa pemikiran feminis. Komunitas global saat ini menghadapi tantangan besar berupa ketimpangan sosial, krisis lingkungan, polarisasi politik, kekerasan berbasis gender, dan konflik kemanusiaan. Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa paradigma dominan yang ada saat ini belum menjamin keadilan dan martabat bagi semua orang. Perspektif feminis, dengan semangat kritis dan visi transformatifnya, mempertanyakan, menantang, dan membingkai ulang struktur yang membentuk kehidupan”. Feminisme layak menjadi wacana pusat pembangunan peradaban, bukan sekedar wacana intelektual pinggiran. Feminisme tidaklah monolitik, melainkan beragam, kontekstual, dan dinamis. Gerakan dan kajian feminis memiliki sejarah, perjuangan, dan pencapaian yang berbeda.

Keynote Speaker, Dra. Hj. Arifatul Choiri Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Tiga hal penting yang dikuatkan dalam konferensi ini, yakni: pertama, untuk memajukan ilmu pengetahuan. Diskusi kritis, makalah akademis, dan presentasi para narasumber diharapkan membuka wacana tentang bagaimana perspektif feminis dapat berkontribusi bagi kemanusiaan. Ini berarti memandang feminisme sebagai teori dan metodologi untuk mentransformasi ilmu sosial, humaniora, politik, dan bahkan ilmu pengetahuan alam. Kedua, untuk mendorong kolaborasi, menjadi titik awal bagi jaringan yang melampaui batas, berupa jaringan penelitian, advokasi, dan praktik untuk menguatkan dampak dan resonansi gerakan.  Ketiga, diharapkan konferensi ini mampu menginspirasi tindakan. Perspektif feminis mengingatkan bahwa teori harus berkaitan dengan praktik dan wacana intelektual harus mengarah pada transformasi sosial. Konferensi ini penting untuk menginformasikan kebijakan, memberdayakan masyarakat, dan menciptakan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi kelompok rentan dan terpinggirkan.

Keynote Speaker, Arifatul Choiri Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia juga menegaskan bahwa tema konferensi ini selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025–2029 yang memprioritaskan keunggulan sumber daya manusia, kesetaraan gender, dan ketahanan sosial-budaya, serta dengan visi Indonesia Emas 2045 yang mengusung peradaban inklusif dan berkeadilan. “Perspektif gender bukan hanya untuk perempuan, melainkan untuk seluruh umat manusia; melalui lensa ini kita membicarakan tidak semata hak perempuan, melainkan masa depan peradaban yang lebih adil, beradab, dan berkelanjutan”.

Dr. Abdhesh Kumar Gangwar, salah satu narasumber dari India, menyatakan bahwa saat ini di dunia ada anak-anak di bawah usia 5 tahun yang 150,8 juta diantaranya mengalami stunting dan 50,5 juta anak dalam kondisi kurus dan gizi buruk. “46,6 juta anak stunting ada di India, 13,9 juta ada di Nigeria, dan 10,7 juta ada di Pakistan. Penduduk India, Nigeria, dan Pakistan merupakan ½ dari populasi dunia”.

Menambahkan data tersebut, Robyn Alders dari Australian National University menyebutkan bahwa kondisi Indonesia dari sisi kesehatan perempuan juga tidak lebih baik, ditandai dengan angka kematian ibu (AKI) yang masih tinggi, yakni tertinggi di ASIA Tenggara pada tahun 2025. Di sisi lain, Asyirah Abdul Rahim dari Universiti Sains Malaysia menyebutkan bahwa perempuan yang memiliki kedekatan dengan lingkungan, diharapkan mengambil peran lebih untuk melestarikan alam. Perempuan sebagai aktor kunci lingkungan, untuk menjaga keanekaragaman hayati, juga pengelolaan air sebagai sumber kehidupan. Namun demikian perempuan kurang terwakili dalam kebijakan.

Menutup sesi panel, Saskia Eleonora Wieringa dari Amsterdam University, mengungkapkan peran perempuan Indonesia, sejak era Kartini, hingga saat ini yang diwarnai dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang justru mendomestifikasi perempuan dengan membentuk organisasi perempuan berbasis profesi suami, seperti dharma wanita, PKK, dan lain-lain. Pancasila adalah ideologi yang sangat menghargai HAM, dan penting untuk mengimplementasikannya untuk peradaban Indonesia yang lebih baik, berkeadilan sosial, sejahtera, dan berperikemanusiaan. Dan yang terpenting, feminis sejalan dengan spirit yang ada dalam Pancasila.