Jember, 9 Oktober 2025
Universitas Jember (UNEJ) menunjukkan komitmennya dalam penguatan karakter kebangsaan mahasiswa melalui penyelenggaraan Kuliah Umum Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK), pada Kamis (9/10).
Bertempat di Gedung Auditorium UNEJ, kegiatak bertajuk “Generasi Muda dan Tantangan Kebangsaan: Menghidupkan Pancasila di Era Digital”. Acara ini menghadirkan pakar kebangsaan Yudi Latif, sebagai narasumber utama.Kuliah umum ini menjadi momentum UNEJ dalam memperkuat karakter mahasiswa dengan fondasi Pancasila di tengah arus informasi global yang menantang. Kuliah umum ini diikuti lebih dari 5.000 mahasiswa baru, baik secara luring maupun daring melalui kanal Youtube. Hadir pula jajaran pimpinan universitas, Ketua Senat, para dosen MKWK, dan perwakilan fakultas untuk mendukung penuh pelaksanaan kegiatan yang diinisiasi oleh Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pembelajaran (LPMPP) UNEJ.

Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Akademik UNEJ, Prof. Slamin, yang hadir mewakili Rektor, menekankan bahwa mahasiswa adalah ujung tombak dalam menjaga nilai-nilai Pancasila di era digital yang penuh paradoks. “Teknologi memang mendekatkan yang jauh, namun seringkali menjauhkan yang dekat. Tantangan kita adalah bagaimana Pancasila tetap menjadi panduan moral, terutama bagi generasi muda yang setiap hari bergelut dengan dunia digital,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala LPMPP UNEJ, Prof. Ermanto, menegaskan bahwa kuliah umum ini bukan sekadar rutinitas akademik, melainkan bagian dari strategi UNEJ membentuk generasi muda yang tangguh secara intelektual dan karakter. “Era digital membuat kita rentan terjebak dalam misinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi. Karena itu, mahasiswa harus mampu menjawab tantangan ini dengan menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata maupun ruang digital,” jelasnya.

Narasumber utama, Yudi Latif, memberikan paparan mendalam mengenai Wawasan Kebangsaan. Beliau memaparkan hasil survei yang mencemaskan, yaitu laporan Digital Civility Index dari Microsoft (2021) di mana Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara dengan tabiat bermedsos yang paling barbar di Asia Pasifik
Yudi Latif, menyebutkan bahwa kondisi ini terjadi karena kelemahan yang menghinggapi generasi muda hari ini, yaitu kelemahan pada “actuarial intelligence” dan daya empati. Actuarial intelligence didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerka dan membayangkan dampak dari suatu tindakan —seperti memposting sesuatu— bagi martabat diri sendiri dan kehidupan bersama. “Kadang-kadang di dalam perilaku bermedsos kita itu asal jeplak, asal viral. Kita enggak punya lagi daya empati,” ujarnya.

Lebih lanjut, Yudi Latif mengingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang secara historis merupakan negeri yang hebat, menjadi “episentrum inovasi global” hingga abad ke-17 dan dikenal sebagai the cradle of maritime culture (tempat tumbuhnya peradaban maritim pertama). Ia menekankan bahwa kekuatan karakter yang menyatukan bangsa ini di tengah keragaman adalah Gotong Royong. Karakter ini terbukti masih hidup, bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia selama tiga tahun berturut-turut menurut The World Giving Index.
Namun, beliau memberi catatan kritis, nilai gotong royong yang positif di masyarakat seringkali bertransformasi menjadi negatif ketika masuk ke dalam dunia politik dan kenegaraan, seperti dalam bentuk korupsi berjamaah.
Kuliah Umum ditutup dengan seruan optimisme dan tantangan bagi mahasiswa. Yudi Latif menekankan bahwa Indonesia memiliki semua alasan untuk menjadi bangsa maju berkat sumber daya alam dan sejarah yang cemerlang. “Yang diperlukan adalah kenali dirimu dan jadilah versi terbaik dari dirimu. Itulah jalan Pancasila dengan mengaktualisasikan potensi kita,” tutupnya dengan harapan. (qf)


