Dari Luring ke Daring Industri Kesenian Saat Normal Baru

Oleh: M. Abd. Nasir, SE, MSc.*

Saat bicara ekonomi kreatif, maka sekaligus mencerna ikhwal industri kesenian. Berdasarkan pengelompokan sub sektor oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), terdapat 15 sub-sektor, beberapa diantaranya adalah industri film, musik, dan seni pertunjukan. Selama pandemi Covid-19, industri film, musik, dan seni pertunjukan, mengalami guncangan hebat. Per April 2020, catatan Kemendikbud menunjukkan sekitar 40.081 seniman terdampak Covid-19 akibat pembatalan sepihak pertunjukan dan festival seni. Data yang dihimpun Koalisi Seni pun mengungkap ada  234 acara seni yang dibatalkan dan ditunda yang terdiri dari 30 proses produksi, rilis, dan festival film, 113 konser, tur, dan festival musik, 22 pameran seni rupa, 10 pertunjukan tari, 46 pentas teater, dan 2 acara sastra. Bisa jadi data tersebut akan terus bertambah hingga waktu yang tidak dapat dipastikan.

Berdasarkan persebaran data tersebut, potensi kerugian bisa diprediksi menyentuh angka milyaran rupiah. Tidak hanya kehilangan laba, tetapi juga termasuk pencaharian maupun karir. Padahal, share ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2019 sudah pada kisaran 7%. Meskipun kapasitas dan kontribusi industri film, musik, dan pertunjukan (kurang dari 2%) tidak sebesar sub-sektor lainnya. Tetapi ketiga industri ini mampu memberikan efek berganda (multiplier effect) terhadap pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah melalui industri film dan musik akan mempunyai efek ke perkembangan sektor pariwisata dan budaya.

Jika dibandingkan dengan Korea Selatan, share copyright industry (termasuk musik dan film) negara tersebut mencapai mencapai 5% terhadap PDB tahun 2018. Kontribusi fantastis ditunjukkan oleh BTS (Bangtan Sonyeondan a.k.a Bangtan Boys) sebagai salah satu boyband asal Korea Selatan yang menyumbang PDB Korea sebesar 0.3%. Kenyataan ini bisa jadi renungan bagi kita bahwa masalah pemasaran dan preferensi konsumen perlu dijadikan landasan utama bagi pelaku industri tanah air. Sehingga kedepan ini bisa dijadikan tantangan peningkatan PDB Indonesia ke depan.

Melalui kebijakan work from home, social distancing, dan pembatasan sosial skala besar (PSBB) di era normal baru, tak berlebihan mengatakan sektor industri film, musik, dan seni pertunjukan secara alamiah akan telak terpengaruh. Karakteristik seni pada industri ini yang identik dengan “ruang pentas” yang terdominasi secara fisik seperti gedung seni pertunjukan, studio mini, lapangan, hingga ruang-ruang terbuka alternatif. Masa pandemi ini membuat para pekerja seni harus berkompromi jika tidak ingin hancur. Mengubah medium “ruang pentas” tersebut menjadi daring (online) jelas membuat pekerja seni harus dan rela melakukan coding kembali akan daya artistiknya terhadap ciptaannya agar sesuai dengan atmosfir online. Unsur estetika pun akhirnya terkoreksi tajam. Alhasil kualitas karya rentan berubah derajatnya. Jarak penonton dan seniman yang harus dikalkulasi cermat jelas terpisahkan oleh sekat layar digital layaknya pada gawai, laptop, dan televisi. Tantangan berikutnya ialah ketercukupan akses data internet agar tampilan tidak malah tersendat atau tetap dapat diakses hingga akhir pertunjukan demi tersampaikannya pesan.

Perpindahan atau migrasi besar-besaran dari dimensi luring (offline) menuju daring (online) dalam konteks live show pada berbagai lini industri terasa berat. Dimensi lain yang menarik untuk diperhatikan ialah produk ilmu pengetahuan sang seniman dalam memainkan sistem daring beserta perilaku penonton penikmatnya. Tontonan industri jelas lebih terasa murni dan menyentuh ketika dilihat langsung menampilkan sudut pandang luas. Kini dipaksa “mengecil” sehingga berpotensi membuat penonton kehilangan apetit menikmati seni dan menurunkan kepuasan. Jika merujuk konsepsi dalam teori ekonomi, maka beberapa pilihan produk di industri seni akan menurunkan Kurva indifference seorang konsumen sehingga akan menurunkan permintaan Marshalian yang berdampak pada menurunnya tingkat kepuasan maksimal konsumen dan meningkatkan permintaan Hicksian yang berdampak pada masalah minimisasi pengeluaran.

Muncul berbagai ide guna mengatasi berbagai masalah tersebut. Jika dilihat dari pandangan seorang produsen maka hubungan antar faktor produksi akan menciptakan Kurva Isoquant yang menunjukkan kombinasi untuk menghasilkan suatu produk. Ada dua pandangan terhadap efisiensi alokasi faktor produksi, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Maka ini butuh siasat dari sisi produksi agar industri ini tidak tenggelam ditelan pandemi. Siasat rekaman (tapping) menjadi opsi, tetapi jelas memunculkan dilema tersendiri karena berpotensi menjadikan industri seni malah menyerempet ke dimensi lain atau bahkan terkesan dokumentasi semata. Dengan kata lain, terdapat ruang kreativitas luaran seni yang menjadi terbatas ketika harus berbalut dengan sistem daring.

Berdasarkan skema normal baru, industri seni yang erat kaitannya dengan aktivitas budaya dan hiburan boleh mengadakan kegiatannya pada waktu pertengahan Juni melalui mekanisme jaga jarak yang harus terkontrol dengan pembatasan jumlah kerumunan. Perubahan perilaku digital dalam aspek seni berbasis daring diyakini masih jadi persoalan kreatif paling menantang bagi pekerja, penonton, dan bahkan tata cipta pengelola sebuah event. Masih ada ruang penerapan protokol kesehatan yang ketat untuk pelaksanaan yang ada, meski pertaruhannya adalah kenikmatan dalam menyaksikan karya tersebut.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lain seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan India. Pemerintah masing-masing negara tersebut juga memberikan stimulus fiskal kepada pekerja seni. Di Indonesia, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease maka industri kreatif juga diberikan insentif berupa subsidi PPh 21, pembebasan PPh Pasal 22 impor, dan pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30 persen.

Dalam waktu dekat, para seniman harus memutar otak agar identitas serta ekosistem industri ini mampu terus berkarya. Adaptasi ini nampaknya untuk mempersiapkan masa datang seandainya migrasi menuju platform semacam YouTube dan Instagram tidak terhindarkan. Masyarakat saat ini sedang mengalami akselerasi tumbuh kembang budaya menonton seni secara daring. Terjadi suatu pergerakan dimensional bagi para seniman. Suatu oase baru dari musibah pandemi ini. Albert Einstein menyebutkan, “the most beautiful thing we can experience is the mysterious. It is the source of all true art and science”. Inilah bahan bakar bagi industri seni, maka percayalah seni tidak akan pernah mati. Totalitas nafas karya seorang pejuang seni tentu akan sangat dipertaruhkan dalam melewati masa darurat pandemi. Seniman handal tak akan pernah kehilangan akal, selalu bergotong raya dan terus berdaya upaya untuk sebuah solusi kebaruan bukan kebuntuan, terus berinovasi dan berkreasi menghasilkan karya terbaik adalah harga mati. Era Baru, Solusi Baru: selamat datang dan teruslah berkarya!

_____________

*M. Abd. Nasir, SE, MSc. adalah dosen dan peneliti di Jurusal Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan – Fakultas Ekonomi dan Bisnis- Universitas Jember dan juga anggota Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy (Benefitly)– Universitas Jember

Skip to content