Hadapi Kekurangan Pangan, Bioteknologi Jadi Jawabannya

[vc_row][vc_column][vc_column_text]

Jember, 10 Juli 2019

Indonesia dan juga dunia tengah menghadapi permasalahan kekurangan pangan, akibat perubahan cuaca, alih guna lahan pertanian hingga makin bertambahnya populasi manusia. Jika tidak ada langkah antisipasi yang tepat, maka bahaya kelaparan bakal melanda dunia. Salah satu usaha yang tengah dikembangkan oleh pemerintah bersama akademisi dan pihak terkait adalah pemanfaatan bioteknologi untuk pertanian. Namun pemanfaatan produk pertanian hasil bioteknologi terutama hasil rekayasa genetika harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian yang berlandaskan pada keamanan pangan, keamanan pakan dan keamanan lingkungan sebelum masuk ke tahapan komersialisasi.

Guna membahas hasil-hasil penelitian dan perkembangan terbaru di bidang bioteknologi beserta permasalahan yang melingkupinya, Universitas Jember melalui Center for Development of Advanced Science and Technology (CDAST) berinisiatif mempertemukan akademisi, pemerintah selaku regulator dan pihak praktisi beserta kalangan bisnis dalam ajang seminar internasional bertajuk “Agricultural Biotechnology and Biosafety” selama dua hari di Kampus Tegalboto (10-11/7). Seminar ini terselenggara berkat bekerjasama antara Universitas Jember dengan Kedutaan Besar Amerika di Indonesia, dan CropLife Indonesia, asosiasi nirlaba yang mewakili kepentingan petani dan industri pertanian.

Ditemui seusai pembukaan seminar, Prof. Bambang Sugiharto, ketua panitia kegiatan menambahkan tujuan seminar kali ini. “Masih ada kekhawatiran di kalangan masyarakat akan bahaya yang mungkin ditimbulkan bagi kesehatan manusia, maupun keamanan lingkungan dari Produk Rekayasa Genetika atau PRG untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai bahan tanam pada usaha budidaya pertanian. Keraguan akan keamanan tanaman PRG akan tetap ada selama jaminan keamanan masih belum bisa diberikan. Oleh karena itu hasil seminar kali ini sekaligus menjadi bahan untuk memberikan literasi bioteknologi dan PRG bagi masyarakat umum,” tutur Prof. Bambang Sugiharto yang juga Ketua CDAST Universitas Jember.

Jaminan akan keamanan produk hasil bioteknologi termasuk PRG diungkapkan oleh Roy Sparingga, anggota Komisi Keamanan Hayati PRG yang menjadi salah satu pembicara. “Komisi Keamanan Hayati PRG mengawasi  semua produk rekayasa genetika yang beredar di Indonesia dengan ketat, baik dari keamanan pangan, pakan dan lingkungan sehingga meminimalkan efek negatif yang mungkin ada. Dan sebenarnya produk rekayasa genetika sudah masuk ke Indonesia sudah lebih dari dua puluh tahunan semisal kedelai yang berasal dari Amerika Serikat yang digunakan sebagai bahan tempe dan tahu. Dan selama ini aman dikonsumsi,” ungkap mantan kepala BPOM ini.

Bioteknologi sebagai salah satu antisipasi akan kekurangan pangan disampaikan juga oleh Winarno Tohir, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Indonesia. Menurutnya lahan pertanian di Indonesia makin menyusut namun di sisi lain ada lahan potensial yang menunggu digarap. “Kita punya 30 juta hektar lahan rawa dimana 10 juta hektar diantaranya bisa segera dimanfaatkan, begitu pula dengan lahan gambut. Tentu saja pemanfaatan lahan rawa dan gambut memerlukan teknologi agar bisa diolah dengan baik, dan bioteknologi jadi salah satu jawabannya,” ungkapnya.

Penjelasan Ketua KTNA Indonesia ini didukung oleh Mastur, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika (BB Biogen) Kementerian Pertanian. “Kementerian Pertanian telah menetapkan target Indonesia sebagai lumbung pangan dunia dengan swasembada pangan di tahun 2045. Ada tujuh komoditas yang direncanakan mencapai swasembada di tahun itu semisal padi, jagung, kedelai dan lainnya. Maka perlu dukungan bioteknologi agar target swasembada pangan tercapai. Bioteknologi sendiri tidaklah selalu identik dengan PRG, misalnya saja bagaimana menghasilkan benih tanaman baru atau hibrida seperti yang sudah dilakukan oleh BB Gen untuk benih tanaman padi, jagung, kedelai, jeruk dan lainnya,” katanya.

Dukungan juga diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui Gareth McDonald dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. “Kami ingin berbagi pengalaman Amerika Serikat di bidang bioteknologi dan berbagai produk rekayasa genetika, termasuk membuka peluang kerjasama diantara akademisi dan peneliti bioteknologi. Hari ini kami mendatangkan tiga peneliti bioteknologi dari Michigan State University,” ujar Gareth McDonald. Tiga peneliti Michigan State University yang hadir diantaranya adalah Prof. Karim Maredia, dan dua asisten profesor yakni Hashini G. Dissanayake dan Ruth Mbabazi.

Seminar dibuka oleh Rektor Universitas Jember yang mengharapkan seminar internasional ini makin meneguhkan posisi Universitas Jember sebagai perguruan tinggi dengan keunggulan di bidang bioteknologi di Indonesia. Pemateri lain yang hadir antara lain Rhodora R. Aldemita dari Filipina, Satya Nugroho dari LIPI, serta Prof. Bahagiawati dan Prof. Bambang Purwantara dari Institut Pertanian Bogor. Tercatat ada 130 peserta yang turut berpartisipasi dari berbagai isntitusi pendidikan tinggi, lembaga penelitian dan perusahaan agrobisnis. Selain menggelar seminar, panitia juga mengadakan lokakarya dan talkshow Bioteknologi yang ditujukan pada siswa SMA sederajat di Jember. (iim)

[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]

Skip to content