Ingat Marsinah, Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan

Jember, 4 Desember 2025

Pusat Studi Gender berkolaborasi dengan Amnesty International menyelenggarakan Diskusi Publik daring bertajuk “Ingat Marsinah, Lawan Kekerasan Terhadap Perempuan!” pada Kamis, 4 Desember 20225.

Acara ini menghadirkan ketua Komnas HAM Anies Hidayah,dan Linda Dwi Eriyanti, Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember. “Cerita tentang Marsinah penting untuk dibahas, saat ini karena kondisi buruh perempuan hinnga saat ini tidak membaik. Mereka mengalami kekerasan berlapis, beripa kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural karena menguatkan patriarkhi dan kapitalis” demikian disampaikan oleh Linda.

Tentang Marsinah, Anies Hidayah menjelaskan bahwa penyelidikan kasus pembunuhan Marsinah sejak 1998 telah menemukan indikasi kuat keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil. Namun, proses hukum berulang kali terhambat hingga Sidang Paripurna 2000. Pembukaan kembali penyelidikan pada 2013 menguatkan komitmen Komnas HAM untuk menetapkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat sehingga tetap dapat dibawa ke Pengadilan HAM meski pidana umumnya telah kadaluwarsa. Anies Hidayah menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab penuh untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kapitalisme dan patriarki bekerja berkelindan menekan tubuh dan kehidupan buruh perempuan. Di banyak sektor, buruh perempuan mendapatkan upah rendah, beban kerja berlebih, pelecehan seksual, union busting, serta ancaman kehilangan pekerjaan ketika menuntut hak. Tekanan produktivitas dari pemilik modal diperparah oleh budaya perusahaan yang masih menormalisasi subordinasi perempuan. Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak.Bottom of Form

Menutup diskusi, Linda menawarkan solusi atas permasalahan terkait buruh perempuan di Indonesia, yakni perlu implementasikan regulasi terkait pencegahan, penanganan, pelaporan, dan penindakan pelaku atas kekerasan terhadap buruh dalam bentuk apapun. UU Ketenagakerjaan perlu dipastikan untuk menjamin upah layak, melarang sistem kontrak yang eksploitatif, dan memberikan perlindungan sosial yang memadai untuk buruh perempuan yang memiliki kerentanan berbasis gender seekaligus berbasis kelas. Perlu kebijakan afirmatif seperti cuti melahirkan yang dibayar, fasilitas daycare di tempat kerja, dan perlindungan khusus bagi pekerja perempuan.

Penguatan serikat pekerja juga merupakan bagian penting untuk mengubah atau setidaknya mengurangi eksploitasi dan mengkondisikan buruh pada situasi kerja yang layak. Dalam konteks kekerasan kultural, dekonstruksi budaya melalui pendidikan dan kampanye publik menjadi hal mendasar. Dengan kesadaran budaya baru yang berperikemanusiaan, adil, dan tidak mentolerir kekerasan, akan tercipta kehidupan yang damai dan toleran.

Melalui momentum 16 HAKTP 2025, Pusat Studi Gender UNEJ dan Amnesty Internasional menegaskan kembali bahwa negara wajib hadir, menuntaskan impunitas, dan memastikan ruang aman bagi seluruh perempuan.