Jember, 3 Desember 2025
Buku terbaru cendekiawan Pancasila dan aliansi kebangsaan Yudi Latif dibahas di kampus Universitas Jember (UNEJ) hari Rabu pagi (3/12/2025).
Dalam bahasannya berjudul “Yudi Latif, Cerlang Nusantara, dan Membalik Arus” Andang Subaharianto menyandingkan karya Yudi Latif dengan novel “Arus Balik” karya Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya ada persamaan antara dua buku tadi. Dari sisi fisik, halaman dua buku tadi hampir sama. Jika buku Yudi Latif memiliki 750 halaman, maka novel Arus Balik sejumlah 760 halaman.
Oleh karena itu Andang Subaharianto memuji ketekunan menulis Yudi Latif hingga bisa menghasilkan buku yang komprehensif. Menurutnya tidak semua penulis mampu melakukan hal ini. Bahkan Andang Subaharianto sudah menimbang berat buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia” yang mencapai bobot satu kilogram.

“Dari isi, saya menilai ada intertekstualitas antara buku Yudi Latif dengan buku Pramudya yakni semangat untuk membela bangsanya. Melalui buku ini Yudi Latif membuktikan Indonesia bukan negara pinggiran justru urat nadi dunia, tanpa Indonesia maka dunia tak berdenyut,” jelas antropolog budaya di Fakultas Ilmu Budaya yang juga kolumnis ini.
Andang Subaharianto menilai, Yudi Latif hendak mengajak kita membaca ulang peradaban nusantara dengan perspektif arus balik. Yang mempertanyakan penapat jika barat adalah segal-galanya dan lebih unggul dari peradaban kita, Indonesia. Pria yang juga Ketua Senat UNEJ ini lantas mengajak dosen yang hadir menjadikan buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia” sebagai rujukan bahan menyusun materi Mata Kuliah Wajib Kurikulum.
“Apalagi UNEJ berencana memberlakukan mata kuliah Pertanian Industrial Berkelanjutan yang salah satu isinya adalah keadilan sosial,” ujar Andang Subaharianto.

Penilaian Andang Subaharianto didukung dua pembahas lainnya. Dari sisi ekologi lingkungan, Prof. Hari Sulistyowati guru besar FMIPA memaparkan betapa kaya biodiversitas yang dimiliki oleh Indonesia. Indonesia ada di antara dua benua dan dua samudera, tempat bermukim dua puluh persen spesies ikan dunia. Berkelimpahan cahaya matahari yang seharusnya menjadi sumber energi. Indonesia dengan hutannya menjadi paru-paru dunia.
“Ibarat wajah, maka Indonesia itu bak tahi lalat yang menjadikan seorang gadis makin manis,” ungkap Prof. Hari Sulistyowati membuat ibarat.
Sementara itu pakar Hubungan Internasional FISIP UNEJ, Prof. Agus Trihartono mengulas peran Indonesia yang mempengaruhi kajian Hubungan Internasional. Pertama pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 yang menjadi konferensi internasional melibatkan negara-negara di wilayah selatan yang saat itu diragukan kemampuannya oleh negara-negara barat.

Kedua, Deklarasi Djuanda yang menyatakan kedaulatan Indonesia atas perairan kepulauannya pada tahun 1957. Yang kemudian diakui secara internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, perjanjian internasional ini dibuat untuk mengatur berbagai aspek hukum terkait penggunaan lautan dan sumber daya di dalamnya. Keberadaan Deklarasi Djuanda mengubah kajian laut yang semula bak hukum rimba dengan yang kuat berkuasa, kini lebih adil terhadap negara-negara kepulauan.
“Kedua contoh tadi membuktikan peran Indonesia di panggung dunia seperti yang disajikan di buku Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia. Jadi, jika ingin menjadi seorang Indonesianis, maka buku karya Yudi Latif ini wajib dibaca,” tuturnya. (iim)

