Jember, 26 November 2025
Berangkat dari tugas akhir, dosen dan mahasiswa FISIP Universitas Jember (UNEJ) menghasilkan policy brief (risalah kebijakan) terkait pemanfaatan media sosial untuk mitigasi bencana.
Keduanya, Kayla Rahima Putri Wijanarko dan Sukron Makmun, mengungkap bahwa pemanfaatan media sosial oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di daerah memiliki potensi menunjang optimalisasi mitigasi bencana. Seperti hasil temuan kedua peneliti dari FISIP ini saat melaksanakan risetnya di BPBD Kabupaten Blitar.Dalam kajiannya, para peneliti menemukan bahwa penggunaan media sosial oleh BPBD lebih banyak berfokus pada penyampaian informasi pascabencana. Sementara fungsi preventif seperti edukasi, simulasi risiko, dan penguatan kesiapsiagaan masyarakat belum menjadi prioritas. Hal itu disampaikan dalam sebuah dokumen policy brief berdasarkan skripsi Kayla Rahima berjudul “Pemanfaatan Media Sosial Dalam Manajemen Bencana: Studi Kasus Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Blitar”.

Menurut Sukron Makmun, Kabupaten Blitar termasuk wilayah dengan tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi di Jawa Timur. Pada tahun 2024 Indeks Resiko Bencana (IRBI) Kabupaten Blitar berada pada angka 117,60. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang berada pada angka 178,37. Data ini menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Namun sayangnya kerentanan sosial dan tingkat kesiapsiagaan masyarakat masih dinilai rendah.
“Media sosial memiliki kekuatan menjangkau masyarakat luas, apalagi dari data yang ada tujuh puluh persen warga Kabupaten Blitar memiliki akun media sosial dan aktif memakai internet. Oleh karena itu platform digital seharusnya menjadi kanal utama kampanye mitigasi. Dalam dokumen itu juga disebutkan belum adanya strategi komunikasi digital yang terstruktur. Akibatnya adalah membuat pesan edukatif kebencanaan belum mampu mendorong perubahan perilaku masyarakat,” jelas Sukron Makmun.
Dalam policy brief tersebut, keduanya menyoroti minimnya SDM BPBD yang memiliki keterampilan produksi konten digital sebagai salah satu penyebab belum optimalnya media sosial untuk mitigasi bencana. Kedua, belum adanya unit khusus komunikasi daring membuat pesan mitigasi kurang menarik, tidak interaktif, dan kurang menjangkau kelompok muda yang mendominasi ruang digital.
“Keterbatasan kapasitas ini berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi publik, padahal kolaborasi dan komunikasi dua arah dinilai penting dalam membangun budaya sadar bencana,” imbuh Kayla Rahima Putri Wijanarko yang mahasiswa Program Studi Administrasi Negara angkatan tahun 2022.
Policy brief dipilih karena berupa dokumen ringkas dan berfokus pada isu kebijakan tertentu, yang berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara analis kebijakan dan pembuat keputusan. Dokumen ini berisi analisis berbasis data dan rekomendasi solusi kebijakan yang konkret dan dapat diimplementasikan agar pembuat kebijakan dapat mengambil keputusan dengan cepat.
Oleh karena itu keduanya mengusulkan program “Blitar Siaga Digital” dengan tiga rekomendasi kunci:
1. Menyusun strategi sosialisasi mitigasi berbasis media sosial yang partisipatif, lengkap dengan standar pesan, frekuensi unggahan, dan indikator capaian.
2. Meningkatkan kapasitas SDM BPBD, termasuk pelatihan komunikasi digital dan pembentukan unit produksi konten mitigasi.
3. Membangun kolaborasi lintas sektor melalui program “Blitar Siaga Digital”, melibatkan Diskominfo, BMKG, kampus, relawan digital, dan sekolah untuk menciptakan gerakan terpadu sosialisasi kebencanaan. (mun/iim)


